Abayudaya (bahasa Luganda: "Orang-orang Yehuda"[1][2]) adalah komunitas Baganda di Uganda timur (di dekat kota Mbale) yang beragama Yudaisme. Mereka merupakan penganut yang taat dan mematuhi aturan kashrut dan Shabbat. Terdapat beberapa desa yang menjadi tempat tinggal Yahudi Uganda. Sebagan besar dari mereka telah diakui oleh pergerakan Yudaisme Reformasi dan Konservatif. Namun, penduduk desa Putti masih berusaha menjadi penganut Yudaisme ortodoks dan mempraktikkan Yudaisme Rabanit.[3][4]

Abayudaya
Rabi lokal dan asing berdoa di sinagoge Putti
Daerah dengan populasi signifikan
Uganda:
  2.000 (perkiraan)
Bahasa
Luganda, Lusoga, Lugwere, Ibrani
Agama
Yudaisme
Kelompok etnik terkait
Tradisi :
Yahudis
  Yahudi Afrika
    Abayudaya
Etnobiologi :
  Baganda, Bagwere, Basoga
   Abayudaya

Diperkirakan terdapat kurang lebih 2.000 Abayudaya, yang sebelumnya pernah mencapai 3.000 sebelum berlangsungnya penindasan oleh rezim Idi Amin. Seperti tetangga-tetangganya, mereka bermata pencaharian sebagai petani. Sebagian besar Abayudaya berlatar belakang Bagwere, kecuali mereka dari Namutumba yang berlatar belakang Basoga. Mereka menuturkan bahasa Luganda, Lusoga, atau Lugwere, walaupun beberapa telah mempelajari bahasa Ibrani.

Adat-istiadat dan kehidupan beragama sunting

Sifat religius dari adat istiadat Abayudaya terus bergeser ke arah arus-arus utama, di saat yang sama, kounitas Abayudaya mengalami peningkatan hubungan dengan komunitas Yahudi di Amerika Serikat dan Israel. Para anggota menghadiri kebaktian Shabbat secara teratur baik pada Jumat malam dan Sabtu. Jemaat melepas alas kaki mereka sebelum memasuki sinagoga. Kebiasaan ini diyakini telah dipraktikkan oleh orang Yahudi pada zaman Alkitab dan masih dipraktikkan oleh beberapa komunitas Yahudi hingga saat ini. Suku Abayudaya mempertahankan pola makan Kashrut dan menyembelih hewan mereka sendiri sesuai dengan peraturannya.[5]

