PERKUMPULAN ADAT MANGUNI EMAS PINAWETENGAN (M.E.P) MINAESA

Perkumpulan Adat MANGUNI EMAS PINAWETENGAN (M.E.P) MINAESA, adalah Gabungan Organisasi dan Komunitas berbentuk Perkumpulan Adat dan berbasis massa masyarakat adat Minahasa, dengan beranggotakan para putera dan puteri; anak turunan Opo Toar dan Lumimuut leluhur tua tanah Minahasa. Organisasi ini didirikan dan dideklarasikan pada tanggal 9 Juli 2013 di Desa Pinabetengan Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa, Prrovinsi Sulawesi Utara tepatnya di lokasi situs budaya Minahasa Watu Pinawetengan;

Perkumpulan Adat M.E.P MINAESA, didirikan oleh mereka yang terpanggil sebagai Pemerhati. Pecinta, Pelaku dan Pengawas Pelestarian Kearifan Potensi Lokal Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam serta Keluhuran nilai murni Adat Istiadat dan Budaya berbhineka tunggal ika Peninggalan Leluhur Tanah Minaesa Minahasa, dengan Ketua Dewan penasehat Tuama JERY TURANGAN dan Ketua Umum Pertama Tuama WENSLAUS HENTJE WOWILING.

Pada saat ini (Tahun 2022) Ketua Umum dijabat oleh Tuama FELIX H. MANTIRI,SE, dimana Perkumpulan Adat M.E.P MINAESA, tetap eksis dan hadir sebagai bentuk wujud nyata kepedulian rasa cinta tanah air dan Daerah tercinta, serta rasa terima kasih kepada para leluhur tanah Minahasa; terutama adalah ungkapan rasa syukur dan pertanggung jawaban Tuama wo Wewene; Wulan wo se Waraney tanah Minaesa atas keagungan kuasa TUHAN yang Maha Esa dengan segala berkat kasih-Nya yang selalu ada di tanah Minahasa.

Tugas utama Penasehat Adat dan Pengurus Dewan Pimpinan Adat (D.P.A) Perkumpulan Adat M.E.P MINAESA Periode Tahun 2022-2027, yaitu:

  1. Membantu pelaksana Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pelaksanaan Program kerakyatan berkeadilan sosial dengan menjunjung tinggi supremasi Hukum dan HAM sebagai tanggung jawab aktif Bela Negara dalam menjaga dan menjamin Persatuan anak bangsa dan Keutuhan wilayah Negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
  2. Melakukan Pengawasan, Perlindungan, Pelestarian dan Pengenalan serta Pemberdayaan Pelaksanaan Seni, Budaya dan Adat Istiadat (Tradisi Ritual dan Hukum Adat) yang positif serta Situs dan Benda Pusaka Peninggalan Leluhur Tanah Minaesa demi kepentingan Negara dan Daerah yang diperuntukkan seutuhnya untuk pembangunan yang berpihak pada rakyat;
  3. Merangkul semua elemen dan basis organisasi kemasyarakatan untuk menjamin keaslian identitas adat istiadat anak bangsa bersatu (Minaesa) sebagai bingkai kejayaan negara yang selalu kuat bertahan dan terus bangkit membangun serta berani melangkah maju dengan tetap menjaga keseimbangan antara mempertahankan budaya tradisional Minahasa dengan tidak meremehkan pentingnya pengaruh modernisasi ilmu dan pengetahuan serta tekhnologi sebagai cermin budaya kekuatan bangsa.
  4. Melakukan Pengawasan, Penegakkan dan Penindakan Disiplin atas Kegiatan Pergerahan dan Pengedalian Pergerakan Penyampaian Aspirasi Massa Berbasis Masyarakat Adat tanah Minaesa sebagai bentuk kepedulian rasa cinta tanah air dan daerah tercinta demi memenangkan Amanat Penderitaan Rakyat Semesta Indonesia.

