Utuy Tatang Sontani (Cianjur, 1 Mei 1920 - Moskwa, 1979), salah seorang sastrawan Angkatan 45 terkemuka.

Mengawali karyanya dengan Tambera (1948) dan cerpen-cerpen yang dikumpulkan dalam Orang-orang Sial (1951), selanjutnya Utuy lebih dikenal dengan cerita-cerita lakonnya. Tambera adalah sebuah novel sejarah yang berlangsung di Kepulauan Maluku pada abad ke-17. Meskipun lakon pertamanya (Suling dan Bunga Rumahmakan, 1948) ditulis sebagaimana lakon ditulis, tetapi selanjutnya ia menemukan cara menulis lakon yang unik, yang bentuknya seperti cerita yang enak dibaca.

Di antara lakon-lakonnya yang terkenal adalah Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Sang Kuriang (1955), Selamat Jalan Anak Kufur (1956), Si Kabayan (1959), dan Tak Pernah Menjadi Tua (1963).

Dalam arus politik zaman

Utuy diutus oleh pemerintah Indonesia pada 1958 sebagai salah seorang wakil Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent, Uzbekistan. Ketika hubungan politik Indonesia-Uni Soviet semakin mesra, banyak karya pengarang Indonesia yang diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Rusia, termasuk karya Utuy, "Tambera", yang dianggap mencerminkan semangat revolusi dan perjuangan rakyat. Sementara itu, "Orang-Orang Sial", hanya terbit di Tallin, dalam bahasa Estonia, karena dianggap terlalu pesimistik dan hanya mengungkapkan sisi gelap revolusi.

Pada 1 Oktober 1965 Utuy bersama sejumlah pengarang dan wartawan Indonesia menghadiri perayaan 1 Oktober di Beijing atas undangan pemerintah Tiongkok. Pecahnya G30S pada 1965 di Indonesia membuat mereka terlunta-lunta di tanah asing. Situasi mereka semakin sulit ketika di RRT sendiri pecah Revolusi Kebudayaan pada 1966. Sebagian orang Indonesia yang terdampar di Tiongkok akhirnya memutuskan untuk meninggalkan negara itu dan pergi ke Eropa Barat dengan menumpang kereta api Trans Siberia. Sebagian dari penumpang ini berhenti di Moskwa, termasuk Utuy dan sejumlah kawannya, Kuslan Budiman, Rusdi Hermain, dan Soerjana, wartawan Harian Rakjat.

Pindah ke Moskwa

Kedatangan Utuy di Moskwa pada 1971 disambut hangat oleh pemerintah Uni Soviet dan masyarakat ilmiah di sana, terutama karena nama Utuy sudah dikenal luas lewat karya-karyanya dan kehadirannya dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika pada 1958. Utuy diminta mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Moskwa dan sempat pula menghasilkan sejumlah karya tulis. Ia menyusun sekurang-kurangnya empat buah novel dan tiga otobiografi hingga ia wafat pada 1979 di Moskwa. Salah satu novelnya yang ditulisnya dan diterbitkan di Moskwa adalah Kolot Kolotok. Novel ini hanya dicetak terbatas untuk bahan studi di Jurusan Indonesia, Universitas Negara Moskwa.

Ketika ia meninggal, sebagai penghormatan nisannya ditempatkan sebagai nisan pertama di pemakaman Islam pertama di Moskwa.

Pranala luar