Tjoe Bou San: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
 
(14 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 59:
| awards = <!-- For civilian awards - appears as "Awards" if |mawards= is not set -->
}}
'''Tjoe Bou San''' '''(朱茂山)''' yang memiliki nama pena '''Oen Tjip Tiong''' dan '''Hauw San Liang''', serta nama samaran '''San Ling Hauw''' dan '''Getoel Gaet''' adalah tokoh [[nasionalis Tionghoa]] di [[Hindia Belanda]] yang lahir di [[Batavia]] tahun 1891 dan meninggal di Batavia tanggal 3 November 1925. Dia memulai karier menulis untuk surat kabar ''Hoa Pit'' dan ''Perniagaan''. Pada 1919, dia membeli saham Hauw Tek Kong dan menjadikan dirinya sebagai pemimpin redaksi yang merangkap jabatan sebagai direktur ''[[Sin Po]]''. Koran itu lantas menjadi pelopor nasionalisme Tionghoa yang cukup berpengaruh di Hindia Belanda. Tjoe sendirilah yang mengembangkan konsep nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda dan memimpin kampanye dalam memberantas kekawulaan Belanda ketika berlangsung [[Perang Dunia I]]. Dia merasa bahwa warga Tionghoa di Hindia Belanda (baik [[Orang Peranakan|peranakan]] maupun [[totok]]) harus menganggap diri mereka [[Tionghoa]].
 
Tjoe menulis kritik-kritikannya melalui surat kabar ''Sin Po''. Tulisan-tulisan maupun kritikannya dikenal tajam, sehingga sering menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Pandangan nasionalismenya itu berseberangan dengan beberapa tokoh, yaitu [[P.H. Fromberg Sr]], [[Yap Hong Tjoen]], dan [[Hauw Tek Kong]]. Selain dikenal sebagai wartawan dan pemimpin pergerakan nasionalisme Tionghoa, dia juga merupakan seorang penulis novel. Salah satu novel terbaiknya adalah ''The Loan Eng'' yang terbit pada 1922.
 
Ketika kesehatannya semakin menurun, dia jarang menulis mengenai hal-hal berbau politik, tetapi lebih banyak membaca buku-buku filsuf dan menerjemahkan buku-buku Tiongkok klasik. Pemikirannya saat itu lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran [[Lao Zi]] (Lao Tzu) yang menganjurkan ''[[wu wei]]'' atau ''boet wi'' (tidak berbuat apa-apa). Dia meninggal ketika berusia 34 tahun. Menurut berita ''Sin Po,'' kematiannya disebabkan oleh penyakit paru-paru.
 
== Biografi ==
Baris 74:
 
=== Karier ===
Salmon mengatakan bahwa Tjoe memulai menulis untuk surat kabar ''Hoa Pit'' dan ''Perniagaan'', tetapi tidak menyebutkan periodenya secara jelas.{{sfnp|Salmon|1981|p=360|ps=}} Ketika berusia 18 tahun, Tjoe menjadi pemimpin redaksi majalah mingguan berkala resmi terbitan ''Soe Po Sia'' (Taman Bacaan){{sfnp|Lee|1987|p=114|ps=}} – organisasi totok berhaluan nasionalisme Tionghoa di Batavia yang mendukung revolusi [[Sun Yat-sen|Sun Yat Sen]],''{{sfnp|Wibowo|Lan|p=53|ps=|2010}}'' yaitu ''Hoa Tok Po'' edisi Melayu.{{sfnp|Setyautama|2008|p=460|ps=}}{{sfnp|Setiono|2008|p=446|ps=}}{{sfnp|Lee|2013|p=175|ps=}}<ref name=":6">{{Cite web|last=Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta|first=|date=1 April 2017|title=Tjoe Bou San|url=https://jakarta.go.id/artikel/konten/4931/tjoe-bou-san|website=Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta|access-date=2 Mei 2020}}</ref> Suryadinata meragukan penyebab Tjoe tidak dijadikan sebagai editor dari majalah ''Hoa Tok Po'' edisi Tionghoa yang dikuasai totok, yaitu kemungkinan karena dia adalah seorang peranakan atau kurang mahir menguasai bahasa Tionghoa.{{sfnp|Suryadinata|2010|p=1|ps=}} Lebih lanjut, Suryadinata meragukan mengenai masa jabatan Tjoe sebagai pemimpin majalah tersebut karena dia kemudian pindah ke [[Kota Surabaya|Surabaya]] dan memimpin surat kabar ''[[Tjhoen Tjhioe|]]''Tjhoen Tjhioe'']] (Musim Semi dan Musim Gugur) sejak Februari–Juni 1917.{{sfnp|Suryadinata|2010|p=2|ps=}}
 
