Halaman ini merupakan pedoman di Wikipedia bahasa Indonesia.
Isinya telah diterima luas oleh para pengguna dan dianggap sebagai standar yang harus diikuti oleh semua pengguna, meskipun sebaiknya dipahami dengan akal sehat, dan pengecualian dapat berlaku sewaktu-waktu. Segala penyuntingan substansial yang dilakukan di halaman ini harus menggambarkan konsensus. Jika Anda ragu, diskusikan terlebih dahulu di halaman pembicaraan.

Artikel ini adalah suatu pedoman dan bukan kebijakan. Isi artikel ini merupakan kumpulan saran bagaimana membuat suatu artikel menjadi lebih baik. Anda dapat membantu melengkapi artikel ini dengan menambahkan pendapat Anda, atau menerjemahkan dari artikel aslinya.

Kopi Saring

Cara tradisional yang digunakan dalam menyaring bubuk kopi. Cara ini telah menjadi tradisi turun temurun di beberapa daerah tertentu di Nusantara. Beberapa daerah seperti Aceh, Belitung dan beberapa daerah sumatera lainya, cara menyaring kopi ini telah menjadi ikon tersendiri.

Kupi Saréng

Tradisional kopi dari Aceh. Kupi saréng adalah kopi yang di saring, kopi yang menjadi ikon minuman tradisional warisan endatu (leluhur) dari Aceh. Biji kupi saréng bersumber dari biji kopi pilihan dari dataran tinggi Gayo Aceh. Diramu secara khusus dan disajikan dengan cara menyaring untuk mengukur kekentalan kopi agar menghasilkan citarasa menggoda dengan sensasi unik saréng kupi. Penyajian kupi saréng begitu khas dan berbeda dengan cara penyajian kopi manapun di seluruh dunia. Kopi diseduh dengan air yang dijaga tetap dalam keadaan mendidih. Seduhan kopi disaring berulang kali dengan saringan yang terbuat khusus dari kain, lalu dituangkan dari satu wadah ke wadah yang lain. Hasilnya adalah kopi yang sangat pekat, harum, dan bersih tanpa mengandung bubuk kopi. Kelihaian seorang barista kupi saréng dalam memainkan tekhnik ini disinyalir bisa menghasilkan rasa dan aroma kopi yang nikmat untuk dinikmati.

Filosofi Kopi

Hampir sebagian besar manusia dimuka bumi ini mengenal yang namanya kopi, walau mungkin sebagian diantara kita tidak menyukainya. Banyak orang menjadikan kopi sebagai teman akrab, sebagian yang lain biasa saja. Tidak jarang pula yang menjauh karena menganggap (atau bahkan memang) mendatangkan penyakit baginya. "Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan" kata Dewi Lestari (Dee).

Bagaimanapun, yang namanya kopi tetap dikenal. Di Indonesia sendiri, kopi menjadi minuman favorit banyak suku. Apalagi tanaman kopi bisa hidup di banyak tempat dengan “mudah”. Sehingga kita sering dengar istilah “petani kopi” yang berarti sekelompok orang yang bekerja untuk menanam kopi, menjaga, memanen dan mengolahnya. Kondisi ini pula yang selanjutnya memunculkan personal-personal atau kelompok-kolompok pecinta kopi.

Salah satu suku bangsa yang “gila” kopi adalah orang Aceh. Bagi yang pernah datang ke Aceh, tentunya lebih tahu bagaimana kopi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat disana. Aceh menjadi ikon surganya penikmat dan pecinta kopi. Di Aceh kita tidak perlu bersusah payah membuat kopi sendiri. Berbagai jenis kopi, aroma kopi, ada di warung kopi dengan harga terjangkau. Lebih mudahnya lagi, warung kopi itu ada di mana-mana, sangat mudah mencarinya. Dari yang paling kecil hingga yang besar, dari pinggiran hingga pusat kota, tersebar merata. Kemudahan dan kenyamanan inilah yang membuat orang suka bersantai kongko ria berjam-jam di warung kopi, maka sangatlah layak juga jika Aceh disebut provinsi seribu warung kopi.

