Totaliterisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Borgx (bicara | kontrib)
k buang signature pengguna
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Add 1 book for Wikipedia:Pemastian (20231010)) #IABot (v2.0.9.5) (GreenC bot
 
(36 revisi perantara oleh 21 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:Historical totalitarian leaders.jpg|thumb|upright=1.3|Beberapa pemimpin yang sering kali disebut memimpin suatu rezim totaliter, dari kiri ke kanan, atas ke bawah, meliputi [[Joseph Stalin]], mantan [[Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet]]; [[Adolf Hitler]], mantan ''[[Führer]]'' [[Jerman Nazi|Jerman]]; [[Mao Zedong]], mantan [[Ketua Partai Komunis Tiongkok]]; [[Benito Mussolini]], mantan ''Duce'' [[Kerajaan Italia di bawah Fasisme (1922-1943)|Italia]]; dan [[Kim Il-sung]], [[Pemimpin Abadi Juche Korea|Pemimpin Abadi]] [[Korea Utara]].]]
Pemikiran politik yang melihat bahwa eksistensi manusia secara orang perorang tidaklah penting, sebaliknya tiap manusia menjalankan perannya untuk mendukung tercapainya kepentingan bersama. Untuk itu maka tuntunan utama adalah [[ideologi]] negara atau gagasan lain. Jerman di bawah partai Nazi dan Hitler merupakan contoh yang sering diungkapkan untuk bentuk pemerintahan yang merupakan perwujudan pemikiran politik ini.
{{Bentuk Pemerintah}}
{{politik}}
'''Totaliterisme''' atau '''totalitarianisme''' adalah sebuah konsep<ref>Rejai, Mostafa (1994). ''Political Ideologies: A Comparative Approach''. Armonk: M.E. Sharpe. p. 74. {{ISBN|9780765633781}}.</ref><ref>Schäfer, Michael (2004). ''Totalitarianism and Political Religions''. Oxford: Psychology Press. p. 78. {{ISBN|9780714685298}}.</ref> untuk suatu [[bentuk pemerintahan]] atau [[sistem politik]] yang menghalangi adanya pihak oposisi, membatasi oposisi seorang individu terhadap suatu negara beserta segala tuduhannya, dan melaksanakan kendali terhadap kehidupan publik dan pribadi warga negaranya dengan tingkat sangat tinggi. Totaliterisme sering dianggap sebagai bentuk [[otoritarianisme]] yang paling ekstrim dan paling ketat. Di negara yang totaliter, [[kekuasaan|kekuasaan secara politik]] sering kali dipegang oleh seorang [[autokrasi|autokrat]] atau [[diktator]] yang menjalankan kampanye di semua lini, di mana [[propaganda]] disiarkan oleh [[media massa]] yang dikendalikan negara.<ref name="reflections2">{{cite book|first=Robert|last=Conquest|title=Reflections on a Ravaged Century|url=https://archive.org/details/reflectionsonra00conq|year=1999|isbn=0-393-04818-7|page=[https://archive.org/details/reflectionsonra00conq/page/74 74]}}</ref>
 
