Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

konstitusi Republik Indonesia

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (umunya disingkat UUD 1945, kadang juga disingat UUD RI 1945 atau UUD '45) adalah konstitusi Republik Indonesia yang berlaku.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tengah
Naskah UUD 1945, diterbitkan pada tahun 1946.
Ikhtisar
Yurisdiksi Indonesia
Penyusunan1 Juni–18 Agustus 1945
Penyampaian18 Agustus 1945
Ratifikasi18 Agustus 1945
Tanggal berlaku18 Agustus 1945
SistemRepublik kesatuan
Struktur pemerintahan
Cabang3
Kepala negaraPresiden
Lembaga legislatifMPR, terdiri atas DPR dan DPD
Lembaga eksekutifPresiden, dibantu oleh menteri-menteri
Lembaga kehakimanMA, MK, dan KY
FederalismeKesatuan
Kolese elektoralTidak
Pembatasan amendemen1
Sejarah
Pembentukan badan legislatif29 Agustus 1945
Pembentukan badan eksekutif18 Agustus 1945
Pembentukan badan peradilan18 Agustus 1945
Amendemen4
Amendemen terakhir11 Agustus 2002
Lokasi dokumenArsip Nasional, Jakarta
PenetapPPKI
PerumusBPUPKI
Jenis mediaDokumen teks tercetak
Naskah lengkap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di Wikisource

UUD 1945 dirumuskan oleh diberlakukan sebagai konstitusi negara Indonesia oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Pemberlakuannya sempat dihentikan selama 9 tahun dengan berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS 1950. UUD 1945 kembali berlaku sebagai konstitusi negara melalui Dekret Presiden yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1950. Setelah memasuki masa reformasi, UUD 1945 mengalami empat kali perubahan (amandemen) dari tahun 1999–2002.

Majelis Permusyawaratan Rakyat berhak melakukan perubahan terhadap UUD 1945 seperti yang telah dilakukan oleh lembaga ini. Ketentuan mengenai perubahan terhadap UUD 1945 ada dalam Pasal 37 UUD 1945.

Setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian atas Undang-Undang dan Mahkamah Agung atas peraturan di bawah Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945 sesuai amanat UUD 1945.[1]

Sejarah

Perumusan

Penyusunan rancangan UUD 1945 dilakukan secara bertahap oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yaitu badan yang dibentuk dengan izin Jepang pada tanggal 29 April 1945.[2]

Sidang pertama BPUPK, yang dilaksanakan dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni tersebut, menghasilkan gagasan "dasar negara", dengan mengacu pada rumusan "Pancasila" yang digagas oleh Soekarno. Selain itu, sidang ini juga menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Panitia Sembilan yang akan membahas lebih jauh mengenai gagasan tersebut agar menghasilkan rumusan yang matang.[3] Satu setengah bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan yang telah mengadakan sidang-sidang akhirnya merampungkan rumusan dasar negara tersebut dan menamakannya Piagam Jakarta. Naskah piagam inilah yang menjadi naskah Pembukaan UUD 1945.

Setelah itu, sidang kedua BPUPK yang berlangsung dari tanggal 10–17 Juli membahas perihal piagam tersebut dan komponen-komponen negara, seperti bentuk negara, bentuk dan susunan pemerintahan, kewarganegaraan, bendera dan bahasa nasional, dan sebagainya. Setelah beberapa perdebatan, akhirnya BPUPK merampungkan naskah rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) yang terdiri dari Pembukaan UUD yang mengacu pada Piagam Jakarta dan Batang Tubuh UUD yang berisi komponen-komponen tersebut.[4][5]

Pengesahan dan pemberlakuan

Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merupakan kelanjutan dari BPUPK mengadakan sidang pertamanya pada tanggal 18 Agustus. Sidang tersebut kemudian menghasilkan, salah satunya, penetapan rancangan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD yang dihasilkan BPUPK sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sah. Namun sebelum itu, PPKI mengganti kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" pada alinea keempat Pembukaan menjadi "Yang Maha Esa", karena adanya protes dari kalangan non-Muslim atas frasa tersebut. Lebih lanjut, pengesahan UUD 1945 ini dikukuhkan kembali oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945.