Kopi Aceh sendiri berasal dari Belanda, dibawa oleh seorang pengusaha asal Belanda pada abad XVII melalui Batavia (sekarang Jakarta) lalu masuk ke Aceh. Kopi yang pertama sekali diperkenalkan adalah jenis Arabica, dan kemudian berkembang dengan berbagai jenis yang semakin beragam. Kopi dengan berbagai macam jenisnya dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu kopi arabica dan kopi robusta. Kedua jenis kopi ini dibudidayakan oleh masyarakat Aceh. Kopi jenis arabica pada umumnya dibudidayakan di wilayah dataran tinggi Gayo Aceh, mencakup wilayah Takengon, Gayo Luwes hingga Aceh Tenggara. Sedangkan daerah lainnya di Aceh, mencakup wilayah Tangse dan Geumpang (Aceh Pidie) serta Aceh Barat, masyarakat lebih menyukai mengembangkan kopi jenis Robusta.

Kondisi alam Aceh yang subur dengan dipadu cuaca yang sangat mendukung, menjadikan tanaman kopi Aceh berkembang menjadi komoditas yang bermutu tinggi dan menguntungkan. Indonesia merupakan pengekspor biji kopi terbesar keempat di dunia, dan Aceh adalah salah satu penghasil kopi terbesarnya yang mampu menghasilkan sekitar 40% biji kopi jenis Arabica tingkat premium dari total panen kopi di seluruh Indonesia. Kopi Gayo salah satunya merupakan kopi khas Nusantara asal Aceh yang cukup banyak digemari oleh berbagai kalangan di dunia.

Gayo adalah nama suku yang mendiami salah satu daerah di Aceh. Mayoritas masyarakat Gayo Aceh berprofesi sebagai petani kopi, yang menjadikan kopi sebagai salah satu komoditi unggulan dari dataran tinggi Aceh ini. Perkebunan kopi Gayo telah dikembangkan sejak tahun 1908, tumbuh subur dan tersebar di wilayah Takengon, Bener Meriah, Gayo Luwes hingga Aceh Tenggara. Daerah ini berada di ketinggian 1200 meter dari permukaan laut, memiliki perkebunan kopi terluas di Indonesia dengan luas sekitar 81.000 ha, dan merupakan sentra Produksi Kopi Arabica yang terbesar di Asia.

Kopi Gayo memiliki aroma dan rasa yang sangat khas, berbeda dengan kebanyakan kopi yang meninggalkan rasa pahit di lidah. Citarasa kopi Gayo yang asli, terletak pada aroma kopi yang harum dan rasa gurih hampir tidak pahit, bahkan ada yang berpendapat jika rasa kopi Gayo melebihi citarasa kopi Blue Mountain yang berasal dari Jamaika. Uji citarasa salah satunya dilakukan oleh Christopher Davidson, salah seorang cupper internasional. Christopher mengatakan bahwa kopi Gayo Aceh memiliki keunikan tersendiri yang dikenal dengan istilah “heavy body and light acidity”, yakni sensasi rasa keras saat kopi diteguk dan aroma yang menggugah semangat. Aroma kopi Aceh akan semakin menjelajah dunia ketika kopi ini telah menjadi salah satu menu dalam kedai kopi internasional, Starbucks Coffee. Seteguk demi seteguk kopi Aceh pun akan sampai ke lidah orang-orang dari mancanegara. Kenikmatan tiada taranya ketika menghirup kopi Aceh pun akan semakin bisa dinikmati warga dunia lainnya. Singkat kata, sekali mencoba kopi Aceh, dijamin pasti jatuh hati. Besok atau lusa nanti mesti kembali untuk merasakan kenikmatan aromanya lagi.

Kenikmatan aroma kopi Gayo bagi penduduk setempat dapat diperoleh dengan cara menyaringnya, atau yang biasa disebut kopi saring. Mayoritas masyarakat Aceh mengenalnya dengan sebutan Kupi Saréng, adalah tekhnik atau cara meramu kopi ketika ingin diminum agar menghasilkan citarasa yang nikmat. Tekhnik "Saréng Kupi" ini telah menjadi tradisi turun temurun warisan endatu (leluhur) dari Aceh. Inilah yang membuat kopi Aceh menjadi lebih menarik dari cara penyajiannya yang khas dan berbeda dengan cara penyajian kopi manapun di seluruh dunia. Kopi diseduh dengan air yang dijaga tetap dalam keadaan mendidih. Seduhan kopi disaring berulang kali dengan saringan yang terbuat khusus dari kain, lalu dituangkan dari satu ceret ke ceret yang lain. Hasilnya adalah kopi yang sangat pekat, harum, dan bersih tanpa mengandung bubuk kopi. Kelihaian seorang barista kopi saring dalam memainkan tekhnik ini disinyalir bisa menghasilkan rasa dan aroma kopi yang nikmat untuk dinikmati. Tidak hanya dengan tekhnik menyaring yang mengukur kekentalan kopi agar menghasilkan citarasa menggoda, akan tetapi aroma dan rasa kopi juga sangat berpengaruh dari biji kopi itu sendiri serta proses meramu kopi. Biji-biji kopi diproses menjadi bubuk kopi yang berkualitas tinggi secara unik, sejak dari penggilingan hingga disaring menjadi secangkir minuman kopi yang disebut Kupi Saréng.

