Sukun (pohon)

(Dialihkan dari Artocarpus altilis)

Sukun,[1] kulur,[2] ketimbul[3] atau timbul[4] (Artocarpus altilis) adalah nama sejenis pohon yang berbuah. Buah sukun tidak berbiji dan memiliki bagian yang empuk, yang mirip roti setelah dimasak atau digoreng. Karena itu, orang-orang Eropa mengenalnya sebagai "buah roti" (Ingg.: breadfruit; Bld.: broodvrucht, dll.).

Sukun
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Kerajaan: Plantae
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Rosid
Ordo: Rosales
Famili: Moraceae
Genus: Artocarpus
Spesies:
A. altilis
Nama binomial
Artocarpus altilis

Sukun sesungguhnya adalah kultivar yang terseleksi sehingga tak berbiji. Kata "sukun" dalam bahasa Jawa berarti "tanpa biji" dan dipakai untuk kultivar tanpa biji pada jenis buah lainnya, seperti jambu klutuk dan durian. "Moyangnya" yang berbiji (dan karenanya dianggap setengah liar) dikenal sebagai gomasi (Makassar), amakir, umare (Ambon), sukunutan (Banda),[5] timbul, kulur (bahasa Sunda), atau kluwih (bahasa Jawa), kulu (bahasa Aceh), kalawi (bahasa Minang), bakara' (bahasa Makassar). Di daerah Pasifik, kulur dan sukun menjadi sumber karbohidrat penting. Di sana dikenal dengan berbagai nama, seperti kuru, ulu, atau uru. Nama ilmiahnya adalah Artocarpus altilis.

Pemerian

sunting

Pohon sukun (atau pohon timbul) umumnya adalah pohon tinggi, dapat mencapai 30 m, meski umumnya di pedesaan hanya belasan meter tingginya. Hasil perbanyakan dengan klon umumnya pendek dan bercabang rendah. Batang besar dan lurus, hingga 8 m, sering dengan akar papan (banir) yang rendah dan memanjang.

Bertajuk renggang, bercabang mendatar dan berdaun besar-besar yang tersusun berselang-seling; lembar daun 20-40 × 20–60 cm, berbagi menyirip dalam, liat agak keras seperti kulit, hijau tua mengkilap di sisi atas, serta kusam, kasar dan berbulu halus di bagian bawah. Kuncup tertutup oleh daun penumpu besar yang berbentuk kerucut. Semua bagian pohon mengeluarkan getah putih (lateks) apabila dilukai.

Perbungaan dalam ketiak daun, dekat ujung ranting. Bunga jantan dalam bulir berbentuk gada panjang yang menggantung, 15–25 cm, hijau muda dan menguning bila masak, serbuk sari kuning dan mudah diterbangkan angin. Bunga majemuk betina berbentuk bulat atau agak silindris, 5-7 × 8–10 cm, hijau. Buah majemuk merupakan perkembangan dari bunga betina majemuk, dengan diameter 10–30 cm. Forma berbiji (timbul) dengan duri-duri lunak dan pendek, hijau tua. Forma tak berbiji (sukun) biasanya memiliki kulit buah hijau kekuningan, dengan duri-duri yang tereduksi menjadi pola mata faset segi-4 atau segi-6 di kulitnya.

Biji timbul berbentuk bulat atau agak gepeng sampai agak persegi, kecoklatan, sekitar 2,5 cm, diselubungi oleh tenda bunga. Sukun tidak menghasilkan biji, dan tenda bunganya di bagian atas menyatu, membesar menjadi 'daging buah' sukun.

Hasil dan kegunaan

sunting

Buah sukun (tak berbiji) adalah bahan pangan penting sumber karbohidrat di berbagai kepulauan di daerah tropik, terutama di Pasifik dan Asia Tenggara. Sukun dapat dimasak utuh atau dipotong-potong terlebih dulu: direbus, digoreng, disangrai atau dibakar. Buah yang telah dimasak dapat diiris-iris dan dikeringkan di bawah matahari atau dalam tungku, sehingga awet dan dapat disimpan lama.

Di pulau-pulau Pasifik, kelebihan panen buah sukun akan dipendam dalam lubang tanah dan dibiarkan berfermentasi beberapa minggu lamanya, sehingga berubah menjadi pasta mirip keju yang awet, bergizi dan dapat dibuat menjadi semacam kue panggang. Sukun dapat pula dijadikan keripik dengan cara diiris tipis dan digoreng.