Dalam kurun waktu 1945–1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa kekuasaan legislatif diserahkan kepada KNIP, karena MPR dan DPR masih belum terbentuk. Pada tanggal 14 November 1945, Soekarno membentuk kabinet semiparlementer yang pertama (karena adanya jabatan Perdana Menteri di dalamnya), sehingga peristiwa ini merupakan peristiwa perubahan pertama dari sistem pemerintahan Indonesia yang seharusnya seperti yang disebutkan dalam UUD 1945.

UUD 1945 dinyatakan tidak berlaku secara otomatis setelah negara Republik Indonesia Serikat berdiri.

Penangguhan

Setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk pada 27 Desember 1949 dan Indonesia menjadi negara federasi berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, konstitusi yang digunakan di Indonesia juga secara otomatis berubah.[6] Sejak hari terbentuknya, RIS menggunakan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS). Konstitusi RIS ini tidaklah bertahan lama dan akhirnya dihapuskan pada tanggal 15 Agustus 1950,[7] yang diikuti dengan pembubaran negara RIS dan kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus.

Setelah peralihan tersebut, Indonesia memberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS 1950) yang merupakan modifikasi dari UUD RIS. Oleh karena itu, UUDS 1950 mengenal sistem pemerintahan Indonesia sebagai sistem parlementer. Setelah beberapa tahun berlaku, Indonesia pada tahun 1955 melaksanakan pemilihan umum untuk pertama kalinya dalam dua tahap, yaitu pemilihan anggota DPR pada tanggal 29 September dan pemilihan anggota konstituante pada tanggal 15 Desember.[8][9] Konstituante Republik Indonesia yang terdiri atas anggota-anggota terpilih pemilu tahap kedua tersebut bertugas mengadakan sidang-sidang untuk membahas dan merumuskan rancangan UUD yang baru menggantikan UUDS 1950. Namun badan tersebut tidak dapat menghasilkan rancangan UUD baru dan bahkan sebagian besar anggotanya berencana untuk menarik diri dari sidang konstituante. Keadaan genting ini memaksa Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan badan Konstituante Republik Indonesia, memberlakukan kembali UUD 1945 dan menidakberlakukan UUDS 1950, serta membentuk MPR dan DPA sementara secepatnya.[10][11]

Pemberlakuan kembali dan penyimpangan

Masa Demokrasi Terpimpin

 
Perangko "Kembali ke UUD 1945" dengan nominal 50 sen

Setelah pemerintah mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 yang sempat tidak berlaku selama sembilan tahun akhirnya kembali berlaku sebagai konstitusi negara.[12] Akibat pemberlakuan ini, jabatan Perdana Menteri Indonesia dihapuskan dan sistem pemerintahan Indonesia kembali menganut sistem presidensial sesuai amanat UUD 1945.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, terdapat berbagai penyimpangan terhadap UUD 1945. Penyimpangan-penyimpangan tersebut di antaranya ialah:[13][14]

