Bakakak hayam
Bakakak hayam (bahasa Sunda: ᮘᮊᮊᮾ ᮠᮚᮿ, translit. Bakakak Hayam) merupakan kuliner tradisional khas Sunda. Bakakak hayam adalah makanan pendamping atau lauk pauk untuk kelengkapan makan nasi. Bekakak berarti korban penyembelihan hewan atau manusia. Karena bentuknya yang seperti seseorang yang duduk bersila, maka dalam bahasa Sunda disebut bakakak.[1]
Bakakak hayam | |
---|---|
Jenis | Hidangan ayam |
Suhu penyajian | Panas |
Sunting kotak info • L • B |
Sebagian besar masyarakat sunda khususnya daerah Pandeglang, bakakak hayam digolongkan menjadi makanan yang digunakan untuk kegiatan pesta adat, seperti pernikahan, sunatan dan upacara adat lainnya.[2]
Penyajian
suntingDalam upacara pernikahan, bakakak hayam dijadikan sebagai sesaji utama dalam acara uap lingkung, yaitu makanan yang diperuntukan khusus untuk kedua mempelai dan bukan untuk tamu undangan. Saat pernikahan, bakakak hayam hanya disajikan ayamnya saja tanpa tambahan apapun. Bakakak hayam ini menjadi syarat khusus yang harus dipenuhi dalam upacara pernikahan dengan melalui dua proses yaitu[2]
- Bakakak hayam dikonsumsi kedua mempelai setalah ijab qabul dan setalah keduanya duduk di kursi pelaminan. Hayam bakakak disajikan menggunakan piring ceper, tanpa menggunakan nasi. Kemudian, kedua mempelai saling berebutan untuk mengambil ayam dengan potongan yang besar. Besarnya potongan melambangkan besarnya rezeki yang kelak akan diperoleh dalam kehidupan rumah tangganya.
- Dilanjutkan dengan uap lingkung yaitu pengantin laki-laki menyuapi pengantin perempuan. Hal ini melambangkan kasih sayang, saling pengertian dan saling melengkapi.
Pada upacara sunatan, bakakak hayam disajikan khusus untuk anak yang dikhitan bukan untuk tamu undangannya. Hayam bakakak dalam upacara sunatan memiliki makna atau simbol bahwa anak yang dikhitan akan tumbuh besar baik tubuh maupun mental. Bakakak hayam disajikan setelah anak dikhitan dan diletakkan di piring ceper. Ini dilakukan dengan maksud anak yang dikhitan merasa senang dan dapat menjadi obat agar dapat mempercepat kesembuhan dan merangsang pertumbuhan serta mengembalikan tenaga anak yang takut dan lemas akibat dikhitan. Biasanya saat khitanan, bakakak hayam dilengkapi dengan makanan camilan seperti jajanan pasar.[2]
Bakakak hayam juga digunakan sebagai peranti upacara adat karena bagi masyarakat sunda makanan tersebut merupakan makanan tradisi yang selalu disajikan pada waktu upacara tertentu. Ayam yang biasanya digunakan masyarakat sunda adalah ayam jantan, karena sebagian masyarakat sunda percaya bahwa ayam jantan merupakan salah satu binatang penolak bala agar arwah leluhur tidak menganggu tetapi diharapkan dapat membantu kelancaran berbagai kegiatan pada kehidupan Masyarakat Sunda.[2]
Fungsi lain
suntingAyam bekakak tidak hanya disajikan dalam upacara adat saja, namun saat ini sudah banyak di rumah makan khas Sunda yang menyediakan ayam bakakak sebagai menu mereka. Seperti di salah satu rumah makan yang berada di Bogor, di sana ayam bekakak disajikan dengan lalapan dan sambal yang pedas
Bakakak hayam dapat berfungsi sebagai obat, karena dari ramuan bumbu-bumbunya seperti bawang putih, bawang merah dan ketumbar. Bawang putih yang mengandung minyak astiri, allcin dan alin dapat membantu proses penyembuhan atau mencegah penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi. Bawang merah mengandung plavonglikosida bersifat sebagai toksin yang mampu memebunuh bakteri dan anti radang. Ketumbar mempunyai khasiat untuk menghangatkan tubuh, menghindari masuk angin.[2]
Selain itu, bakakak hayam memiliki nilai budaya dan fungsi sosial. Nilai budaya yang dimiliki adalah makanan tradisi bagi masyarakat sunda yang disajikan pada saat upacara tertentu. Fungsi sosialnya adalah makanan ini mencerminkan kebersamaan yang terwujud pada saat terdapat upacara atau kegiatan tertentu.
Referensi
sunting- ^ ngiderngiler.com (2019-01-20). "Asal Muasal Istilah Ayam Bekakak ⋆ NGIDERNGILER.com - Rock & Roll Traveler". NGIDERNGILER.com - Rock & Roll Traveler (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-03-01.
- ^ a b c d e Warisan Budaya Tak Benda. "Bakakak Hayam". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2019-03-01.