Sementara nama organisasi Perkumpulan Adat MANGUNI EMAS PINAWETENGAN (M.E.P) MINAESA, yaitu :

  1. MANGUNI, adalah nama burung sejenis burung hantu di Minahasa kesayangan para leluhur Minahasa yang dilindungi,
  2. EMAS, adalah batu alam atau batu mulia hasil kekayaan alam tanah di Minahasa yang mengartikan kejayaan
  3. PINAWETENGAN, tempat bermusyawarah dan mufakat para leluhur MInahasa dalam membagi wilayah serta tempat awal mula di ikirarkan kata bersatunya seluruh suku di Minahasa.
  4. MINAESA, dalah gabungan dua kata MINA (ber) dan ESA (Satu) atau Bersatu.

Watu Pinawetengan (yang berarti Batu Tempat Pembagian) yang berada di Desa Pinabetengan Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Di tempat inilah, sekitar 1000 SM terjadi pembagian sembilan sub etnis Minahasa yang meliputi suku Tontembuan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siao. Selain membagi wilayah, para tetua suku-suku tersebut juga menjadikan tempat ini untuk berunding mengenai semua masalah yang dihadapi.

Goresan-goresan di batu tersebut membentuk berbagai motif dan dipercayai sebagai hasil perundingan suku-suku itu. Motifnya ada yang berbentuk gambar manusia, gambar seperti alat kemaluan laki-laki dan perempuan, motif daun dan kumpulan garis yang tak beraturan tanpa makna.

Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, bentuk batu ini seperti orang bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, bentuk batu ini juga seperti peta pulau Minahasa. Batu ini menurut para arkeolog, dipakai oleh nenek moyang orang Minahasa untuk berunding. Maka tak heran, namanya menjadi Watu Pinawetengan yang artinya Batu Tempat Pembagian.

Batu ini bisa dikatakan tonggak berdirinya subetnis yang ada di Minahasa dan menurut kepercayaan penduduk berada di tengah-tengah pulau Minahasa. Bahkan beberapa orang yang rutin mengunjungi Watu Pinawetengan, ada ritual khusus yang diadakan tiap 3 Januari untuk melakukan ziarah. Sementara itu, karena nilai sejarah dan budaya yang kental, tiap Tgl 7 Juli dijadikan tempat pertunjukan seni dan budaya yang mulai terkikis di Minahasa.

Watu Pinawetengan sebenarnya adalah simbol demokrasi sejati. Peristiwa demokrasi yang terjadi di Watu Pinawetengan bukan seperti teori demokrasi modern yang kita pelajari di sekolah dan di perguruan tinggi. Demokrasi Pinawetengan adalah sebuah tanda bahwa bangsa Minahasa menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Keunikan demokrasi Pinawetengan adalah tatacara musyawarah, proses pengambilan keputusan, dan proses eksekusi keputusan yang sudah diambil. Tatacara musawarah Pinawetengan sangat unik dan mungkin hanya dilakukan oleh bangsa Minahasa pada zaman itu. Berikut ini urutan proses musyawarah Pinawetengan yang dirangkum dari berbagai sumber dengan menggunakan metode tradisional Minahasa, yaitu menanyakan langsung kepada para leluhur (pelaku sejarah) dengan mediasi para Tonaas.