Sebelumnya, dia juga pernah menerbitkan mingguan ''Penghibur'' yang dicetak oleh percetakan Kho Tjeng Bie bersama [[Lauw Giok Lan]] (Liu Njuk Lan), [[Lie On Moy]], [[Lie In Eng]], dan [[Song Chong Soei]] pada 1913, tetapi hanya bertahan dalam waktu singkat.''{{sfnp|Setiono|2008|p=445|ps=}}'' Sam Setyautama (penulis buku ''Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia'') menyebutkan bahwa Tjoe lantas pindah lagi ke Batavia pada pertengahan tahun 1917 setelah meninggalkan harian ''Tjhoen Tjhioe'' dan berkunjung ke tanah leluhurnya, serta bekerja sebagai koresponden harian ''Sin Po'' edisi Melayu yang dipimpin oleh [[Kwee Hing Tjiat]].{{sfnp|Setyautama|2008|p=460|ps=}}{{sfnp|Lee|1987|p=114|ps=}}<ref>{{Cite web|last=Atmojo|first=Kemala|date=18 Juli 2008|title=Majalah dan Koran ''Sin Po''|url=http://koleksikemalaatmojo.blogspot.com/2008/07/majalah-dan-koran-sin-po.html|website=Koleksi Kemala Atmojo|access-date=24 Februari 2021}}</ref>
 
Setahun kemudian, dia kembali lagi ke Batavia dan diangkat menjadi pemimpin redaksi tersebut untuk menggantikan Tjiat yang pergi ke [[Eropa]].{{sfnp|Setyautama|2008|p=460|ps=}} [[Benny G. Setiono|Benny Gatot Setiono]] (peraih Weirtheim Award tahun 2008) menambahkan bahwa Tjoe selanjutnya membeli saham Tek Kong pada 1919 dan menjadikan dirinya pemimpin redaksi yang merangkap jabatan sebagai direktur ''Sin Po.{{sfnp|Setiono|2008|p=446|ps=}}'' Koran itu lantas menjadi pelopor nasionalisme Tionghoa yang cukup berpengaruh di Hindia Belanda.<ref name=":4">{{Cite web|last=Suryadinata|first=Leo|date=8 Juli 2017|title=''Sin Po'', Koran yang Pertama Siarkan Lagu Indonesia Raya|url=https://sinarharapan.net/2017/07/38097/|website=Sinar Harapan|access-date=2 Juli 2020|archive-date=2020-07-03|archive-url=https://web.archive.org/web/20200703024809/http://sinarharapan.net/2017/07/38097/|dead-url=yes}}</ref><ref name=":8">{{Cite web|last=Tjeng|first=Lie Tek|date=19 Januari 2020|title=Upaya Tak Berprasangka|url=https://moeseum.id/sin-po-chung-hwa-hui-pti/|website=Museum (Masa Lampau untuk Massa)|access-date=2 Mei 2020}}</ref> Dia sendirilah yang mengembangkan konsep nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda dan memimpin kampanye dalam memberantas kekawulaan Belanda ketika berlangsung Perang Dunia I.{{sfnp|Suryadinata|2010|p=2|ps=}}
 