  • Konsep Pancasila ditafsirkan sepihak oleh Soekarno.
  • Konsep demokrasi terpimpin yang digagas oleh Presiden Soekarno yang menekankan bahwa semua keputusan kenegaraan berpusat pada presiden, padahal Pemerintah Indonesia tersebut berdasarkan sistem konstitusional dan bukan sistem absolutisme (Penjelasan UUD sebelum amandemen), sementara UUD 1945 menyiratkan bahwa kekuasaan pemerintahan di Indonesia menganut asas pembagian kekuasaan.
  • Presiden Soekarno membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), padahal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah kekuasaan negara tertinggi dan lebih tinggi daripada posisi presiden (Penjelasan UUD sebelum amandemen), sehingga presiden tidak berhak untuk mengatur MPR.
  • Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan membentuk DPR Gotong Royong yang anggotanya ditunjuk sendiri oleh Soekarno, padahal presiden tidak berhak untuk membubarkan DPR (Penjelasan UUD sebelum amandemen).
  • Presiden Soekarno membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), padahal Dewan Pertimbangan Agung (DPA) bertugas memberi pertimbangan atas usulan presiden dan berhak memberi usulan kepada pemerintah (Pasal 16 sebelum amandemen) serta menjadi penasihat pemerintah (Penjelasan UUD sebelum amandemen). Presiden tidak seharusnya mengatur badan yang mengawasi pemerintah seperti hal tersebut.
  • MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa jabatan Presiden Indonesia hanya boleh dipegang selama lima tahun (Pasal 5 sebelum amandemen), dan setelah itu harus dipilih kembali oleh MPR (Pasal 6 sebelum amandemen).
  • Manipol USDEK yang dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh Soekarno, padahal yang berhak menentukan GBHN adalah MPR (Pasal 3 sebelum amandemen).
  • Konsep nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) yang digagas oleh Presiden Soekarno perlahan-lahan menggeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945.

Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru, pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.[15] UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah peraturan, yaitu:

Meskipun penyimpangan UUD 1945 secara eksplisit tidak tampak pada zaman Orde Baru, terdapat beberapa penyimpangan Pancasila sebagai dasar dari UUD 1945 yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, yakni:[16][17]

  • Konsep Pancasila masih ditafsirkan sepihak oleh Soeharto, dan terlebih lagi digunakan sebagai alat legitimasi politik untuk menguasai rakyat.
  • Pemusatan kekuasaan pada presiden yang masih terjadi di tangan Soeharto, meskipun pemusatan tersebut lebih terstruktur. Soeharto hanya mempercayakan orang-orang terdekatnya untuk menguasai perusahaan besar negara.
  • Pemerintahan Soeharto yang melarang adanya kritikan-kritikan untuk pemerintah dengan alasan menganggu kestablilan negara, termasuk juga pers.
  • Hak-hak politik dibatasi oleh pemerintah dengan mengurangi jumlah partai politik yang resmi menjadi tinggal tiga.

Perubahan

Setelah pemerintahan Orde Baru jatuh dan masa reformasi dimulai, terdapat banyak tuntutan untuk melakukan perubahan pada naskah UUD 1945. Alasan adanya tuntutan perubahan UUD 1945 tersebut antara lain karena kenyataan bahwa kekuasaan tertinggi bukan di tangan rakyat tetapi di tangan MPR yang dikuasai pemerintah, kekuasaan yang terlalu besar pada presiden, banyaknya pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir, serta kenyataan bahwa isi rumusan UUD 1945 yang mengatur penyelenggaraan negara yang belum cukup. Latar belakang dari tuntutan tersebut dapat dilihat dari bukti bahwa banyaknya penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 yang dapat terjadi di masa-masa sebelumnya. Oleh sebab itu, MPR mengadakan sidang-sidang umum yang menghasilkan amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali.[18][19][20]

  • Amandemen pertama terhadap UUD 1945 dilakukan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 yang berlangsung antara 14–21 Oktober 1999.
  • Amandemen kedua terhadap UUD 1945 dilakukan pada Sidang Umum MPR tahun 2000 yang berlangsung antara 7–18 Agustus 2000.
  • Amandemen ketiga terhadap UUD 1945 dilakukan pada Sidang Umum MPR tahun 2001 yang berlangsung antara 1–9 November 2001.
  • Amandemen keempat terhadap UUD 1945 dilakukan pada Sidang Umum MPR tahun 2002 yang berlangsung antara 1–11 Agustus 2002.

Perubahan-perubahan UUD 1945 tersebut sebagian besar berupa penyempurnaan atas aturan-aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dilakukan dengan beberapa syarat, di antaranya adalah Pembukaan UUD 1945 tidak boleh berubah, bentuk negara tetap dalam bentuk negara kesatuan, serta sistem pemerintahan tetap dalam bentuk sistem presidensial.

