Tari tanggai: Perbedaan antara revisi

[revisi terperiksa][revisi tertunda]
Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak perubahan teks terakhir (oleh Sir Arya SPd) dan mengembalikan revisi 25482730 oleh Ariandi Lie: Butuh rujukan valid dari sumber terpercaya
Tag: Pengembalian manual
Sir Arya SPd (bicara | kontrib)
→‎Sejarah: Perbaikan tata bahasa
Tag: kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
 
(5 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 6:
 
== Sejarah ==
Menurut '''Vebri Al Lintani, Direktur Komunitas Budaya Batanghari Sembilan dalam artikel Sejarah Munculnya Tari Gending Sriwijaya (baca''' [https://beritapagi.co.id/2022/02/17/sejarah-munculnya-tari-tanggai/ https://beritapagi.co.id/2022/02/17/sejarah-munculnya-tari-] ) tari tanggai muncul saat tari Gending Sriwijaya dilarang ditampilkan setelah meletusnya pemberiontakan G 30 S PKI antara tahun 1965-1969. HAl ini karena Nungcik AR, selaku pencipta syair disinyalir sebagai anggota Lembaga Kebudayaan daerah (LEKRA) underbow PKI. Untuk memenuhi kebutuhan tari sambut di kala itu, dibuatlah Tari Persembahan yang disebut dengan tari Tepak dengan menggunakan gerakan dan pola lantai Tari Gending Sriwijaya (TGS) dan diiirngi dengan musik intrumentalia yang berjudul Enam Saudara (versi lain Sembilan Saudara). Lama-kelamaan, Tari Tepak yang juga digunakan dalam kegiatan seremonial pemerintahan dan resepsi disebut dengan Tari Tanggai.
Menurut teori yang beredar, Tari Tanggai diciptakan secara kolektif atas instruksi pemerintah [[Jepang]] yang berkuasa pada tahun 1942 hingga 1945. Hanya saja Tari tanggai menggunakan iringan musik yang berjudul ''"Enam Saudara"'' (atau versi lain berjudul ''"Sembilan Saudara"'').
 
Selain itu, ada yang mengatakan bahwa Tari tanggai muncul saat meletusnya peristiwa berdarah [[Gerakan 30 September|G30S PKI]], yang saat itu bernama "Tari Tepak". Tetapi, ketika adanya penampilan tari tidak menggunakan properti Tepak. Karena itu, masyarakat menyebutnya dengan Tari Tanggai. Anggapan ini salah, karena Tari Tanggai muncul setelah Tari Gending Sriwijaya dilarang tampil karena alasan politik. Sedangkan Tari yang memakai property Tepak sendiri sudah ada diseluruh Sumatera Selatan diperkirakan sejak tahun 1920 dengan judul tari, musik, dan gerak berbeda, fungsinya sama sebagai tari sambut.
 
Dari Tari Gending Sriwijaya ke Tari Tanggai
Menurut beberapa pendapat tokoh tari di Palembang, di masa pemjabatan H. Asnawi Mangku Alam sebagai Gubernur Sumatera Selatan, Tari Gending Sriwijaya diinstruksikan sebagai tari sambut bagi tamu-tamu agung yang merupakan orang nomor satu dalam negara, seperti Presiden, Raja, Perdana Menteri, Sultan, sedangkan tamu agung lainnya disambut dengan Tari Tepak atau Tari Tanggai.
 
Tari Gending Sriwijaya diciptakan secara kolektif atas instruksi pemerintah Jepang yang berkuasa pada tahun 1942-45. Mula-mula dibuat musik oleh Dahlan Mahibat dan Nungcik AR sebagai penggubah lirik (versi lain sebagai  penyempurna). Setelah musik selesai,  Tina Haji Gung (isteri Haji Gung, pimpinan Teater Bangsawan Bintang Berlian)  dan Sukainah A. Rozak menggarap gerakan tari. TGS secara resmi digelar pertama kali pada 2 Agustus 1945 untuk menyambut dua orang pejabat Jepang, yaitu: M. Syafei selaku Ketua Sumatera Tyuo Sangi In (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera di Bukit Tinggi), dan Djamaluddin Adinegoro selaku Anggota Dewan Harian Sumatera.
Saat ini, Tari tanggai telah mentradisi di masayarakat, tidak hanya sebagai tari sambut di kegiatan seremonial pemerintahan daerah saja, tapi juga pada acara-acara oleh organisasi non-pemerintah maupun acara resepsi pernikahan. Seolah-olah tari tanggai merupakan tari sambut yang penting ada sebagai pembuka acara, meskipun bukanlah bagian dari adat yang diadatkan.
 