== Nasionalis Tionghoa ==
Nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda bermula pada 17 Maret 1900 dengan berdirinya ''[[Tiong Hoa Hwee Koan]]'' (THHK) atau dikenal juga sebagai sekolah ''Pa Hoa'', yaitu Rumah Perkumpulan Tionghoa di Patekoan, Batavia.{{sfnp|Lan|1940|p=3–8|ps=}}{{sfnp|Leo|2010|p=23|ps=}}{{sfnp|Kurniawan|2014|p=22|ps=}} Organisasi ini didirikan oleh [[Phoa Keng Hek]], [[Lie Kim Hok]], dan [[Lie Hin Liam]] dengan tujuan awal memperbaiki kebiasaan orang Tionghoa setempat berdasarkan [[Agama Konghucu|Konfusianisme]].<ref>{{Cite web|last=Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta|date=6 Juli 2018|title=''Tiong Hoa Hwee Koan''|url=http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/Tiong-Hoa-Hwee-Koan?lang=id|website=Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta|access-date=19 Februari 2021}}</ref><ref>{{Cite web|last=Al Faqir|first=Anisyah|date=16 Agustus 2019|title=''Tiong Hoa Hwee Koan'' yang Mendahului Boedi Oetomo|url=https://www.merdeka.com/khas/tiong-hoa-hwee-kwan-yang-mendahului-boedi-oetomo.html|website=Merdeka|access-date=19 Februari 2021}}</ref>{{sfnp|Suryadinata|2010|p=41–42|ps=}} Organisasi tersebut kemudian menjadi perkumpulan khusus yang memajukan pendidikan Tionghoa dan berhasil mendirikan cabang di beberapa daerah.{{sfnp|Hapsari|2016|p=257|ps=}} Menurut pendapat dari para pemimpin THHK, orang Tionghoa dapat benar-benar mengerti ajaran [[Kong Hu Cu (filsuf)|Kong Hu Cu]] hanya dengan mempelajari [[bahasa Tionghoa]].{{sfnp|Lan|1940|p=3–8|ps=}}''{{sfnp|Wibowo|Lan|p=80|ps=|2010}}{{sfnp|Suryadinata|2012a2012|p=30|ps=}}{{sfnp|Suryadinata|2012a|p=47|ps=}}'' THHK juga dikenal sebagai organisasi yang memprakarsai istilah “[[Tionghoa]]”{{efn|Istilah ''Tionghoa'' dan ''Tiongkok'' berasal dari
bahasa Kanton, salah satu bahasa yang digunakan oleh orang Tionghoa di Indonesia. ''Tionghoa'' artinya orang Cina, sedangkan ''Tiongkok'' artinya negara Cina. Pada masa Orde Baru, istilah ''Cina'' digunakan untuk menyebut Tionghoa di Indonesia. Penggunaan istilah ini diputuskan dalam pertemuan perwira-perwira tinggi ABRI di Bandung pasca Peristiwa 1965, yang diduga melibatkan komunis Tiongkok. Adapun istilah ''Cina'' pada masa kolonial dahulu digunakan untuk merendahkan dan menghina orang Tionghoa. Penggunaan istilah tersebut dimaksudkan untuk mengurangi atau menghapuskan perasaan superior dan inferior antara Tionghoa dengan pribumi ({{harvnb|Kurniawan|2014|pp=20}}).}} secara luas,<ref>{{Cite web|last=Tan|first=Herman|date=27 November 2020|title=Perjuangan Sekolah ''Tiong Hoa Hwee Koan'' dan Cara Mereka Menghina Tionghoa|url=https://www.tionghoa.info/perjuangan-sekolah-tiong-hoa-hwee-koan-dan-cara-mereka-menghina-tionghoa/|website=Tionghoa Info|access-date=19 Februari 2021}}</ref>{{sfnp|Suryadinata|2010|p=64|ps=}} serta penggalang persatuan Tionghoa ''hoa kiao'' (perantauan), baik peranakan maupun totok.{{sfnp|Kurniawan|2014|p=22|ps=}}
 
Baris 97:
<blockquote>''Cuma satu perkara yang bikin saya punya hati sedikit ringan. Saya punya haluan kurang lebih ada persamaan dengan Tuan Kwee Hing Tjiat. Lantaran itu adalah satu hal yang saya berani janjikan kepada penduduk Tionghoa di Hindia Belanda''.{{sfnp|Suryadinata|1990|p=4|ps=}}</blockquote>
 