  1. Setiap wanua/roong memilih utusan untuk mengikuti musyawarah pinawetengan. Proses adatnya dipimpin oleh seorang Walian (pemimpin agama Malesung-Minahasa).
  2. Pemilihan utusan itu diawali dengan pengajuan calon, kemudian uji kelayakan dengan tiga syarat utama yaitu ngaas (berpengetahuan), loor/niatean (berhati bersih), dan keter/ente (memiliki kekuatan fisik), lalu masyarakat hanya akan memilih orang yang memenuhi ketiga syarat itu dan diadakan ritual untuk berdoa kepada Amang Kasuruan ("Tuhan Yang Maha Esa" dalam sebutan orang Minahasa) dan menunggu tanda dari Manguni.
  3. Setelah Manguni telah memberikan tanda baik, maka calon yang terpilih berhak menyandang gelar Tonaas Umbanua.
  4. Para Tonaas Umbanua dari setiap kampung kemudian disaring lagi ditingkat Pakasaan/Pinaesaan untuk menentukan siapa yang akan menjadi Wali Pakasaan. Ritualnya sama dengan ditingkat roong-wanua.
  5. Setelah diperoleh Wali Pakasaan, maka dialah yang berhak duduk dalam musyawarah Pinawetengan dengan mendengarkan usulan dan masukan dari para Tonaas Umbanua Para peserta musyawarah tertinggi Pinawetengan disebut Dewan Wali Pakasaan.

Demikian uraian singkat tentang Perkumpulan Adat MANGUNI EMAS PINAWETENGAN (M.E.P) MINAESA dan Sejarah Watu Pinawetengan (wikipedia), Pakatuan wo Pakalawiren, Jayalah NKRI; Tanah Minahasa raya diberkati TUHAN Ijajat Un Santi !


The MANGUNI EMAS PINAWETENGAN (M.E.P) Indigenous Association of MINAESA, is a Association of Organizations and Communities in the form of Indigenous Associations and mass-based Minahasa indigenous peoples, consisting of sons and daughters; descendants of Opo Toar and Lumimuut of the old Minahasa ancestors. This organization was founded and declared on July 9, 2013 in Pinawetengan Village, Minahasa Regency, precisely at the location of the Minahasa cultural site Watu Pinawetengan;

M.E.P MINAESA Indigenous Association, founded by those who are called observers. Lovers, Actors and Supervisors of Preservation of Wisdom, Local Potential, Human Resources and Natural Resources and Noble Values, Pure Customs, Customs and Culture, in diversity, in the Ancestral Heritage of the Minaesa Minahasa Land, with the Chairman of the Advisory Board of Tuama JERY TURANGAN and the First General Chairperson of Tuama WENSLAUS HENTJE WOWILING.

At this time (in 2022) the General Chair is held by Tuama FELIX H. MANTIRI, SE, where the M.E.P MINAESA Indigenous Association, still exists and is present as a tangible form of concern for the love of the homeland and beloved region, as well as gratitude to the ancestors of the land. Minahasa; especially the expression of gratitude and responsibility of Tuama wo Wewene; Wulan wo se Waraney, the land of Minaesa for the great power of GOD Almighty with all the blessings of His love that is always present in the land of Minahasa.

The main tasks of the Indigenous Advisors and the Management of the Indigenous Leadership Council (I.L.C) of the M.E.P MINAESA Indigenous Association for the Period of 2022-2027, namely:

  1. Assisting the implementation of the Government of the Unitary State of the Republic of Indonesia and the implementation of the popular social justice program by upholding the supremacy of law and human rights as an active responsibility for State Defense in maintaining and guaranteeing the unity of the nation's children and the territorial integrity of the State based on Pancasila and the 1945 Constitution.
  2. Supervise, protect, preserve and introduce and empower the implementation of positive arts, culture and customs (ritual traditions and customary law) as well as sites and heirlooms of the Ancestral Land of Minaesa for the benefit of the State and the Region which are intended entirely for development that favors people;
  3. Embracing all elements and the basis of community organizations to ensure the authenticity of the cultural identity of the children of the united nation (Minaesa) as a frame of the glory of a country that is always strong to survive and continue to rise to build and dare to move forward while maintaining a balance between maintaining traditional Minahasa culture by not underestimating the importance of the influence of the modernization of science and knowledge as well as technology as a cultural mirror of the nation's strength.
  4. Supervise, enforce and enforce discipline on movement activities and control the movement of conveying the aspirations of the masses based on the indigenous peoples of the land of Minaesa as a form of concern for the love of the homeland and beloved region in order to win the Mandate of Suffering of the People of the Universe of Indonesia.