Sejarah sunting

Kelompok ini berutang pada pemimpin militer Muganda bernama Semei Kakungulu. Awalnya, Kakungulu menjadi Kristen oleh misionaris Inggris sekitar tahun 1880. Dia percaya bahwa Inggris akan mengizinkannya menjadi raja di wilayah Bukedi dan Bugisu, yang telah dia taklukkan dalam pertempuran untuk mereka. Namun, ketika Inggris membatasi wilayahnya pada ukuran yang jauh lebih kecil dan menolak untuk mengakuinya sebagai raja seperti yang mereka janjikan, lalu Kakungulu mulai menjauhkan diri dari mereka. Beberapa waktu kemudian, ia menjadi anggota dari Sekte Bamalaki, sekte yang mengikuti sistem kepercayaan yang menggabungkan unsur-unsur Kristen, Yudaisme dan Ilmu Kristen, terutama, penolakan untuk menggunakan pengobatan barat (berdasarkan beberapa kalimat yang diambil dari Perjanjian Lama). Hal ini menimbulkan konflik dengan Inggris ketika Bamalaki menolak untuk memvaksinasi ternak mereka. Namun, setelah mempelajari Alkitab lebih lanjut, Kakungulu menjadi percaya bahwa adat istiadat dan hukum yang dijelaskan dalam lima kitab pertama Musa (Torah) sepenuhnya benar. Pada tahun 1919, Kakungulu bersikeras untuk disunat seperti yang ditentukan dalam Alkitab Ibrani, Bamalaki menolak dan mengatakan kepadanya bahwa, jika dia melakukan penyunatan, dia akan menjadi seperti orang Yahudi. Lalu, Kakungulu berkata: "Kalau begitu, aku adalah (seorang) Yahudi!". Dia menyunat anak-anaknya dan dirinya sendiri dan menyatakan bahwa komunitasnya adalah Yahudi. Menurut Henry Lubega,[6] ia melarikan diri ke kaki Gunung Elgon dan menetap di sebuah tempat bernama Gangama di mana dia memulai sekte separatis yang dikenal sebagai Kibina Kya Bayudaya Abesiga Katonda (Komunitas Yahudi yang percaya kepada Tuhan). Inggris geram dengan tindakan ini dan mereka secara efektif memutuskan semua hubungan dengannya dan pengikutnya. Pada tahum 1920 seorang Yahudi asing yang dikenal dengan nama "Yosef", ia berkontribusi banyak terhadap perolehan pengetahuan komunitas tentang musim-musim di mana Perayaan Yahudi seperti Pesach, Shavuot, Rosh Hashanah, Yom Kippur, Succot, dan lainnya sedang berlangsung. Sebuah sumber di komunitas Abayudaya menegaskan bahwa orang Yahudi pertama yang mengunjungi komunitas tersebut adalah Yosef, yang tinggal bersama dan mengajar komunitas tersebut selama sekitar 6 bulan, dan tampaknya dialah yang pertama kali membawa kalender Yahudi ke komunitas Abayudaya.[7]

Selanjutnya, hukum tentang kashrut pertama kali diperkenalkan Yosef kepada masyarakat. Komunitas tersebut terus mempraktikkan kashrut hingga hari ini. Ajaran Yosef mempengaruhi Semei Kakungulu untuk mendirikan sekolah yang mengajarkan Yeshiva, dengan tujuan untuk meneruskan dan mengajarkan keterampilan dan pengetahuan yang pertama kali diperoleh dari Yosef.

Musik sunting

Musik telah menjadi aspek penting dalam kehidupan suku Abayudaya. Beberapa tahun terakhir ini, komunitas telah memproduksi dua CD yang bersifat religi. Bahkan, salah satu album berjudul Abayudaya: Musik dari Orang Yahudi-Uganda yang diproduksi oleh Jeffrey Summit. Album ini masuk dalam nominasi album Musik Tradisional Dunia Terbaik dalam Grammy Awards ke-47.

Selain itu, komunitas mereka telah menerima pengakuan dan penghormatan lebih lanjut dalam komunitas Yahudi karena karya Noam Katz, seorang musisi Amerika berketurunan Yahudi.

Musik Abayudaya memainkan musik khas Afrika sekaligus Yahudi pada saat yang sama. Banyak lagu menggabungkan kata-kata dalam bahasa Luganda dan Ibrani. Selain itu, Mazmur dan doa diatur dengan irama khas Afrika. Musik ini dipandang penting oleh komunitas karena berbagai alasan. Beberapa tetua masyarakat berpendapat bahwa musiklah yang memungkinkan masyarakat bertahan melalui kondisi keras yang harus mereka tanggung, apalagi di bawah pemerintahan Idi Amin.

Lihat juga sunting

Referensi sunting

  • Sobol, Richard, and Summit, Jeffrey A.: Abayudaya:Yahudi-Uganda ISBN 978-0-7892-0776-0
  • Oded, Arye: "Agama dan politik di Uganda: Pembelajaran tentang Islam dam Yahudi" 1995, East African Educational Publishers, Nairobi, Kenya
  • Oded, Arye: "The Abayudaya of Uganda," I.A.F.A., Jerusalem, 2003 (dalam bahasa Ibrani)

Tautan Luar sunting