Bagelen, Gedong Tataan, Pesawaran

desa di Kabupaten Pesawaran, Lampung


Bagelen adalah salah satu desa yang berada di kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, Indonesia. Desa ini terbentuk karena peristiwa Transmigrasi di Hindia Belanda yang memindahkan penduduk dari Purworejo, Jawa Tengah ke beberapa daerah dipulau Sumatra.

Bagelen
Negara Indonesia
ProvinsiLampung
KabupatenPesawaran
KecamatanGedong Tataan
Kode pos
35366
Kode Kemendagri18.09.01.2007 Edit nilai pada Wikidata
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²
Peta
PetaKoordinat: 5°22′12.76″S 105°6′10.08″E / 5.3702111°S 105.1028000°E / -5.3702111; 105.1028000

Sejarah

sunting

Desa ini didirikan oleh transmigran asal Bagelen, Purworejo, yang tiba di daerah ini pada tahun 1900-an. Desa ini merupakan desa transmigrasi pertama di Indonesia. Desa ini dibentuk pada tahun 1905.

Pelaksanaan transmigrasi di Indonesia sangat erat kaitannya dengan politik etis yang digagas oleh Van Deventer. Politik etis memiliki program utama yaitu irigasi, edukasi dan imigrasi. Awal mula transmigrasi berakar dari program imigrasi atau pada masa itu lebih dikenal dengan istilah kolonisasi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Tingginya pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi menimbulkan permasalahan yang kompleks bagi pemerintah Hindia Belanda. Kepadatan penduduk yang ada di Jawa membuat pemerintah melakukan program ini dengan memeratakan penyebarannya mengisi wilayah-wilayah yang masih kosong diluar Pulau Jawa. Hal ini untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang ada di Jawa.

Program Kolonisasi

sunting

Pada tahun 1905, pemerintah Hindia Belanda yang diperintah oleh Gubernur Jenderal ke-63, yaitu Johannes Benedictus van Heutsz (1904-1909). melakukan program kolonisasi dengan memberangkatkan penduduk sejumlah 155 KK dari Karesidenan Kedu Jawa Tengah menggunakan kapal uap. Karesidenan Kedu dipilih karena pada waktu itu kondisinya sangat memprihatinkan. Tidak hanya itu, kondisi tersebut juga kerap membuat paceklik, petaninya miskin, dan tidak memiliki lahan (mindere welvaart).

Kolonisasi pun dilakukan untuk membuat hidup mereka lebih sejahtera. Mereka dibawa ke daerah Gedongtataan, Lampung. Daerah ini dipilih karena kontur tanahnya yang datar, tersedianya sumber air, dan masih dekat dengan pulau jawa. Gedongtataan sendiri berada sekitar 20 KM ke arah selatan dari pusat Kota Bandar Lampung.

Pendatang di Desa Bagelen

sunting

Setelah sampai, akhirnya mereka menempati tempat baru yang diberi nama sesuai dengan asal desa mereka di Jawa, yaitu Bagelen. mereka sebagian besar berasal dari Desa Bagelen, Purworejo, Karesidenan Kedu.

Program kebijakan kolonisasi ini dirancang dengan menyesuaikan dengan adat-istiadan dan tradisi Jawa. Metode ini digunakan untuk mengantisipasi agar orang-orang yang telah ikut program itu setelah menetap di tempat kolonisasinya yang baru tidak kembali desa asal mereka. Akan tetapi mereka tetap nyaman tinggal di daerah kolonisasi, karena sudah merasa berada di lingkungan sosial budaya mereka sendiri, seperti di Jawa.

Pada waktu itu, Bagelen masih berupa hutan belantara dengan kayu-kayu yang sangat besar, kawasan bagelen lalu dibuka atau istilah jawanya "dibabat" oleh transmigran dan pemerintah dengan bola besi besar untuk dibuat lahan pemukiman dan pertanian. Bola besi tersebut adalah bukti dari sejarah kolonisasi yang sekarang masih terpajang di Museum Transmigrasi Lampung yang berada di Kabupaten Pesawaran.

