Aksara Meroi

(Dialihkan dari Aksara Meroitik)

Aksara Meroitic adalah aksara yang digunakan untuk menulis bahasa Meroitik di Kerajaan Meroë, Sudan. Aksara ini dikembangkan pada periode Napatan (sekitar 700-300 SM) dan muncul pertama kali pada abad ke-2 SM. Diketahui aksara ini juga pernah digunakan untuk menulis bahasa Nubia yang dituturkan di Kerajaan Nubia. Penggunaannya dijelaskan oleh sejarawan Yunani Diodorus Siculus (c. 50 SM). Walaupun aksara Meroitik dilanjutkan penggunaanya di Kerajaan Nubia yang merupakan pengganti Kerajaan Meröe, aksara ini diganti dengan alfabet Koptik pada Kristenisasi Nubia pada abad ke-6 M. Alfabet Koptik versi Nubia mempertahankan tiga huruf Meroitik. Aksara ini pertama kali diterjemahkan pada tahun 1909 oleh Francis Llewellyn Griffith, seorang ahli Mesir Kuno berkebangsaan Inggris, berdasarkan nama-nama Mesir Kuno yang dieja secara Meroitik. Namun, bahasa Meroitik belum diterjemahkan. Pada tahun 2008 prasasti kerajaan yang komplet pertama kali ditemukan,[1] yang mungkin bisa mendukung atau membantah hipotesis ini.

Aksara Meroi yang diukir pada sebuah batu.

Prasasti terpanjang yang ditemukan berada di Museum of Fine Arts, Boston.

Bentuk dan Arti sunting

Terdapat dua bentuk grafis alfabet Meroitik: monumen hieroglif dan kursif. Kebanyakan berupa kursif. Tidak seperti tulisan Mesir, ada hubungan satu-satu antara kedua bentuk Meroitik, dengan perkecualian dalam bentuk kursif, konsonan digabung dalam ligatur dengan vokal i.

Arah penulisan kursif ialah dari kanan ke kiri, atas ke bawah, sementara bentuk monumen ditulis dari atas kebawah dalam bentuk kolom, dari kanan ke kiri. Huruf monumen dibuat berhadapan dengan awal teks, suatu ciri yang diturunkan oleh asal usul Hieroglif.

Karena sifatnya yang alfabetik, aksara Meroitik berbeda dengan hieroglif Mesir. Beberapa pakar, seperti Harald Haarmann, yakin bahwa huruf vokal Meroitik adalah bukti pengaruh alfabet Yunani dalam perkembangan aksara ini.

Ada 23 huruf di aksara Meroitik, termasuk 4 huruf vokal. Dalam tulisan yang dibuat oleh Griffith dan nantinya juga Hintze, huruf tersebut ialah:

  • a hanya ada di awal kata
  • e cenderung dipakai di nama asing
  • i dan o digunakan seperti huruf vokal di alfabet Latin atau Yunani

Kira-kira terdapat empat belas konsonan yang telah ditranskripsikan:

  • ya, wa, ba, pa, ma, na, ra, la, cha, kha, ka, qa, sa, da.

Arti tersebut dibentuk dari bukti-bukti seperti nama-nama Mesir yang dieja dalam Meroitik. Dan, huruf Meroitik yang terlihat seperti burung hantu di inskripsi monumen, atau angka tiga di kursif Meroitik, ditranskripsikan sebagai m, dan diyakini memang diucapkan sebagai [m]. Tapi, ini adalah rekonstruksi sejarah, dan meski m cukup diyakini, pengucapan huruf-huruf lain masih banyak diragukan.

Tiga vokal i a o diperkirakan diucapkan seperti /i a u/. Kh dianggap seperti frikatif velar, seperti ch di bahasa Skotlandia loch atau bahasa Jerman Bach. Ch berbunyi mirip, namun uvular seperti g di bahasa Belanda dag atau palatal seperti bahasa Jerman ich. Q mungkin ialah hentian uvular, seperti bahasa Arab Qatar. S mungkin serupa s di bahasa Inggris sun. Huruf /n/ dihindari dalam tulisan jika ia mendahului suatu konsonan lain dalam suatu kata. D tidak pasti. Griffith awalnya mentranskripsikannya sebagai r, dan Rowan meyakini itu sesuai dengan arti aslinya. Itu seperti bunyi /d/ dalam bahasa Mesir dan Yunani jika ia berada di awal kata atau berada setelah bunyi /n/ (tidak ditulis di bahasa Meroitik), tetapi berbunyi /r/ jika berada di antara vokal, dan tidak mempengaruhi vokal a seperti yang dilakukan huruf obstruen alveolar lain seperti t n s.