Meanwhile, the name of the MANGUNI EMAS PINAWETENGAN (M.E.P) MINAESA Indigenous Association is:

  1. MANGUNI, is the name of a bird of a kind of owl in Minahasa, the favorite of the protected Minahasa ancestors,
  2. GOLD, is a natural stone or precious stone resulting from the natural wealth of the land in Minahasa which means glory
  3. PINAWETENGAN, a place for deliberation and consensus for the ancestors of the Minahasa in dividing the territory and the place where the word for the unity of all tribes in Minahasa was originally thought.
  4. MINAESA, is a combination of two words MINA (ber) and ESA (One) or Bersatu.

Watu Pinawetengan (which means Stone of Distribution) is located in Pinabetengan Village, Tompaso District, Minahasa Regency, North Sulawesi. In this place, around 1000 BC there was a division of nine Minahasa sub-ethnics which included the Tontembuan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik and Siao tribes. In addition to dividing the territory, the elders of the tribes also made this a place to negotiate on all the problems encountered.

The scratches on the stone form various motifs and are believed to be the result of the negotiations of the tribes. The motifs are in the form of human images, images such as male and female genitalia, leaf motifs and a collection of irregular lines without meaning.

According to the beliefs of the surrounding community, the shape of this stone is like a person prostrating to God Almighty. In addition, the shape of this stone is also like a map of the Minahasa island. According to archaeologists, this stone was used by the ancestors of the Minahasa people to negotiate. So it's not surprising that the name became Watu Pinawetengan which means Stone of Distribution.

This stone can be said to be a milestone in the establishment of sub-ethnic groups in Minahasa and according to local beliefs, it is located in the middle of the Minahasa island. Even some people who regularly visit Watu Pinawetengan, there is a special ritual held every January 3 to make a pilgrimage. Meanwhile, because of the strong historical and cultural values, every 7th of July is used as a place for art and cultural performances that are starting to erode in Minahasa.

Watu Pinawetengan is actually a symbol of true democracy. The democratic events that took place at Watu Pinawetengan were not like the modern democratic theory that we learn in schools and universities. Pinawetengan democracy is a sign that the Minahasa nation upholds human rights.

The uniqueness of Pinawetengan democracy is the procedure for deliberation, the decision-making process, and the process of executing decisions that have been taken. The procedure for the Pinawetengan musawarah is very unique and may only be carried out by the Minahasa people at that time. The following is the sequence of the Pinawetengan deliberation process which is summarized from various sources using the traditional Minahasa method, namely directly asking the ancestors (historical actors) with the mediation of the Tonaas.

  1. Each wanua/roong chooses an envoy to take part in the pinawetengan deliberation. The traditional process is led by a Walian (Malesung-Minahasa religious leader).
  2. The selection of delegates begins with the submission of candidates, then a feasibility test with three main requirements, namely ngaas (knowledgeable), loor/intentional (clean-hearted), and keen/ente (have physical strength), then the public will only choose people who meet the three requirements and a ritual was held to pray to Amang Kasuruan ("God Almighty" as the Minahasans call it) and wait for a sign from Manguni.
  3. After Manguni has given a good sign, the selected candidate is entitled to the title of Tonaas Umbanua.

The Tonaas Umbanua from each village are then screened again at the Pakasan/Pinaesaan level to determine who will become the Pakasan Guardians. The ritual is the same as at the roong-wanua level.

  1. After the Wali Pakasan has been obtained, he is the one who has the right to sit in the Pinawetengan deliberation by listening to suggestions and input from the Umbanua Tonaas.

Thus a brief description of the MANGUNI EMAS PINAWETENGAN (M.E.P) Indigenous Association, MINAESA, Pakatuan wo Pakalawiren, NKRI Jaya; The land of Minahasa Raya is blessed by GOD Ijajat Un Santi!