Sukun dapat menghasilkan buah hingga 200 buah per pohon per tahun. Masing-masing buah beratnya antara 400-1200 gr, tetapi ada pula varietas yang buahnya mencapai 5 kg. Nilai energinya antara 470-670 kJ per 100 gram. Tidak mengherankan bila sukun menarik minat para penjelajah Barat, yang kemudian mengimpor tanaman ini dari Tahiti ke Amerika tropis (Karibia) pada sekitar akhir 1780an untuk menghasilkan makanan murah bagi para budak di sana.

  • Daging buah yang telah dikeringkan dapat dijadikan tepung dengan kandungan pati sampai 75%, 31% gula, 5% protein, dan sekitar 2% lemak.
  • Daunnya dapat dijadikan pakan ternak. Kulit batangnya menghasilkan serat yang bagus yang pada masa lalu pernah digunakan sebagai bahan pakaian lokal.
  • Getahnya digunakan untuk menjerat burung, menambal (memakal) perahu, dan sebagai bahan dasar permen karet.
  • Kayu sukun atau timbul berpola bagus, ringan dan cukup kuat, sehingga kerap digunakan sebagai bahan alat rumah tangga, konstruksi ringan, dan membuat perahu.

Timbul, kulur, atau kluwih (yang berbiji) lebih banyak dipetik tatkala muda, untuk dijadikan sayur lodeh, sayur asam, atau ditumis dengan cabai. Biji timbul yang tua juga kerap direbus, digoreng, atau disangrai untuk dijadikan camilan.

Penyebaran dan ekologi

sunting

Asal usul sukun diperkirakan dari kepulauan Nusantara sampai Papua. Mengikuti migrasi suku-suku Austronesia sekitar 2000 tahun sebelum Masehi, tanaman ini kemudian turut menyebar ke pulau-pulau di Pasifik. Diperkirakan pada masa perdagangan rempah di akhir zaman Majapahit, sukun menyebar ke Jawa dari Maluku. Karena pengaruh kolonisasi bangsa-bangsa Eropa, sukun ini lalu menyebar ke barat antara tahun-tahun 1750-1800 ke Malaysia, India, Srilangka, Mauritius, dan pada 1899 tiba di Afrika. Kini sukun telah menyebar luas di berbagai belahan dunia terutama di lingkar tropis.

Sukun menyukai iklim tropis: suhu panas (20-40˚C), banyak hujan (2000–3000 mm pertahun) dan lembap (lengas nisbi 70-90%), dan lebih cocok di dataran rendah, di bawah 600 mdpl, meski dijumpai sampai sekitar 1500 m dpl. Anakan pohon lebih baik tumbuh di bawah naungan, tetapi kemudian membutuhkan matahari penuh untuk tumbuh besar. Meskipun kebanyakan kultivarnya akan tumbuh dengan baik pada tanah-tanah aluvial yang subur, dalam dan berdrainase baik, akan tetapi variasi kemampuannya sangat besar. Maka ada varietas-varietas yang tumbuh baik di tanah berawa, tanah kapur, tanah payau dan lain-lain.

Ada yang mengatakan bahwa daun sukun yang telah tua dan gugur, dapat digunakan untuk pengobatan tradisional pembesaran prostat, menurunkan gula darah, serta pengobatan gagal ginjal. Namun hal ini belum dilakukan penelitian lebih lanjut.

Lihat pula

sunting

Bahan bacaan

sunting
  • Smith, N.J.H, J.T. Williams, D.L. Plucknett, and J.P. Talbot. 1992. Tropical Forest and Their Crops. Cornell Univ., Ithaca. ISBN 0-8014-8058-2.
  • Verheij, E.W.M. dan R.E. Coronel (eds.). 1997. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2: Buah-buahan yang dapat dimakan. PROSEA–Gramedia. Jakarta. ISBN 979-511-672-2.

Galeri

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ (Indonesia) Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia "Arti kata sukun pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan". Diakses tanggal 2019-10-23. 
  2. ^ (Indonesia) Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia "Arti kata kulur pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan". Diakses tanggal 2019-10-23. 
  3. ^ (Indonesia) Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia "Arti kata ketimbul pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan". Diakses tanggal 2019-10-23. 
  4. ^ (Indonesia) Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia "Arti kata timbul pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan". Diakses tanggal 2019-10-23. 
  5. ^ Crawfurd, John (2017). Sejarah Kepulauan Nusantara: Kajian Budaya, Agama, Politik, Hukum dan Ekonomi. 1. Diterjemahkan oleh Zara, Muhammad Yuanda. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hlm. 312. ISBN 9786022584698. 

Pranala luar

sunting