Bagelen sebagai lokus kolonisasi

sunting

Bagelen sendiri adalah lokus pertama kolonisasi yang dilakukan pemerintah Hindia-Belanda sebagai percontohan kolonisasi (Kolonisatieproof) atas analisis H.G Heyting seorang asisten residen Karesidenan Kedu yang bertanggungjawab atas terlaksananya program kolonisasi.

Program kolonisasi sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah Hindia-Belanda. Mereka para kepala keluarga dibekali bahan makanan (selama satu tahun) dan berbagai perabot rumah tangga seperti piring, mangkuk, meja, kursi, dan alat-alat pertanian.

Lalu para kepala keluarga ini diberi lahan dan rumah untuk melakukan aktivitasnya di tempat barunya. Mereka mendapatkan 70 are sawah dan 30 are pekarangan dan mendapatkan biaya transportasi gratis dan jaminan hidup selama 2 tahun. Dalam catatan Lim Bouw Soei 1910 para pendatang di Desa Bagelen telah mendirikan tempat penggilingan padi untuk aktivitas pertaniannya.

Pembangunan di Desa Bagelen

sunting

Pada tahun 1911, gelombang migrasi kedua dilakukan ke Desa Bagelen, hal ini seiring dengan percobaan kedua yaitu beberapa penduduk jawa juga dipindahkan ke daerah Kalimantan dan Sulawesi, setelah percobaan pertama mendapatkan hasil yang cukup memuaskan.

Pembangunan di wilayah Desa Bagelen pada masa itu dilakukan di berbagai bidang antara lain; bidang transportasi dengan terhubungnya jalan besar ke daerah pelabuhan Tanjung Karang sepanjang 25 km; bidang kesehatan dengan dibuatnya lembaga dinas kesehatan; bidang pendidikan untuk orang pribumi yang menghasilkan pegawai rendahan dan pekerja perkebunan; bidang keuangan dengan dibuatnya bank perkreditan rakyat Lampongsche Bank yang diperuntukkan bagi para kolonis, tetapi bank ini dilikuidasi pada 1928 karena manajemen yang buruk; bidang pertanian dengan bertambahnya sawah basah hingga 700 bau pada 1916.

Di Desa Bagelen, pernah terjadi konflik antara pendatang dengan penduduk asli karena kecemburuan sosial, kemudian pemerintah kolonial berusaha untuk meredam hal seperti ini dengan pembenahan sistem administrasi desa dengan sistem marga. Pada 1928-1931 arus migrasi sudah mulai mengalir setiap tahunnya, kurang lebih sekitar 1000 orang pindah ke daerah lampung dengan biaya sendiri tanpa memperoleh bantuan sedikitpun dari pemerintah.

Pro dan Kontra Kolonisasi

sunting

Program kolonisasi tentunya juga sangat kontradiktif. Mereka telah meninggalkan daerah asalnya yang kerap terjadi paceklik untuk kehidupan yang lebih baik di daerah baru dengan diberi berbagai macam fasilitas oleh pemerintah Hindia-Belanda. Ternyata di tempat kolonisasinya mereka juga harus menjadi tenaga kerja perkebunan dan pertambangan milik pemerintah dan swasta yang telah berkembang sebelumnya dengan upah yang rendah

Setelah Indonesia merdeka, nama program kolonisasi ini dirubah menjadi lebih nasionalis menjadi Transmigrasi. Program yang dilakukan kurang lebih sama yaitu mengisi wilayah-wilayah yang masih kosong dan diberikan sebidang tanah, pemerintah yang baru melanjutkan program ini hingga era reformasi untuk tercapainya pemerataan penduduk di seluruh Indonesia.[1]

Pemerintahan

sunting
 
MERDI PARMANTO, S.Kom.,M.Pd
Kepala Desa Bagelen

Tempat Menarik

sunting

Referensi

sunting