Setelah amandemen, dampak yang paling terasa adalah pembagian kekuasaan yang lebih setara dan seimbang, tidak ada lagi lembaga pemerintahan tertinggi, sehingga lembaga pemerintahan yang diatur di dalam UUD 1945 menjadi lembaga tinggi negara yang masing-masing dapat saling mengawasi dan bekerja sama tetapi tidak boleh mengontrol satu sama lain. Lembaga-lembaga tersebut juga memiliki wewenang, batasan, dan cara pengangkatan yang lebih jelas setelah amandemen, sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat menjalankan peran yang semestinya. Selain itu, adanya hak-hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam UUD 1945 menjadikan HAM sebagai salah satu tujuan konstitusi.[21]

Struktur

Sebelum dilakukan amendemen, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.

Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 16 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.

Amandemen

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amendemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensial.

Amademen pertama

Amandemen pertama terhadap UUD 1945 dilakukan pada Sidang Umum MPR 1999 yang berlangsung antara 14 Oktober hingga 21 Oktober 1999.

Amandemen kedua

Amandemen kedua terhadap UUD 1945 dilakukan pada Sidang Umum MPR 2000 yang berlangsung antara 7 Agustus hingga 18 Agustus 2000.

Amandemen ketiga

Amandemen ketiga terhadap UUD 1945 dilakukan pada Sidang Umum MPR 2001 yang berlangsung antara 1 November hingga 9 November 2001.

Amandemen keempat

Amandemen keempat terhadap UUD 1945 dilakukan pada Sidang Umum MPR 2002 yang berlangsung antara 1 Agustus hingga 11 Agustus 2002.

Referensi

  1. ^ "Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan". Pasal 9, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011. 
  2. ^ Ricklefs 2005, hlm. 424.
  3. ^ Adryamarthanino, Verelladevanka (2021-12-07). "Sidang Pertama BPUPKI: Tokoh, Kapan, Tujuan, Proses, dan Hasil". Kompas.com. Diakses tanggal 2022-01-25. 
  4. ^ Adryamarthanino, Verelladevanka (2021-12-08). "Sidang Kedua BPUPKI: Kapan, Tujuan, Agenda, dan Hasil". Kompas.com. Diakses tanggal 2022-01-25. 
  5. ^ Raditya, Iswara N. (2021-08-12). "Sejarah Hasil Sidang BPUPKI Kedua: Tanggal, Tujuan, Agenda, Anggota". Tirto.id. Diakses tanggal 2022-01-26. 
  6. ^ Ricklefs 2005, hlm. 466-468.
  7. ^ "Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia". Undang-Undang RIS No. 7 Tahun 1950. 
  8. ^ "Pemilu Pertama tahun 1955". Museum Kepresidenan Balai Kirti. 2020-09-29. Diakses tanggal 2022-01-26. 
  9. ^ Gischa, Serafica (2020-02-06). "Sejarah Pemilu 1955 di Indonesia". Kompas.com. Diakses tanggal 2022-01-26. 
  10. ^ Adryamarthanino, Verelladevanka (2021-11-01). "Latar Belakang Dekrit Presiden 5 Juli 1959". Kompas.com. Diakses tanggal 2022-01-26. 
  11. ^ Raditya, Iswara N. (2022-01-05). "Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Sejarah, Alasan, Tujuan, & Dampak". Tirto.id. Diakses tanggal 2022-01-26. 
  12. ^ Ricklefs 2005, hlm. 522-526.
  13. ^ Wulandari, Trisna (2021-08-19). "Periode 1959 sampai 1966, Periode Demokrasi Terpimpin dan Penyimpangannya". Detikedu. Diakses tanggal 2022-01-27. 
  14. ^ Heryansyah, Tedy Rizkha (2021-07-05). "7 Penyimpangan Demokrasi Terpimpin terhadap Pancasila dan UUD 1945: Sejarah Kelas 9". Ruang Guru. Diakses tanggal 2022-01-27. 
  15. ^ Ricklefs 2005, hlm. 593-623.
  16. ^ Welianto, Ari (2021-12-17). "Penyimpangan terhadap Pancasila pada Masa Orde Baru". Kompas.com. Diakses tanggal 2022-01-27. 
  17. ^ Retno, Devita (2019-07-05). "8 Penyimpangan Pada Masa Orde Baru dalam Bidang Politik". Sejarah Lengkap. Diakses tanggal 2022-01-27. 
  18. ^ Affifah, Farrah Putri (2021-09-14). "Amandemen UUD 1945: Pengertian, Latar Belakang, Tujuan, dan Hasil-hasilnya". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2022-01-27. 
  19. ^ Raditya, Iswara N. (2020-12-01). "Amandemen UUD 1945 Dilakukan 4 Kali, Sejarah, & Perubahan Pasal". Tirto.id. Diakses tanggal 2022-01-27. 
  20. ^ Rizal, Jawahir Gustav (2021-09-14). "Sejarah Amendemen UUD 1945 dari Masa ke Masa Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2022-01-27. 
  21. ^ Prakoso, Juniarto (2020-12-29). "Dampak Amandemen UUD 1945 Terhadap Masyarakat". Kumparan. Diakses tanggal 2022-01-27. 

