Herman Thomas Karsten (Amsterdam, Belanda, 22 April 1884 – Cimahi, 1945) adalah arsitek dan perencana wilayah pemukiman dari Hindia Belanda. Ia adalah putra seorang profesor Filsafat dan Wakil Ketua Chancellor ("Pembantu Rektor") di Universitas Amsterdam, sedangkan ibunya adalah seorang kelahiran Jawa Tengah.

Gelar arsitek diperolehnya dari Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hoogeschool) di Delft, Belanda, dan lulus tahun 1908. Enam tahun kemudian dia berangkat ke Hindia Belanda atas ajakan seniornya, Henri Maclaine Pont, yang memiliki Biro Arsitektur. Dalam kariernya inilah ia menjadi perencana dan penasihat beberapa proyek bangunan publik di beberapa kota yang kala itu mulai berkembang akibat membaiknya perekonomian, antara lain Batavia (Jakarta), Meester Cornelis (Jatinegara) Bandung, Buitenzorg (Bogor), Semarang (Pasar Johar), Surakarta (Pasar Gede), Malang, Purwokerto, Palembang, Padang, Medan, Banjarmasin, dan bahkan sampai merancang perumahan murah di bagian barat daya Kota Magelang, yaitu Kwarasan. Gaya khas Karsten adalah kepeduliannya terhadap lingkungan hidup dan menghargai nilai kemanusiaan. Dia tidak pernah melupakan kepentingan kalangan berpenghasilan rendah, sesuatu yang jarang ditemui pada orang-orang Belanda masa itu.

Pada tahun 1921 Karsten menikah dengan Soembinah Mangunredjo dan mempunyai empat anak, masing-masing Regina (1924), Simon (1926), Joris (1928), dan Barta (1929). Dia juga bergabung dalam Instituut de Java, sebuah perkumpulan yang peduli terhadap budaya Jawa. Karsten mengkritik banyak arsitek Belanda sebelumnya yang lebih berkonsep "menaruh Eropa di Jawa". Bagi Karsten, Jawa adalah Jawa, bukan Belanda. Karsten menganggap kota sebagai suatu organisme hidup yang terus bertumbuh. Dalam rencana pengembangan kota, Karsten menganggap penting keberadaan taman-taman kota serta ruang terbuka, dua hal yang tampaknya saat ini mulai terabaikan. Akibat filosofi ini muncullah gaya arsitektur 'Indisch' yang populer pada masa pra-kemerdekaan.

Semenjak berdirinya Technische Hoogeschool di Bandung (ITB sekarang) Karsten menjadi salah satu pengajarnya. Pada tahun 1941 ia menjadi guru besar. Arsitek generasi pertama Indonesia banyak yang merupakan muridnya.

Secara politis, Karsten adalah orang pro-kemerdekaan, suatu sikap yang hanya diambil oleh sebagian kecil kalangan keturunan Eropa (Indo) pada masanya. Malangnya, ia ditangkap oleh tentara pendudukan Jepang pada tahun 1942 sampai ia meninggal di Kamp Interniran Cimahi 1945. Cita-citanya untuk meninggal di bumi Indonesia tercapai walau harus dalam situasi yang tragis.

Beberapa karya Thomas Karsten yang abadi

Bandung
Banjarmasin
Bogor
Cirebon
Jakarta (termasuk Jatinegara/Meester Cornelis)
  • Lapangan Monas (1937)
Madiun
Magelang
Malang
  • Kawasan Jalan Ijen
Padang
Palembang
  • Pasar Sentral
  • Pasar Ilir
Purwokerto
 
Pasar Johar, Semarang
Semarang
  • Penataan kota daerah Candi (1916), Pekunden, Peterongan, Sompok, Semarang Timur (1919), Kampung Senjoyo, Progo, Mlatiharjo[1]
  • Pasar Jatingaleh (1930)
  • Pasar Randusari
  • Pasar Johar (1933)
  • Zustermaatschappijen de Semarang (sekarang Kantor PT KAI Daop IV)
  • Djakarta LLyod Stoomvart Nederland (Kantor PT (Persero) Djakarta Lloyd)
  • Stasiun Poncol (Semarang-Cheribon Stoomtram Maatscappij),
  • Nederlansch Kerk (Gereja Blenduk)
  • Rumah Sakit Elizabeth)
  • Taman Diponegoro.
Surakarta
  • Pasar Gede Harjonagoro (1930 diresmikan)
  • Kawasan Pemukiman (Villapark) Banjarsari
  • Stasiun Solo Balapan
  • Gerbang luar dan Pendapa Pura Mangkunegaran (1917-1920)
  • Masjid Wustho Mangkunegaran
  • Kawasan Lingkar Manahan
Yogyakarta
  • Museum Sonobudoyo (1933)

Pranala luar

Referensi