Selanjutnya, di masa Republik Indonesia, TGS menjadi tari sambut pemerintah Sumatera Selatan. Namun tiba-tiba saja,  setelah peristiwa politik Gerakan 30 September PKI tahun 1965 hingga bulan Mei 1969, Tari Gending  Sriwijaya (TGS) tidak lagi ditampilkan sebagai tari sambut. Penyebabnya adalah nama Nungcik AR, sang pembuat lirik lagu Gending Sriwijaya merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), ''underbou'' PKI.
Biasanya, Penari Tari tanggai menggunakan pakaian khas daerah seperti [[kain songket]], [[dodot]], [[pending]], [[kalung]], [[sanggul malang]], [[kembang urat]] atau [[ramai]], [[tajuk cempako]], [[kembang goyang]] dan [[tanggai]] yang berbentuk kuku yang terbuat dari lempengan [[tembaga]] dan karena tanggai yang dipakai penari, maka tari ini dinamakan Tari Tanggai.
 
Oleh karena kebutuhan pemerintah daerah akan tari sambut, maka ditampilkanlah “Tari Tepak”, sebagai alternatif. Tari Tepak tari yang menggunakan gerak dari Tari Gending Sriwijaya, dengan musik pengiring yang berjudul “6 Saudara” (versi lain lagi menyebut judul 9 Saudara). Dengan kata lain, Tari Tepak adalah TGS yang menggunakan musik berbeda. Apabila tampilan Tari Tepak tidak menggunakan “tepak” sebagai properti, maka tari sambut ini disebut Tari Tanggai.
Tari Tanggai ini masih digelar hingga sekarang, selain dalam acara pernikahan masyarakat [[Kota Palembang|Palembang]], tari ini juga ditarikan untuk menyambut tamu yang dihormati, pemerintahan, organisasi dan pergelaran seni di sekolah-sekolah. Sanggar-sanggar seni di kota Palembang banyak yang menyediakan jasa pergelaran tarian tanggai ini, lengkap dengan kemewahan pakaian adat Sumatra Selatan.
 
Selain itu, pada tahun 1967, seorang seniman tari,   Ana Kumari juga menggarap satu tari sambut, atas permintaan Ishak Juarsa, Panglima Kodam Sriwjaya pada waktu itu. Tari sambut ini oleh Ana Kumari   diberi judul Tari Tepak Keraton dengan lagu pengiringnya tetap lagu “Enam Saudara”. Dalam gerakan Tari Tepak Keraton memasukkan unsur silat atau pencak Palembang.
 
Menurut Sulaiman Ma’ruf, seorang jurnalis ketika itu yang menulis artikel sejarah TGS , yang dikutip oleh Vebri Al Lintani dalam Buku Tari Gending Sriwijaya (DKP, 2012), pada bulan Mei 1969, Pemerintah Daerah Tingkat II Sumatera Selatan telah mengambil kebijakan yang baik, lagu Gending Sriwijaya kembali berkumandang untuk mengiringi TGS pada acara Pembukaan ''Jakarta Fair'', 1969, meskipun, hanya instrumentalia, atau tanpa diikuti syairnya. Selanjutnya, Menurut beberapa pendapatpandapat tokoh tari di Palembang, di masa pemjabatan H. Asnawi Mangku Alam sebagaimenjabat Gubernur Sumatera Selatan (1968-1978), Tari Gending Sriwijaya, diinstruksikan sebagai tari sambut bagi tamu-tamu agung yang merupakan orang nomor satu dalam negara,  seperti: Presiden, Raja, Perdana Menteri, Sultan, sedangkan tamu agung  lainnya disambut dengan Tari Tepak atau Tari Tanggai.
 
Kebijakan Gubernur Asnawi Mangku Alam ini dimaksudkan untuk menempatkan TGS agar lebih sakral dengan pakem yang mantap. Umpamanya, jumlah penari tidak boleh kurang dari 9 orang, kostum, gerakan yang digunakan juga tidak boleh sembarangan, harus betul-betul menurut pedoman yang telah ditetapkan oleh para pendahulu. Sedangkan Tari Tepak atau Tari Tanggai, penarinya  boleh tidak berjumlah 9 orang, asalkan masih dalam hitungan ganjil, misalnya 7,5 atau 3 orang.
 
Saat ini, Taritari tanggai telah mentradisi di masayarakat, tidak hanya sebagai tari sambut di kegiatan seremonial pemerintahan daerah saja, tapinamun juga pada acara-acara oleh organisasi non- pemerintah maupun acara resepsi pernikahan. Seolah-olah tari tanggai merupakan tari sambut yang penting ada sebagai pembuka  acara, meskipun bukanlah bagian dari adat yang diadatkan.
 
