Barisan Buruh Indonesia

Barisan Buruh Indonesia atau disingkat BBI adalah sebuah merupakan organisasi buruh pertama di Indonesia yang didirikan grup Menteng 31. Salah satu tujuan mereka adalah merebut aset-aset ekonomis dari tangan militer Jepang. BBI makin kuat karena Iwa Kusumasumantri selaku Menteri Sosial hanya mengakui BBI sebagai satu-satunya organisasi buruh di Indonesia.[1]

Pembentukan

sunting

BBI dibentuk di Jakarta pada tanggal 15 September 1945. Keterangan yang sama diterangkan oleh M.S. Hidajat perihal tanggal berdirinya BBI, namun adanya ketidaksesuaian penulisan tanggal dalam bukunya. Di lain halaman dalam buku M.S Hidajat, tanggal berdirinya BBI adalah pada 19 September 1945. Informasi tanggal (19 September 1945) ini juga sama dalam buku Iskandar Tedjasukmana. Berbeda lagi dengan Saril yang dikutip Iskandar menerangkan bahwa berdirinya BBI adalah pada 15 Oktober 1945.

Perbedaan interpretasi ini tetap meneguhkan informasi bahwa BBI lahir setelah kemerdekaan di tahun 1945.

Tujuan

sunting

Tujuan dibentuknya BBI adalah sebagai wadah persatuan untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dilakukan pada 17 Agustus 1945. Sandra yang mengutip keterangan resmi pendirian BBI, menerangkan bahwa pembentukan BBI juga dimaksudkan untuk “memudahkan serikat sekerja dan partai buruh” dalam kondisi perubahan masyarakat yang begitu cepat pasca kemerdekaan. Tujuan lain dari pergerakan BBI sebagai massa buruh di masa pasca kemerdekaan salah satunya adalah mengikuti pertempuran bersenjata dengan massa lainnya.

Semangat kemerdekaan memantik buruh-buruh untuk mengikuti pertempuran bersenjata. Agenda ini dirumuskan dalam bentuk mempertahankan tempat-tempat bekerja, pabrik-pabrik dan sebagainya. Kelompok-kelompok bersenjata dengan massa buruh ini pada mulanya menyebut diri mereka dengan nama Laskar Buruh Indonesia (LBI). Badan kelaskaran buruh ini hampir ada di seluruh pusat-pusat kota. Secara kelembagaan, pada mulanya LBI tidak mempunyai struktur yang jelas dan koordinasi antarlaskar.

Bentuk organisasi

sunting

Bentuk organisasi massa BBI tidak mengenal jenis lapangan pekerjaan tertentu, tidak terikat dengan ikatan industrial, dan tidak mempunyai susunan perusahaan. Sifat ini oleh Sandra dikategorikan “semata-mata yang mengikat mereka adalah buruh sebagai warga negara wajib ikut menjalankan tugasnya melaksanakan revolusi nasional”. Dalam bentuk struktural yang baku, organisasi BBI di awal pembentukannya bersifat tidak menentu atau tidak terstruktur.

Kongres BBI Pertama

sunting

Tidak memerlukan waktu yang lama, pada tanggal 7 November 1945 di Solo, Barisan Buruh Indonesia (BBI) mengadakan Kongres Buruh dan Tani. Kongres ini tercatat sebagai kongres buruh pertama kali di Indonesia pasca kemerdekaan. Salah satu hal yang dibahas dalam kongres ini adalah keinginan untuk membentuk partai politik dengan massa buruh. Sebagian kelompok yang ingin membentuk partai buruh dalam BBI setuju dan memperoleh kemenangan suara. Dalam momentum ini, BBI diubah menjadi Partai Buruh Indonesia (PBI) yang kemudian berkedudukan di Surabaya dengan memilih Njono sebagai Ketua.

Perbedaan Pendapat Antar Kubu

sunting

Dalam kongres BBI yang pertama terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam antara kelompok yang menginginkan agar BBI diubah menjadi partai politik dan kelompok yang menghendaki agar BBI dipertahankan sebagai organisasi buruh,

Kelompok yang mendukung pembentukan partai berpendapat bahwa partai dengan basis buruh diperlukan untuk menyiapkan langkah-langkah kearah tujuan buruh.

Keinginan untuk “berubah menjadi partai “, ditolak oleh sebagian kelompok dalam BBI. Mereka berpendapat pembentukan partai buruh kurang tepat karena dalam “memperjuangkan aspirasi dan memperbaiki nasib buruh diperlukan persatuan melalui organisasi dengan ikatan lapangan pekerjaan.