Daftar pustaka

  • Ricklefs, Merle Calvin (2005). Syawie, Husni; Ricklefs, Merle Calvin, ed. A History of Modern Indonesia since c. 1200 Third Edition [Sejarah Indonesia Modern 1200-2004]. Diterjemahkan oleh Wahono, Satrio; Bilfagih, Bakar; Huda, Hasan; Helmi, Miftah; Sutrisno, Joko; Manadi, Has. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. ISBN 9789791600125. OCLC 192076429. 
  • Asshiddiqie, Jimly (2003). Konsolidasi Naskah UUD 1945. Jakarta: Yarsif Watampone. 
  • Adnan Buyung Nasution (2001) The Transition to Democracy: Lessons from the Tragedy of Konstituante in Crafting Indonesian Democracy, Mizan Media Utama, Jakarta, ISBN 979-433-287-9
  • Dahlan Thaib, Dr. H, (1999), Teori Hukum dan Konstitusi (Legal and Constitutional Theory), Rajawali Press, Jakarta, ISBN 979-421-674-7
  • Denny Indrayana (2008) Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition, Kompas Book Publishing, Jakarta ISBN 978-979-709-394-5.
  • Jimly Asshiddiqie (2005), Konstitusi dan Konstitutionalisme Indonesia (Indonesia Constitution and Constitutionalism), MKRI, Jakarta.
  • Jimly Asshiddiqie (1994), Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (The Idea of People's Sovereignty in the Constitution), Ichtiar Baru - van Hoeve, Jakarta, ISBN 979-8276-69-8.
  • Jimly Asshiddiqie (2009), The Constitutional Law of Indonesia, Maxwell Asia, Singapore.
  • Jimly Asshiddiqie (2005), Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Constitutional Law and the Pillars of Democracy), Konpres, Jakarta, ISBN 979-99139-0-X.
  • R.M.A.B. Kusuma, (2004) Lahirnya Undang Undang Dasar 1945 (The Birth of the 1945 Constitution),Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, ISBN 979-8972-28-7.
  • Nadirsyah Hosen, (2007) Shari'a and Constitutional Reform in Indonesia, ISEAS, Singapore
  • Saafroedin Bahar,Ananda B.Kusuma,Nannie Hudawati, eds, (1995) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usahah Persiapan Kemerdekaan Indonesian (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Minutes of the Meetings of the Agency for Investigating Efforts for the Preparation of Indonesian Independence and the Preparatory Committee for Indonesian Independence), Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta
  • Sri Bintang Pamungkas (1999), Konstitusi Kita dan Rancangan UUD-1945 Yang Disempurnakan (Our Constitution and a Proposal for an Improved Version of the 1945 Constitution), Partai Uni Demokrasi, Jakarta, No ISBN

Pranala luar