Rezim yang totaliter sering kali ditandai dengan [[represi politik]] yang kuat, tiadanya [[demokrasi]], [[kultus individu|pengagungan terhadap suatu individu]] secara meluas dan mengakar, [[Intervensionisme ekonomi|kendali absolut atas ekonomi]] negara, [[penyensoran]] yang masif, [[pengintaian massal]] terhadap kehidupan pribadi dan publik warganya, terbatasnya [[kebebasan bergerak]] (termasuk hak untuk meninggalkan negara), dan penggunaan metode [[terorisme negara|terorisme]] sebagai alat negara untuk mengendalikan warganya. Aspek lainnya meliputi penggunaan [[kamp konsentrasi]], [[polisi rahasia]] yang represif, persekusi atau larangan terhadap kebebasan beragama atau berlakunya [[ateisme negara]], pemberlakuan [[hukuman mati]], [[kecurangan pemilu|proses pemilu yang curang atau disabotase untuk mendukung rezim penguasa]] (jika diadakan), kepemilikan [[senjata pemusnah massal|senjata pemusnah]], potensi adanya [[pembunuhan massal]] atau [[genosida]] yang dilakukan pemerintah, dan kemungkinan terjadinya [[perang]], [[Aneksasi|pencaplokan]] atau [[penjajahan]] terhadap negara lain. Sejarawan [[Robert Conquest]] menjabarkan negara totaliter sebagai suatu negara yang mengakui kekuasaan yang tidak terbatas dalam setiap lingkup publik maupun pribadi dan memperlebar kuasa tersebut selebar mungkin selama dapat dilakukan.<ref name="reflections2"/>
Sebutan totaliter atau menyeluruh diberikan karena seluruh aspek kehidupan tiap individu harus sesuai dengan garis atau aturan negara, hal ini diperlukan untuk tercapainya tujuan negara, tujuan bersama. Jerman di bawah Nazi misalnya sangat mengagungkan ras Aria, sebagai ras yang unggul di atas semua ras lain di dunia. Untuk mewujudkan hal ini, misalnya pada periode itu dilakukan ''pemurnian'' ras Aria di Jerman dengan upaya untuk menghapus ras lain (utamanya Yahudi). Juga dengan dalih untuk mempersatukan Jerman Raya, invasi dilakukan kenegara tetangga yang memiliki penduduk dari Ras Aria.
 
Totalitarianisme pertama kali dikembangkan pada era 1920an oleh ahli hukum [[Republik Weimar]] dan kemudian cendekia [[Partai Nazi]] [[Carl Schmitt]] dan secara bersamaan oleh kelompok [[fasis]] di Italia. Seorang fasis Italia, [[Benito Mussolini]] menyatakan: "Segalanya di dalam negara, tiada yang keluar dari negara, tiada yang melawan negara." Schmitt menggunakan istilah ''Totalstaat'' dalam karyanya ''[[The Concept of the Political]]'' di tahun 1927, yang membahas dasar hukum dari suatu negara adikuasa.<ref>{{cite book|first=Carl|last=Schmitt|date=1927|title=The Concept of the Political (German: Der Begriff des Politischen)|isbn=0-226-73886-8|edition=1996 University of Chicago Press|publisher=Rutgers University Press|page=22}}</ref> Istilah ini menjadi sering digunakan dalam diskursus politik antikomunis [[Dunia Barat|Barat]] sepanjang era [[Perang Dingin]] sebagai alat untuk mengubah arah gerakan [[antifasisme]] yang muncul sebelum [[Perang Dunia II]] menjadi gerakan [[antikomunisme]] pascaperang.<ref name="defty">{{cite book|first=Brook|last=Defty|year=2007|title=Britain, America and Anti-Communist Propaganda 1945–1953|others=Chapters 2–5|publisher=The Information Research Department}}</ref><ref name="siegel">Siegel, Achim (1998). ''The Totalitarian Paradigm after the End of Communism: Towards a Theoretical Reassessment''. Rodopi. p. 200. {{ISBN|9789042005525}}. "Konsep totalitarianisme menjadi begitu meluas pada masa puncak-puncaknya Perang Dingin. Sejak akhir 1940an, khususnya sejak Perang Korea, konsep ini dipersempit menjadi suatu ideologi yang meresap, bahkan hegemonis, di mana para elite politik dari negara-negara Barat mencoba untuk menjelaskan atau bahkan mencari pembenaran atas konstelasi Perang Dingin."</ref><ref name="guilhot">Guilhot, Nicholas (2005). ''The Democracy Makers: Human Rights and International Order''. Columbia University Press. p. 33. {{ISBN|9780231131247}}. "Perlawanan antara totalitarianisme [antara] Barat dan Soviet sering kali disajikan sebagai dua hal yang saling bertolak belakang secara moral maupun epistemiologis antara benar dan salah. Mandat demokrasi, sosial, dan ekonomi dari Uni Soviet sering kali dilihat sebagai 'kebohongan' dan sebagai hasil dari propaganda yang disengaja dan multibentuk. [...] Dalam konteks ini, konsep totalitarianisme itu sendiri adalah sebuah aset. Sebisa mungkin untuk mengonversi antifasisme sebelum perang menjadi antikomunisme pascaperang."</ref><ref name="caute">{{cite book|last=Caute|first=David|year=2010|url=https://books.google.com/books?id=ttmCWwuxX8cC&pg=PA95|title=Politics and the Novel during the Cold War|publisher=Transaction Publishers|pages=95–99|isbn=9781412831369}}</ref><ref name="reisch">Reisch, George A. (2005). ''How the Cold War Transformed Philosophy of Science: To the Icy Slopes of Logic''. Cambridge University Press. pp. 153–154. {{ISBN|9780521546898}}.</ref>
Pemerintahan Komunis juga kerap dicontohkan sebagai bentuk perwujudan totaliterisme, karena kewenangan negara untuk mengatur tiap sisi kehidupan orang perorang. Argumen pendukungnya adalah bahwa upaya perlawanan terhadap kelompok atau kelas yang berkuasa menuntut pembersihan terhadap keseluruhan tatanan budaya yang mendukugnya.
 
