Tuanku Imam Bonjol: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak perubahan teks terakhir (oleh 203.78.120.205) dan mengembalikan revisi 15559432 oleh Rahmatdenas
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 25:
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di [[kerajaan Pagaruyung]] untuk menerapkan dan menjalankan syariat [[Islam]] sesuai dengan ''Ahlus Sunnah wal Jamaah'' ([[Sunni]]) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah ''shalallahu 'alaihi wasallam''. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam ''Harimau nan Salapan'' meminta [[Tuanku Lintau]] untuk mengajak [[Yang Dipertuan Pagaruyung]] beserta [[Kaum Adat]] untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (''bid'ah'').
 
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara [[Kaum Padri]] (penamaan bagi kaum ulama) dengan ''Kaum Adat''. Seiring itu dibeberapadi beberapa [[nagari]] dalam [[kerajaan Pagaruyung]] bergejolak, dan sampai akhirnya ''Kaum Padri'' di bawah pimpinan [[Tuanku Pasaman]] menyerang [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di [[Koto Tangah, Tanjung Emas, Tanah Datar|Koto Tangah]] dekat [[Batu Sangkar]]. [[Sultan Arifin Muningsyah]] terpaksa melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubukjambi.
 
Pada [[21 Februari]] [[1821]], kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah [[Hindia Belanda]] berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di [[Padang]], sebagai kompensasi [[Belanda]] mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).<ref>G. Kepper, (1900), ''Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900'', M.M. Cuvee, Den Haag.</ref> Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti [[kerajaan Pagaruyung]] di bawah pimpinan [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Tangkal Alam Bagagar]] yang sudah berada di [[kota Padang|Padang]] waktu itu.