Antropologi kesenian

Antropologi kesenian merupakan salah satu cabang studi antropologi yang melihat kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan dan akan memiliki keterkaitan dengan unsur-unsur kebudayaan lain. Dalam studi antropologi, kesenian tidak hanya sekadar seni yang dipertunjukkan, tetapi juga memiliki fungsi dan menjadi cerminan kehidupan sebuah kelompok masyarakat.

Kesenian dalam Studi Antropologi sunting

Kesenian merepresentasikan nilai-nilai budaya yang berkembang di suatu masyarakat. Melalui kesenian, para antropolog dapat mengetahui cara kerja suatu kelompok masyarakat mengatur, mengelola, dan memaknai dunianya, termasuk bagaimana masyarakat tersebut berkembang. Salah satu peran ilmu antropologi ialah menjembatani antara seni, budaya, dan masyarakat untuk menciptakan ruang terhadap sebuah logika berpikir[1]. Antropologi kesenian hadir dari sebuah konsekuensi dari penempatan liyan (others) sebagai subjek pengamatan yang dipahami melalui sudut pandang sebuah kelompok masyarakat dengan cara melibatkan diri dalam konteks kehidupan riil yang mereka alami[1].

Salah satu tokoh antropologi modern ialah Claude Lévi-Strauss. Karya yang berjudul The Way of The Masks (1975) membawa pengaruh yang kuat terkait studi antropologi kesenian. Buku tersebut menceritakan perjalanannya melihat perubahan dalam bentuk plastik topeng di wilayah Pasifik Barat Laut yang membawanya mengetahui pola interaksi antar budaya di antara masyarakat adat di pesisir pantai.[2] Menurut Levi-Strauss, antropologi perlu mencapai status keilmuan dengan cara memberikan pemahaman yang universal tentang gejala sosial-budaya dengan melakukan penyamarataan untuk mencapai perbandingan. Sebagai fenomena budaya, fenomena kesenian adalah suatu bentuk ekspresi, sebagai perwujudan atau simbolisasi. Oleh karena itu, studi antropologi hadir untuk membedah simbol-simbol yang ada di dalam kesenian tersebut, baik secara implisit maupun secara eksplisit.

Pendekatan Antropologi Kesenian sunting

Beberapa bentuk pendekatan yang menggunakan paradigma antropologi untuk menganalisis kesenian tersebut, antara lain pendekatan tekstual, pendekatan kontekstual, dan pendekatan postmodernisme.

Pendekatan tekstual, yakni melihat kesenian sebagai sesuatu yang bersifat teks yang pada dasarnya dapat dianalisis dan dapat ditafsirkan setelah dibaca. Di dalam pendekatan tekstual terdapat dua jenis kajian, yakni kajian simbolik dan kajian struktural. Kajian simbolik berusaha untuk mengungkapkan makna. Artinya, ketika peneliti yang menggunakan teori antropologi kesenian hendak menganalisis kesenian di sebuah kelompok masyarakat, harus memulai dari apa yang terlihat di kesenian tersebut (aspek luar), lalu beralih ke aspek dalam yang bersifat implisit untuk mengungkapkan makna sebenarnya.[3] Selanjutnya, kajian struktural menekankan unsur-unsur yang dianalisis tidak bisa berdiri sendiri dan memiliki hubungan antarunsur yang lain.

Pendekatan kontekstual, yakni memahami fenomena kebudayaan yang dikaitkan dengan unsur-unsur di luar kebudayaan[3]. Misalnya, hubungan sebab-akibat, hasil kolaborasi, unsur yang satu mempengaruhi unsur yang lain, dan berbagai perubahan yang menciptakan sebuah kebudayaan atau hasil seni. Misalnya, pertunjukan wayang yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga bertujuan untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

Pendekatan postmodernisme, yakni menangkap sebuah kesenian sebagai salah satu fenomena kebudayaan yang selanjutnya diolah menjadi sebuah opini atau kritik. Opini dan kritik merupakan bentuk postmodernisme karena mendapat pengaruh dari modernitas.

Fungsi Seni Pertunjukan sunting

Seni pertunjukan merupakan salah satu wujud kesenian yang sering kali diteliti dan dianalisis menggunakan teori antropologi kesenian. Seni pertunjukan berwujud seni musik, seni tari, seni teater, tidak hanya disajikan atau dipentaskan begitu saja, tetapi seni pertunjukan memiliki beberapa fungsi untuk kehidupan bermasyarakat.

Pada zaman Hindu-Buddha, seni pertunjukan bertujuan sebagai pelengkap upacara. Hal tersebut terlihat dari relief-relief yang ada di Candi Borobudur yang menunjukkan gambaran kehidupan pada masa lampau. Seni pertunjukan juga bertujuan sebagai atribut sosial. Artinya, seni pertunjukan merupakan media dalam menyajikan kehidupan sosial masyarakat tertentu yang diiringi dengan jenis musik dan tari-tarian.[4]

Selanjutnya, seni pertunjukan bertujuan sebagai alat bantu pendidikan, di mana untuk meningkatkan minat masyarakat dengan mudah adalah merangsangnya dengan pertunjukan. Seni pertunjukan juga memiliki fungsi ekonomi karena banyak masyarakat yang menggunakan kemampuannya di bidang seni untuk mencari nafkah. Hal tersebut selaras dengan fungsi seni pertunjukan sebagai wujud hiburan karena penonton memiliki nilai kepuasan saat disuguh dengan berbagai macam pertunjukan.

Permasalahan Seni sunting

Masalah utama dalam antropologi seni adalah universalitas 'seni' sebagai fenomena budaya. Beberapa antropolog telah mencatat bahwa kategori 'lukisan', 'patung', atau 'sastra' di Barat, yang dipahami sebagai aktivitas seni independen yang tidak berhubungan dengan kelompok masyarakat.[2] Pada tahun 2000-an, Alfred Gell dalam bukunya yang berjudul Art and Agency mengusulkan definisi baru untuk seni, yakni sebuah sistem kompleks di mana seniman dapat menciptakan objek seni untuk menjadi pemantik perubahan dunia, termasuk perubahan estetika dan persepsi penonton seni.

Kebudayaan manusia termasuk seni di dalamnya berubah dan memberikan kesan unik, serta disesuaikan dengan konteks ruang-waktunya. Akibatnya, terdapat kerancuan seni Indonesia yang tidak sesuai dengan disiplin ilmu.[5] Seni yang berkembang di Indonesia tidak sesuai dengan apa yang menjadi definisi seni di wilayah Barat. Apabila sebuah seni hendak dianalisis menggunakan teori antropologi kesenian, masyarakat yang akan menjadi objek utamanya.

Referensi sunting

  1. ^ a b Simatupang, Gabriel Roosmargo Lono Lastoro (2023). "Relevansi Antropologi dalam Kajian Kesenian di Indonesia". Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. 25 (1): 1. 
  2. ^ a b "Anthropology of art". Wikipedia (dalam bahasa Inggris). 2023-01-11. 
  3. ^ a b Soeriadiredja, Purwadi (2016). Fenomena Kesenian dalam Studi Antropologi (PDF). Denpasar: Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. hlm. 17–24. 
  4. ^ Nurdiyana, Tutung; Indriyani, Putri Dyah (2021). Buku Ajar Seni dalam Perspektif Sosiologi dan Antropologi (PDF). Semarang: Penerbit Jurusan Seni Rupa UNNES. hlm. 70. ISBN 978-623-94538-9-3. 
  5. ^ Rahim, M.A. (2009). "Seni dalam Antropologi Seni" (PDF). Imaji. 5 (2): 49.