Waruga adalah kubur atau makam leluhur orang Minahasa yang terbuat dari batu dan terdiri dari dua bagian. Bagian atas berbentuk segitiga seperti bubungan rumah dan bagian bawah berbentuk kotak yang bagian tengahnya ada ruang.

Waruga

Sejarah

Mula-mula Suku Minahasa jika mengubur orang meninggal sebelum ditanam terlebih dulu dibungkus dengan daun woka (sejenis janur). Lambat laun, terjadi perubahan dalam kebiasaan menggunakan daun woka. Kebiasaan dibungkus daun ini berubah dengan mengganti wadah rongga pohon kayu atau nibung kemudian orang meninggal dimasukkan ke dalam rongga pohon lalu ditanam dalam tanah. Baru sekitar abad IX Suku Minahasa mulai menggunakan waruga. Orang yang telah meninggal diletakkan pada posisi menghadap ke utara dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala mencium lutut. Tujuan dihadapkan ke bagian Utara yang menandakan bahwa nenek moyang Suku Minahasa berasal dari bagian Utara. Sekitar tahun 1860 mulai ada larangan dari Pemerintah Belanda menguburkan orang meninggal dalam waruga.

Kemudian pada tahun 1870, Suku Minahasa mulai membuat peti mati sebagai pengganti waruga, karena waktu itu mulai berjangkit berbagai penyakit, di antaranya penyakit tipus dan kolera. Dikhawatirkan, si meninggal menularkan bibit penyakit tipus dan kolera melalui celah yang terdapat di antara badan waruga dan cungkup waruga. Bersamaan dengan itu pula, agama Kristen mengharuskan mayat dikubur di dalam tanah mulai menyebar di Minahasa. Waruga yang memiliki ukiran dan relief umumnya terdapat di Tonsea. Ukiran dan relief tersebut menggambarkan berapa jasad yang tersimpan di waruga yang bersangkutan sekaligus menggambarkan mata pencarian atau pekerjaan orang tersebut semasa hidup.

Di Minahasa bagian utara, pada awalnya waruga-waruga yang ada sekitar 370 buah tersebut, tersebar pada hampir semua desa di Minahasa Utara yang akhirnya dikumpulkan ke beberapa tempat seperti kelurahan Rap-Rap sekitar 15 buah, kelurahan Airmadidi Bawah 211 buah dan desa Sawangan 144 buah. Kini lokasi waruga-waruga di tempat-tempat tersebut menjadi salah satu tujuan wisata sejarah di Sulawesi Utara.

Tempat ini pun telah dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995.

Pranala Luar