Pada 1918, Tjoe mulai menggerakkan orang Tionghoa di Hindia Belanda untuk memberantas [[Undang-Undang Kekawulaan Belanda]].{{sfnp|Leo|2010|p=30|ps=}} PerluDinasti diketahuiManchu bahwadi Dinastisisi Manchulain sudah mengumumkan Undang-Undang Kewarganegaraan Kerajaan pada 1909 sebelum terjadi [[Revolusi Xinhai]] atau Revolusi 1911, yang menegaskan bahwa semua orang yang berdarah Tionghoa dianggap berkewarganegaraan Tiongkok. Setahun kemudian, pemerintah Belanda juga mengumumkan bahwa penduduk yang lahir di Hindia Belanda adalah ''Nederlands Onderdanen'' (kawula Belanda) – peranakan Tionghoa otomatis menjadi kawula.{{sfnp|Suryadinata|1984|p=47|ps=}} Setelah Republik Tiongkok berdiri, pemerintah Tiongkok yang baru melanjutkan konsep kewarganegaraan Dinasti Manchu. Republik Tiongkok menganggap semua orang Tionghoa (baik peranakan maupun totok) sebagai warga negaranya, tetapi Tiongkok dipaksa mengakui yurisdiksi Belanda. Selama orang Tionghoa itu bermukim di daerah kekuasaan Belanda, Undang-Undang Belanda yang berlaku.{{sfnp|Xuanyi|2019|p=197|ps=}}<ref>{{Cite web|last=Abubakar|first=Azmi|date=18 Agustus 2020|title=Pahlawan Bangsa dari Etnis Tionghoa|url=https://geotimes.co.id/kolom/pahlawan-bangsa-dari-etnis-tionghoa/|website=Geotimes|access-date=25 Februari 2020}}</ref> Hal ini ditegaskan dalam perjanjian konsuler antara Tiongkok dan Belanda.{{sfnp|Suryadinata|1986|p=41–42|ps=}} Oleh karena itu, orang totok tetap menjadi warga negara Tiongkok, sedangkan peranakan Tionghoa dalam praktiknya memiliki “kewarganegaraan rangkap” (kawula Belanda dan warga negara Tiongkok).{{sfnp|Suryadinata|1990|p=4|ps=}}{{sfnp|Suryadinata|1984|p=47|ps=}}
 
Menurut Suryadinata, ''Sin Po'' berhasil mengumpulkan 28.789 tanda tangan dalam kampanye memberantas Undang-Undang Kekawulaan.{{sfnp|Suryadinata|1986|p=44|ps=}} Tek Kong, mantan direktur ''Sin Po,'' kemudian ditugaskan ke Tiongkok untuk menyampaikan tanda tangan itu dan meminta pemerintah di Peking (sekarang [[Beijing]]) menyokong petisi peranakan Tionghoa, yaitu mendesak Belanda supaya memberikan [[hak repudiasi]] (hak untuk menolak suatu kewarganegaraan yang ditawarkan oleh negara lain) kepada peranakan. Namun, kampanye itu tidak berhasil karena Tiongkok tetap menandatangani perjanjian konsuler yang mengakui hak yurisdiksi pemerintah Belanda terhadap peranakan. Selain itu, kampanye yang dilakukan oleh Tjoe juga kehilangan momentumnya karena pemerintah Belanda sendiri tidak memaksakan usul pertahanan Hindia Belanda itu.{{sfnp|Suryadinata|2010|p=5|ps=}}
 