Rezim totalitarianisme berbeda dengan [[otoritarianisme|bentuk rezim otoriter lainnya]]. Rezim otoriter ditandai dengan pemegang kuasa tunggal, biasanya seorang [[diktator]], suatu komite, [[junta]] militer, atau sekelompok elite politik, yang memonopoli kuasa politik. Dalam hal ini, "negara yang otoriter [...] hanya peduli dengan kekuasaan politik dan selama kuasa itu tidak dipertanyakan, rezim otoriter akan memberikan masyarakatnya kebebasan di tingkat tertentu."<ref name="Cinpoes">Cinpoes, Rady. ''Nationalism and Identity in Romania: A History of Extreme Politics from the Birth of the State to EU Accession''. p. 70.</ref> Radu Cinpoes menulis otoritarianisme "tidak mencoba mengubah dunia dan sifat manusia".<ref name="Cinpoes"/> Sebaliknya, [[Richard Pipes]] menulis bahwa rezim totaliter mencoba untuk mengendalikan hampir semua aspek kehidupan sosial, termasuk ekonomi, pendidikan, seni, sains, kehidupan pribadi dan moral dari warganya. Beberapa pemerintahan totaliter mungkin akan merincikan suatu ideologi baru, di mana "[[ideologi]] resmi" tersebut masuk "hingga ke akar-akar struktur sosial dan pemerintahan totaliter juga mendambakan untuk mengendalikan penuh pikiran dan tindakan warganya."<ref name="regime">{{cite book|last=Pipes|first=Richard|author-link=Richard Pipes|year=1995|title =Russia Under the Bolshevik Regime|location=New York|publisher=Vintage Books, Random House|isbn=0394502426|page=[https://archive.org/details/russiaunderbolsh00rich/page/243 243]|url-access =registration|url=https://archive.org/details/russiaunderbolsh00rich/page/243}}</ref> Rezim juga akan menggerakkan seluruh populasi demi mencapai tujuannya. [[Carl Joachim Friedrich]] menulis bahwa "ideologi totalis, suatu partai yang diperkuat dengan [[polisi rahasia]], dan kontrol monopoli terhadap [...] masyarakat industrial" adalah tiga ciri-ciri rezim totaliter yang membedakannya dengan bentuk otokrasi lainnya."<ref name="Cinpoes"/>
Bentuk pemerintahan yang mendasarkan diri pada ajaran suatu agama yang menyatukan otoritas politik dan otoritas spiritual punya potensi kuat menjadi negara otoriter. karena negara (sebagai otoritas politik sekuler dan spiritual) bisa mengatur setiap aspek kehidupan warganya.
 
==Referensi==
{{reflist}}
 
{{politik-stub}}
 
[[Kategori:Politik]]
[[Kategori:Represi politik]]