Bagaspati
Bagawan Bagaspati (alias Bambang Anggana Putra pada masa muda), adalah nama tokoh pewayangan Jawa yang disisipkan ke dalam kisah wiracarita Mahabharata karya Krishna Dwaipayana Wyasa dari India. Tokoh ini hanya muncul dalam kisah pewayangan, dan tidak ditemukan dalam naskah Mahabharata asli yang berbahasa Sanskerta (terutama terjemahan Kisari Mohan Ganguli dan C. Rajagopalachari).[1]
Dalam pewayangan dikisahkan bahwa Bagawan Bagaspati adalah putra Resi Jaladara dari Pertapaan Dewasana, dengan Dewi Anggini, keturunan Prabu Citragada, raja di kerajaan Magadha. Pada mulanya Bambang Anggana Putra berwujud ksatria tampan, tetapi kerena terkena kutukan Sanghyang Manikmaya tatkala akan memperistri Dewi Darmastuti wujudnya berubah menjadi rakshasa.
Menurut lakon "Lahirnya Gandamana", pada mulanya Bagaspati adalah seorang raja di Kerajaan Nusabelah. Ketika menyerang negeri Pancala, Prabu Bagaspati dikalahkan oleh Prabu Mandrapati, raja negeri Mandaraka, yang saat itu tengah bertamu ke Pancala. Setelah ditaklukkan, Bagaspati diminta untuk menjadi pertapa, dan kemudian ia menjadi brahmana di pertapaan Argabelah dengan gelar Begawan Bagaspati. Ia belakangan bersahabat karib dengan Prabu Mandrapati, yang kelak menjadi besannya.[2]
Bagaspati sangat sakti. Ia memiliki Ajian Candabirawa, sehingga tidak bisa mati kecuali atas kemauannya sendiri. Ia menikah dengan Dewi Dharmastuti, seorang hapsari atau bidadari, dan memiliki putri bernama Pujawati. Bagaspati mempunyai watak sabar, ikhlas, percaya akan kekuasaan Tuhan, rela berkorban dan sangat sayang pada puterinya.
Akhir riwayatnya diceritakan, karena rasa cintanya dan demi kebahagiaan putrinya, Dewi Pujawati, Bagaspati rela mati dibunuh Narasoma (Salya), menantunya sendiri. Sebelum tewas, ia menyerahkan Aji Candabirawa kepada Narasoma.[3]
Lihat pula
suntingCatatan kaki
sunting- ^ Jijith N.R., Mahabharata Unique Noun List - B, Ancient Voice
- ^ Soegiyanto. (2000). Kisah dinasti Bharata: leluhur dan masa muda Pandawa-Kurawa. Jilid 3: 84-98. Surakarta: CV Widya Duta.
- ^ Hardjowirogo. (1968). Sedjarah wajang purwa. Cet. ke-V, hlm. 180. Jakarta: Balai Pustaka.