Inilah sebabnya kopi Aceh, terutama Kupi Saréng ini kemudian menjelma menjadi ikon Aceh itu sendiri. Kedahsyatan aroma kopi saring Aceh ini sudah sejak lama melegenda di Indonesia, dan saat ini sudah pula mendunia berkat banyaknya penikmat kopi dari kalangan pekerja internasional yang datang dan tinggal di Aceh selama bertahun-tahun untuk merekonstruksi Aceh pasca tsunami.

Menikmati kopi Aceh bukan hanya menikmati rasanya, tetapi juga tradisi budaya. Warung kopi di Aceh merupakan tempat berkumpul, bertemu dan membicarakan segala topik. Bagi masyarakat Aceh, mengunjungi warung kopi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari segala aktifitas sehari-hari. Warung kopi menjadi tempat bersosialisasi dan menjalin silaturahim sambil menikmati kopi, tempat untuk bertemu teman dan kerabat, rekan bisnis atau bahkan hanya sekedar melepas lelah. “Semua masalah pasti bisa selesai di warung kopi”, begitulah kata orang Aceh.

Kopi Mania

Warung kopi Aceh yang bisa dijangkau untuk wilayah Jabodetabek, salah satunya berada dikawasan elite Grand Galaxy City Bekasi. Tempat elite bukan berarti harga juga elite, tapi disana kita bisa menikmati Kupi Saréng layaknya di Aceh dengan suasana ke-Acehan yang kental dan harga yang sangat-sangat terjangkau bagi kalangan kelas menengah kebawah. Suasana ngopi yang nyaman, kongko bersama orang-orang tercinta, harga kopinya yang nikmat asli Aceh dan tidaklah semahal nongkrong ditempat kopi yang lebih elite, membuat suasana ngopi di Kupi Saréng Grand Galaxy City Bekasi lebih sempurna. Dengan harga rata-rata diatas Rp 8.000,- kita bisa mendapatkan segelas kopi saring Aceh dengan berbagai varian biji kopi. Ada bubuk kopi saring tradisional Aceh, bubuk kopi ulee kareng, Arabica, robusta dan bahkan kopi luwak liar juga ada disini, hanya merogoh kocek Rp 20.000,- untuk segelas kopi luwak liar Aceh. Semua kopi disini berasal dari Aceh, termasuk baristanya Kupi Saréng juga asli dari Aceh. Kita juga bisa menikmati kenyamanan di warung Kupi Saréng ini dengan fasilitas WiFi seperti pada umumnya warung kopi di Aceh.

Untuk para kopi mania yang sering Kopi Darat, kongko ria bersama orang-orang tercinta. Kupi Saréng menjadi pilihan yang juga tidak merogoh kocek yang berlebihan. Akan berbeda ceritanya jika kita nongkrong di warung kopi berkelas lainnya yang harus merogoh kantong lebih dalam untuk itu.

Gunakan istilah yang jelas, tepat, dan akurat

Penggunaan istilah perlu mendapat perhatian khusus bagi yang hendak melakukan kontribusi halaman dan penyuntingan artikel dengan tetap memperhatikan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang telah diatur oleh Pemerintah Indonesia. Penggunaan istilah baru atau yang kurang umum hendaknya diberi penjelasan tambahan berupa kurung buka dan kurung tutup, setelah akhir kalimat beri tanda bintang di samping titik; kemudian selesai artikel ditulis buat bagian baru dengan nama catatan kaki, dan cara terakhir dengan kurung buka segitiga untuk merujuk ke referensi.