'''Menyoal Polemik Pencipta Tari Tanggai'''
 
Dalam waktu sekitar empat tahun terakhir ini tersebar di media massa dan kalangan seniman, bahwa Elly Rudi sebagai pencipta Tari Tanggai. Hal ini tentu keliru. Sebab jika melihat proses terbentuknya, seperti yang diuraikan di atas, Tari Tanggai adalah nama lain dari Tari Tepak yang menggantikan TGS yang absen pada kurun waktu antara 1965 hingga 1969. Gerakan Tari Tepak mengambil gerakan TGS yang kemudian disebut juga dengan tari tanggai yang gerakannya pun tidak berubah. Menurut Lina Muchtar, pelatih dan penari senior tari Gending Sriwijaya, gerakan Tari Tanggai saat ini, 90 persen adalah gerakan Tari Gending Sriwijaya. Sekali lagi, apabila ada yang mengatakan Elly Rudi sebagai penciptanya, maka jelas tidak tepat.
 
Tahun 2006 saya bersama Yuli Sudartati dan Sartono menulis buku Tari Tanggai dengan nara sumber para tokoh tari Palembang yang bertemu dalam kelompok diskusi terpumpun (FGD)  di sekretariat  Dewan Kesenian Palembang. Para tokoh tari tersebut diantaranya adalah R.A. Tuti Zahara Akib (Penari Gending Sriwijaya tahun 1945), Ana Kumari, Ailuni Husni, '''Elly Rudi,''' Lina Muchtar, H. Soleh Umar, M. Ali Ujang, Sartono (akademisi), Yuli Sudartati (akademisi) dan Tugiyo (Akademisi). Selanjutnya, tahun 2012 saya menulis buku Tari Gending Sriwijaya yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Palembang dan Tari Tepak Keraton (Balitbangnovda Prov SUmsel, 2016). Ketika menulis buku Tari Gending Sriwijaya, dua nara sumber saya adalah Elly Rudi dan Lina Muchtar. Dari tiga buku yang terkait tersebut, tidak satu pun saya menyatakan bahwa Elly Rudi adalah pencipta Tari Tanggai, karena tidak ada yang mengatakan seperti itu baik dari para tokoh tari maupun dari Elly Rudi sendiri.
 
Banyak yang mengatakan bahwa Tari Tanggai adalah tari seribu versi. Namun dari beberapa diskusi dengan para penari, kami meyimpulkan, sebenarnya ada dua versi Tari Tanggai yang berkembang di masyarakat saat ini,  yaitu versi yang diteruskan oleh Lina Muchtar dan versi kreasi Eli Rudi. Pada versi Lina Muchtar adalah Tari Tanggai yang ragam geraknya sangat mirip dengan TGS, sedangkan pada versi Elly Rudi terdapat beberapa perbedaan kreasi gerak dengan TGS. Versi bukan berarti pencipta.
 
Pada tanggal 17 Desember 2017, saya wawancara langsung dengan Elly Rudi di rumahnya.  Menurut Elly, setelah TGS dilarang tampil, dia menggagas dan membuat tari sambut alternatif yang kemudian dinamakan “Tari Tanggai” pada tahun 1965. Tari Tanggai yang dibuat Elly Rudi menggunakan irama musik pengiring yang berjudul “Enam Saudara”, lagu rakyat yang tidak diketahui siapa pengarangnya. Sebelumnya tari ini digunakan untuk mengiringi Tari Kipas. Gerakan tari bersumber dari gerakan TGS namun kemudian diolah dan dikreasikan.
 
Menurut Elly, karya ini diinspirasi juga oleh peristiwa adat “rasan tuo” yang terjadi di beberapa daerah dalam wilayah Sumbagsel (Batanghari Sembilan). Penari utama (primadona) yang berada di depan merupakan seorang gadis yang matang dan terbuka untuk dipinang. Tarian ini kemudian ditampilkan sebagai pengiring pengantin pada acara resepsi pernikahan atau hajatan keluarga (bukan tari sambut pemerintahan).
 
Pada tahun 1967  Elly Rudi menikah dan pindah dan beraktivitas di Jakarta. Elly Rudi kembali ke Palembang tahun 1979 dan bergabung dengan kegiatan seni di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi Sumatera Selatan. Lalu, Elly Rudi kemudian sedikit mengkreasikan gerakan dalam Tari Tanggai yang kemudian menjadi kontroversial. Gerakan yang dikembangkan ini dianggap menyalahi etika tari di Palembang, misal pada gerakan pinggul yang terkesan genit dan tangan yang terlalu diangkat.
 