Setiono berpendapat bahwa kontroversi masalah tersebut akhirnya berhenti karena pemerintah Belanda membatalkan wajib militer bagi kawula dengan pertimbangan mempersenjatai orang-orang yang memiliki kecenderungan nasionalis sangat membahayakan kedudukan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian melakukan tekanan dan intimidasi kepada para pemimpin Tionghoa yang aktif melakukan perlawanan dan memaksa mereka yang berada di luar negeri untuk kembali ke Hindia Belanda. Selain itu, para pemimpin peranakan Tionghoa dan pengusaha banyak yang tidak mendukung kampanye ini karena mereka merasa sudah memiliki posisi yang kuat di Hindia Belanda. Faktor lain yang turut menyurutkan kampanye tersebut adalah kurangnya dukungan dari pemerintah nasionalis Tiongkok yang sedang menghadapi banyak persoalan di dalam negerinya. Orang Tionghoa memang gagal untuk menolak menjadi kawula, tetapi usaha untuk memperoleh status Eropa juga diabaikan oleh pemerintah Belanda dengan alasan akan melukai perasaan golongan [[Pribumi-Nusantara|bumiputra]] yang akan menimbulkan pergolakan di Hindia Belanda.''{{sfnp|Setiono|2008|p=480|ps=}}''
Baris 198:
!Tahun terbit
|-
|''[[s:Pembalesan Kedji|Pembalesan Kedji]]''
| align="left" |''Penghidoepan Radja Belgie, Satoe Tjerita jang Betoel Telah Kedjadian di Europa''
| align="center" |1907
|-
| align="left" |''[[s:Penghidoepan Radja Belgie|Penghidoepan Radja Belgie, Satoe Tjerita jang Betoel Telah Kedjadian di Europa]]''
| align="center" |1913
|-
Baris 267 ⟶ 270:
* {{Cite book|title=Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, 1965–2008|last=Suryadinata|first=Leo|date=2010|publisher=Penerbit Buku Kompas|isbn=978-979-7095-30-7|location=Jakarta|pages=|url-status=live|ref={{sfnref|Leo|2010}}}}
* {{Cite book|url=|title=Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia: Dari Tjoe Bou San Sampai Yap Thiam Hien|last=Suryadinata|first=Leo|publisher=Komunitas Bambu|date=|year=2010|isbn=978-979-3731-75-9|location=Jakarta|pages=|ref={{sfnref|Suryadinata|2010}}|url-status=live}}
* {{Cite book|title=Southeast Asian Personalities of Chinese Descent: A Biographical Dictionary, Volume I and II|last=Suryadinata|first=Leo|date=2012|publisher=Institute of Southeast Asian Studies, Chinese Heritage Center|isbn=978-981-4345-21-7|location=Singapura|pages=|url-status=live|ref={{sfnref|Leo|2012a2012}}}}
* {{Cite book|title=Southeast Asian Personalities of Chinese Descent: Glossary and Index Volume 2|last=Suryadinata|first=Leo|date=2012b2012|publisher=Institute of Southeast Asian Studies, Chinese Heritage Center|isbn=978-981-4414-13-5|location=Singapura|pages=|url-status=live|ref={{sfnref|Suryadinata|2012b2012}}}}
* {{Cite book|title=An Introduction to Confucianism|url=https://archive.org/details/introductiontoco0000yaox|last=Yao|first=Xinzhong|date=2000|publisher=Cambridge University Press|isbn=978-052-1644-30-3|location=Cambridge|pages=|url-status=live|last2=Yao|first2=Hsin-chung|ref={{sfnref|Yao|Yao|2000}}}}
* {{Cite book|title=Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998|last=Wibowo|first=I.|date=2010|publisher=Penerbit Buku Kompas|isbn=978-979-7094-72-0|location=Jakarta|pages=|url-status=live|last2=Lan|first2=Thung Ju|ref={{sfnref|Wibowo|Lan|2010}}}}
 
Baris 285 ⟶ 288:
 
