Amakusa Shirō (天草 四郎) (lahir 1621? – meninggal 12 April 1638) adalah remaja Kirishitan, salah seorang pemimpin Pemberontakan Shimabara pada zaman Edo di Jepang. Ia bunuh diri atau dibunuh setelah Istana Hara yang dipertahankannya jatuh ke tangan pasukan Keshogunan Edo. Nama aslinya adalah Masuda Shirō Tokisada (益田四郎時貞). Nama baptisnya adalah Jerome atau Fransisco. Ia juga populer dengan nama Amakusa Shirō Tokisada.

Amakusa Shirō

Biografi

sunting

Masuda Shirō adalah putra pertama dari ayah bernama Masuda Jinbei dari klan Masuda. Shirō dilahirkan di rumah keluarga pihak ibu. Tempat kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, namun Desa Ebe, Distrik Uto (sekarang Uto, Prefektur Kumamoto disebut sebagai tempatnya dilahirkan.[1] Keluarganya adalah penganut Kristen,[2] dan ayahnya mantan pengikut daimyo Kirishitan Konishi Yukinaga. Setelah Yukinaga wafat, klan Konishi hancur, dan anggota klan Masuda berakhir sebagai ronin. Ayah Shirō beralih profesi sebagai petani, dan mengajak keluarganya untuk menetap di Desa Ebe, Distrik Uto (sekarang Kota Uto, Prefektur Kumamoto).

Sewaktu kecil, Shirō dikenal sebagai anak jenius, dan buku ajaran Konfusius yang panjang dan sulit sudah dihafalnya di luar kepala. Ketika berusia 9 tahun, seorang samurai mengangkatnya sebagai kacung. Setelah berumur 12 tahun, ia berkelana sendirian ke Nagasaki untuk belajar menjadi dokter, dan kemungkinan dibaptis sewaktu berada di Nagasaki.[2]

Sebagai hasil Pertempuran Sekigahara, penguasa Domain Karatsu, Kepulauan Amakusa yang merupakan bekas wilayah Konishi Yukinaga diserahkan kepada Terazawa Hirotaka pada tahun 1601.[1] Penduduk menderita kelaparan akibat cuaca buruk dan paceklik dari tahun 1634 hingga 1637.[3] Klan Terazawa memerintah dengan sewenang-wenang dan membebankan pajak yang berat kepada penduduk Kepulauan Amakusa dan Shimabara. Dalam buku yang ditinggalkan Pastor Marco Ferraro (1554-1628) sebelum diusir ke Makau pada tahun 1614, terdapat catatan yang meramalkan bahwa "Dua puluh lima tahun dari sekarang, ketika awan langit timur dan barat menjadi merah menyala, serta tanah di seluruh negeri berayun dan bergemuruh, akan muncul seorang anak Tuhan, dia akan menyelamatkan orang-orang."[3] Ketika pulang dari Nagasaki pada tahun 1637, Shirō mengetahui kehidupan rakyat Kepulauan Amakusa dan Shimabara makin sulit. Penduduk desa makin bertambah banyak dengan kedatangan penduduk kota yang melarikan diri dari penindasan Kekristenan yang dilakukan klan Terazawa.

 
Patung Jizō yang dirusak oleh pemberontak.

Amakusa Shirō mulai berkeliling di desa-desa menyampaikan ceramah agama Kristen. Kisah hidup dirinya kemudian bercampur aduk dengan legenda. Menurut desas-desus di Kepulauan Amakusa dan Shimabara waktu itu, ia dapat melakukan berbagai mukjizat, termasuk menyembuhkan orang sakit atau berjalan di atas air.[2] Pada bulan Oktober 1637, massa bergerak sebelum dimulainya musim pengumpulan pajak tanah, dan pecah Pemberontakan Shimabara. Shirō waktu itu masih remaja berusia 16 tahun. Berdasarkan saran dari kakak iparnya (Watanabe Kosaemon),[3] pemberontak oleh para petani dan ronin dari Amakusa dan Semenanjung Shimabara mengangkat Shirō sebagai pemimpin. Pemberontak meminta penguasa untuk menurunkan pajak dan menghapus pelarangan agama Kristen. Mereka hanya bersenjatakan tongkat, garu, dan batu, namun berhasil membakar kota Shimabara dan membunuh sekitar 40 orang bangsawan. Dalam aksinya, para pemberontak menghancurkan simbol-simbol agama Buddha, termasuk patung-patung Jizo.[2] Jumlah para pemberontak kemungkinan sekitar 20.000 orang. Walaupun tidak semuanya penganut Kristen, mereka membawa bendera bertuliskan pujian terhadap agama Kristen dalam bahasa Portugis.[2]

Penguasa Nagasaki, Terazawa Hirotaka mengerahkan 3.000 prajurit untuk memadamkan pemberontakan. Sejumlah 2.800 prajurit tewas di tangan pemberontak dalam pertempuran 27 Desember 1637. Terazawa kemudian mengakui dirinya kalah akibat ilmu sihir yang dikirim Amakusa Shirō.[2] Pada awal Januari 1638, sejumlah 30.000 prajurit di bawah pimpinan Itakura Shigemasa tiba di Shimabara. Mereka memukul mundur pasukan pemberontak di bawah pimpinan Amakusa Shirō hingga pertahanan terakhir di dalam Istana Hara, Semenanjung Shimabara. Pemberontak yang terkepung di dalam Istana Hara meningkat jumlahnya menjadi sekitar 37.000 orang, termasuk warga sipil, wanita, dan anak-anak.[2] Mereka harus melawan tentara reguler keshogunan yang berjumlah 120.000 orang.[1]

Amakusa Shirō dikabarkan tewas bunuh diri di tengah kobaran api ketika Istana Hara jatuh ke tangan pasukan keshogunan pada Februari 1638. Sekitar 8.000 pemberontak tewas di tengah kobaran api.[1] Beberapa di antaranya melemparkan anak-anak mereka ke dalam kobaran api agar tidak ditangkap dan disiksa tentara keshogunan. Semua pemberontak yang masih hidup dihukum pancung dalam waktu dua hari.[2]

Ibu dan kakak perempuannya tertangkap, dan kepada mereka diperlihatkan potongan kepala Amakusa Shirō. Ibunya diberitakan berkata, "Amakusa Shirō anak Tuhan, dia tidak mungkin tewas terbunuh. Dia sudah naik ke surga, atau melarikan diri ke luar negeri atau ke Luzon dan sudah aman di sana."[3] Dari sejumlah potongan kepala remaja seusia Shirō yang ditemukan seusai pemberontakan, Jinsuke Zaemon dari Domain Hosokawa menemukan potongan kepala yang membuatnya menangis. Bersama lebih dari 10 ribu potongan kepala lainnya, potongan kepala yang nantinya disebut milik Amakusa Shirō, dipamerkan sebagai tontonan di depan pintu gerbang Istana Hara.[3]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d "天草 四郎". 熊本国府高等学校. Diakses tanggal 2010-02-02. 
  2. ^ a b c d e f g h Cummins, Joseph (2006). History's Great Untold Stories: Obscure Events of Lasting Importance. Murdoch Books. hlm. 90. ISBN 1-7404-5808-7. Diakses tanggal 2010-02-02. 
  3. ^ a b c d e "天草四郎 ~16歳の少年に何が起きたのか?~". Situs web Pemerintah Kota Amakusa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-02-14. Diakses tanggal 2010-02-05.  line feed character di |title= pada posisi 5 (bantuan)

Pranala luar

sunting

  Media tentang Amakusa Shirō di Wikimedia Commons