SEJARAH MUNCULNYA TARI TANGGAI
Dikutip dari laman https://www.ketikpos.com/pariwisata-kebudayaan/95911699088/eksplorasi-mendalam-keindahan-dan-kearifan-lokal-dalam-tari-tanggai-dan-tari-lilin-siwa
Tari yang memakai tanggai merupakan salah satu tarian tradisional yang berasal dari Palembang dan berkembang di seluruh Sumatra Selatan. Konon, menurut berita-berita yang beredar, pada abad ke-5 Masehi, tari yang memakai tanggai ini merupakan tari persembahan terhadap dewa Siwa dengan menbawa sesajian yang berisi buah dan beranekan ragam bunga, karena tari ini berfungsi sebagai tari persembahan pengantar sesajian maka tari yang memakai tanggai pada zaman dahulu di katagorikan tarian yang sakral. Di Sumatera Selatan untuk penamaan tari Tanggai sendiripun tidak ada sebelum tahun 1965, baru tahun 1965 muncul tari yang memakai property tanggai yang diberi nama Tari Tanggai yang diciptakan oleh Elly Rudy (76th). Sumber: Makalah Workshop Tari Tanggai SMKN 1 Ogan Ilir, Sumatera Selatan
Robert Budi Laksana, S.S., M. Sn. Dosen Pendidikan Seni Prodi PGSD Universitas PGRI Palembang
 
Disebut tari yang memakai tanggai karena setiap penarinya menggunakan properti (alat) tanggai di delapan jari (kecuali jempol) dan ditarikan dengan mengutamakan kelentikan jari. Kalo buyut-buyut kami tidak menyebut tari yang memakai tanggai itu sebagai tari Tanggai, tapi tari Tepak. Dan memasuki tahun 1920, tari yang memakai tanggai digunakan untuk mencari jodoh oleh para orang tua di Palembang atau disebut Rasan Tuo. Bunda Elly Rudy, menciptakan tari yg berjudul Tari Tanggai ini terinspirasi dari adat rasan tuo.
 
Pada tahun 1965 setelah terjadi pelarangan Lagu dan Tari Gending Sriwijaya, tari sambut yang juga memakai tanggai dan membawa tepak, untuk ditampilkan karena alasan politis. Atas inisiatif almarhum Raden Husin Natodirajo dan Mgs Nungcik Asaari budayawan Palembang tahun 1965 di Jakarta meminta Ibu Elly Rudy untuk menciptakan tari yang membawa tepak dan memakai tanggai, ini juga berfungsi sebagai Tari Sambut menyambut kedatangan tamu agung yang datang berkunjung ke Palembang. Hal ini sdh diperkuat oleh budayawan Palembang almarhum R. Johan Hanafiah. Maka Ibu Elly Rudy menciptakan tari yg berjudul Tari Tanggai dengan menggunakan lagu “Enam Saudara".
 
Tari Tanggai karya Ibu Elly Rudy ini bahkan sdh dibukukan oleh almarhum Sartono M. Sn., Yuli Sudartati M. Sn., dan Vebri Al Lintani dalam buku yang berjudul Selayang Pandang. Sementara dalam bukunya Seputar Tari Tanggai (2007), Sartono, M. Sn. mengatakan bahwa tari yang berjudul Tari Tanggai pertama kali diciptakan oleh Elly Rudy yang merupakan salah satu penari generasi kedua yang mempelajari tari Gending Sriwijaya. Sedangkan nama Tanggai itu sendiri diambil dari salah satu properti tari yang digunakan.
 
Ibu Elly Rudy memang benar yang menciptakan Tari Tanggai karena Sartono, M. Sn. telah melakukan penelitian secara akademisi dalam bukunya yang berjudul Tari Tanggai karya Ibu Elly Rudy sebagai Tari Penyambutan Tamu Kehormatan, yang diterbitkan tahun 2000. Sartono telah melakukan berbagai penelitian berupa analisis, koreografi dan fungsi Tari Tanggai karya Elly Rudy. Selama berproses 58 tahun setelah menciptakan Tari Tanggai, tidak pernah ada polemik yang berkembang dalam masyarakat dan Tari Tanggai karya Elly Rudy bisa diterima oleh masyarakat bahkan Tari Tanggai karya Elly Rudy sudah menjadi bahan ajar di SMKIK tahun 1984, dan sudah menjadi bahan ajar di Universitas PGRI Prodi Seni Pertunjukan kurikulum Tari Daerah Setempat (TDS) sejak tahun 2006 sampai hari ini.
 
== Makna ==