* {{Cite journal|last=Abdullah|first=Nafilah|year=Juni 2002|title=''Yin'' dan ''Yang'' dalam Sistem Ketuhanan Konghucu|url=http://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/Religi/article/view/1961|journal=Religi|volume=1|issue=1|pages=|doi=|issn=2548-4753|ref={{sfnref|Abdullah|2002}}|date=}}
* {{Cite journal|last=DahanaAprianto|first=A.Iwan Dwi|year=AprilDesember 20002022|title=KegiatanTjoe AwalBou MasyarakatSan, Nasionalis Tionghoa didan IndonesiaRedaktur Sin Po|url=httphttps://journalpatrawidya.uikemdikbud.acgo.id/index.php/wacanapatrawidya/article/view/3848412|journal=WacanaPatra Widya|volume=223|issue=12|pages=|doi=|issn=14112598-22724209|ref={{sfnref|DahanaAprianto|20002022}}|date=}}
* {{Cite journal|last=Dahana|first=A.|year=April 2000|title=Kegiatan Awal Masyarakat Tionghoa di Indonesia|url=http://journal.ui.ac.id/index.php/wacana/article/view/3848|journal=Wacana|volume=2|issue=1|pages=|doi=|issn=1411-2272|ref={{sfnref|Dahana|2000}}|date=|access-date=2021-02-25|archive-date=2022-06-23|archive-url=https://web.archive.org/web/20220623145532/http://journal.ui.ac.id/index.php/wacana/article/view/3848|dead-url=yes}}
* {{Cite journal|last=Hapsari|first=Retnaningtyas Dwi|year=November 2016|title=Bibit Nasionalisme di Kalangan Penduduk Tionghoa di Indonesia|url=https://jurnal.dpr.go.id/index.php/politica/article/view/1137|journal=Politica|volume=7|issue=2|pages=|doi=|issn=2087-7900|ref={{sfnref|Hapsari|2016}}|date=}}
* {{Cite journal|last=Kurniawan|first=Hendra|year=November 2014|title=Peran Etnis Tionghoa pada Masa Pergerakan Nasional: Kajian Pengembangan Materi Pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah Atas|url=https://e-journal.usd.ac.id/index.php/JP/article/view/802|journal=Penelitian|volume=18|issue=1|pages=|doi=|issn=1410-5071|ref={{sfnref|Kurniawan|2014}}|date=}}
* {{Cite journal|last=Pitoyo|first=Joko|year=Desember 2006|title=Manusia Bijaksana Menurut Taoisme|url=https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/23199|journal=Filsafat|volume=16|issue=3|pages=|doi=|issn=2528-6811|ref={{sfnref|Pitoyo|2006}}|date=|last2=}}
* {{Cite journal|last=Rohmadi|first=Nazirwan|year=Juni 2019|title=''Volksraad'' (People Council): Radicale Concentratie Political Arena and National Fraction, 1918–1942|url=https://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/30505|journal=Humaniora|volume=31|issue=2|pages=|doi=|issn=2302-9269|ref={{sfnref|Rohmadi|Warto|2019}}|date=|last2=Warto}}
* {{Cite journal|last=Rohmah|first=Fauziyatur|year=Oktober 2014|title=Kritik Kwee Kek Beng Terhadap Pendidikan Anak-Anak Tionghoa di Hindia Belanda|url=https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/8938|journal=Avatara|volume=2|issue=3|pages=|doi=|issn=2354-5569|ref={{sfnref|Rohmah|2014}}|date=|access-date=2021-02-25|archive-date=2020-01-23|archive-url=https://web.archive.org/web/20200123131519/http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/8938|dead-url=yes}}
* {{Cite journal|last=Widisuseno|first=Iriyanto|year=Desember 2011|title=Etika Natural Taoisme dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia|url=https://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/4006|journal=Humanika|volume=14|issue=1|pages=|doi=|issn=2502-5783|ref={{sfnref|Widisuseno|2011}}|date=}}
* {{Cite journal|last=Xuanyi|first=Lu|year=Agustus 2019|title=Terjemahan Beranotasi Buku ''Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia: Dari Tjoe Bou San Sampai Yap Thiam Hien'' (2010) Karya Leo Suryadinata dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Tionghoa|url=http://paradigma.ui.ac.id/index.php/paradigma/article/view/347|journal=Paradigma|volume=9|issue=2|pages=|doi=|issn=2503-0868|ref={{sfnref|Xuanyi|2019}}|date=|access-date=2021-02-24|archive-date=2020-08-02|archive-url=https://web.archive.org/web/20200802133219/http://paradigma.ui.ac.id/index.php/paradigma/article/view/347|dead-url=yes}}
{{refend}}
 
Baris 311 ⟶ 315:
 
{{lifetime|1891|1925|}}
 
[[Kategori:Tionghoa-Indonesia]]