Membandingkan dokumen baru dan lama, jelas terlihat bahwa rangkaian sel- dan nel-, yang dianggap Rowan berbunyi /sl/ dan /nl/ serta biasa ditemukan dengan determinator -l-, membaur dengan t dan l (mungkin /t/ dan /ll/).

Tanda baca hanyalah sebuah pemisah kata dan frasa yaitu dua atau tiga titik.

Aturan sunting

Meroitik adalah aksara bertipe abugida: Vokal /a/ biasanya tak ditulis, tetapi diperkirakan setiap ada konsonan yang berdiri sendiri. Sehinggam huruf tunggal m dibaca /ma/. Huruf vokal lain tetap ditulis: huruf mi, misalnya, dibaca dengan suku kata /mi/, seperti alfabet Latin. Sistem ini mirip dengan abugida India yang muncul pada tahun yang sama dengan Meroitik.

Griffith dan Hintze sunting

Griffith mengenali karakteristik abugida Meroitik ketika ia menafsirkan tulisan pada tahun 1911. Dia mencatat pada tahun 1916 bahwa huruf konsonan tertentu tidak pernah diikuti oleh huruf vokal, dan justru digabungkan dengan huruf konsonan lain. Dia menerjemahkannya sebagai suku kata, dengan contoh ne, se, te, dan to. Ne, misalnya, ragam lainnya adalah na. Na bisa diikuti oleh huruf vokal i dan o untuk menulis suku kata ni dan no, tetapi tidak pernah diikuti oleh vokal e.

Dia juga mencatat bahwa vikal e sering dihindari. Ini sering terjadi pada akhir kata pinjaman Mesir yang tak memiliki vokal akhir di bahasa Koptik. Dia meyakini bahwa e berfungsi sebagai schwa [ə] dan tanda "penghilang" yang menandai ketiadaan huruf vokal. Maka, huruf m saja dibaca [ma], sementara rangkaian me dibaca [mə] atau [m]. Beginilah aksara Ge'ez digunakan sekarang. Pakar lain seperti Hitza dan Rilly menerima pendapat ini, atau memodifikasinya sehingga e dapat menyatakan [e] atau schwa–kosong.

Sudah lama menjadi misteri bagi pakar epigrafi mengapa aturan suku kata yang mendasari aksara ini, di mana setiap konsonan dianggap diikuti oleh huruf vokal a, harus mempunyai huruf khusus untuk konsonan yang diikuti huruf e. Abugida campuran–suku kata tidak ditemukan di abugida India ataupun Ethiopia. Aksara (runcing) Persian Kuno agak mirip dengan ini, dengan lebih dari satu huruf vokal inheren, tetapi bukanlah abugida karena huruf vokal non-inheren ditulis dengan huruf lengkap, dan kerap dilebihkan penulisannya setelah vokal inheren selain /a/.

Millet dan Rowan sunting

Millet (1970) mengajuikan teori bahwa huruf e Meroitik adalah huruf vokal ephentetik untuk memisahkan rentetan konsonan yang tak bisa diucapkan dalam bahasa Meroitik, atau timbul setelah konsonan final Mesir seperti m dan k yang tak ada dalam Meroitik. Rowan (2006) melanjutkan dugaan ini dan berpendapat bahwa lambang se, ne, dan te bukanlah suku kata, tetapi berdiri untuk konsonan /s/, /n/, dan /t/ pada akhir kata atau morfem (ketika diikuti oleh determinator), dia berpendapat bahwa akhir Meroitik dibatasi kepada konsonan alveolar seperti itu. Contoh bahasa Koptik ⲡⲣⲏⲧ prit "agen", yang dalam bahsa Meroitik diterjemahkan menjadi perite (pa-e-ra-i-te). Jika Rowan benar dan kata itu dibaca /pᵊrit/, maka Meroitik akan menjadi abugida berciri umum saja. Dia mengatakan kalau Meroitik memiliki tiga vokal, /a i u/, dan /a/ dinaikan menjadi seperti [e] atau [ə] setelah konsonan alveolar /t s n/, menjelaskan mengapa tak ada orografi t, s n yang diikuti huruf vokal e.

Sangat jarang menemukan rangkaian KVK, di mana kedua konsonan ialah labial atau keduanya velar. Ini mirip dengan batasan konsonan yang ditemukan di rumpun bahasa Afro-Asia, memberi ide kepada Rowan bahwa ada kemungkinan Meroitik merupakan bahasa Afro-Asia seperti Mesir.

Rowan tidak setuju kalau sistem ini sepenuhnya alfabetik, dan mengusulkan kalau lambang te juga berfungsi sebagai deteminatif untuk nama tempat, karena ia sering muncul di akhir nama rempat yang diketahui tak memiliki huruf /t/. Dalam kasus lain, ne mungkin menandai nama anggota kerajaan atau Tuhan.

Lihat pula sunting

Referensi sunting