Oleh M.S. Hidajat perbedaan pendapat ini diberi label “dua kubu buruh yang berseberangan” di akhir tahun 1945. Hampir sama dengan penjelasan Sandra, dalam interpretasinya M.S. Hidajat menerangkan bahwa “Kubu pertama” menginginkan gerakan buruh digabungkan dengan gerakan politik dengan cara membentuk partai politik. Pendapat ini didasari oleh keinginan menghadirkan citra bahwa adanya demokrasi di Indonesia yang ingin ditunjukkan oleh sebagian pimpinan buruh, selain itu sebagai pembuktian bahwa “kemerdekaan Indonesia adalah bukan hadiah dari pemerintah Jepang”

Sedangkan “Kubu Kedua” berpendapat bahwa dalam mempersatukan buruh yang diperlukan adalah bukan keikutsertaan dalam kegiatan politik praktis, melainkan suatu organisasi buruh. Pendapat ini juga didasari dengan tujuan “untuk menghadapi musuh yang sedang mengepung Indonesia, yang penting barisan buruh harus bersatu”

PBI yang telah dibentuk menggantikan BBI mempunyai asas sosialisme dari Karl Marx dan Vladimir I. Lenin dengan tujuan untuk mencapai masyarakat sosialisme.

Selanjutnya konferensi Partai Buruh Indonesia (PBI) pleno dilaksanakan pada 31 Desember 1945 di Blitar, Jawa Timur. Dalam pertemuan ini, sebagian kelompok yang tidak sepakat dengan pembentukan partai menginginkan agar BBI dihidupkan kembali. Keputusan bulat kemudian diambil untuk menghadirkan kembali BBI sebagai massa pergerakan buruh. Sejak saat itu hampir di daerah-daerah di pusat kota-kota di Jawa dibentuk organisasi-organisasi yang berinduk pada BBI. Di tempat-tempat kerja, pabrik, perkebunan, pelabuhan didirikan cabang-cabang BBI. Oleh M.S Hidajat diinterpretasikan bahwa saat itu “Semua kaum buruh di Indonesia dianggap sebagai anggota BBI”

Selain itu, dalam konferensi di Blitar juga diputuskan untuk mengorganisir badan kelaskaran dengan membentuk badan pimpinan laskar buruh yang diketuai oleh Soediono Djojorajitno. Laskar-laskar buruh dengan badan pimpinan laskar ini adalah badan yang berdiri sendiri dan tidak ada ikatan organisatoris dengan BBI dan PBI.

Dalam perkembangannya, oleh Sandra diterangkan bahwa berdirinya PBI dalam BBI ini tidak membuat mereka terikat organisatoris. Keduanya berdiri dengan kedaulatan organisasi masing-masing.

Kiprah

sunting

Lahirnya BBI yang juga merangsang berdirinya PBI, LBI, dan BBW membuat gerakan-gerakan buruh menjadi lebih beragam tujuan dan kebutuhannya.

Sementara BBI yang pada mulanya merupakan organisasi massa yang tidak terstruktur menjadi lebih terorganisir di awal tahun 1946, diantaranya mampu menyusun susunan struktur berdasarkan lapangan pekerjaan. Kemajuan dalam kelembagaan ini pada mulanya terjadi di berbagai daerah yang kemudian menyebar di daerah-daerah lain secara bertahap. Secara kelembagaan, BBI bukan lagi hanya sebagai organisasi massa buruh namun telah menjadi lembaga perburuhan dengan sifat federative (atau dapat disebut federasi) dari serikat-serikat buruh dari berbagai tingkatan perusahaan baik vertikal dan horizontal maupun tingkatan daerah.

Kompleksitas sifat federative yang dimiliki oleh BBI ini kemudian membuat sebagian pimpinan-pimpinannya mengadakan pertemuan dengan tajuk konferensi guna membahas persoalan organisasi. Konferensi BBI ini diadakan di Kediri pada 19 Maret 1946, kemudian konferensi selanjutnya diadakan di Madiun 21 Mei 1946.

Dalam konferensi kedua BBI di tahun 1946 ini, dibuat keputusan untuk meleburkan keanggotaan BBI menjadi, “Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GASBI)”. Pergantian organisasi ini kemudian dilakukan langkah penyesuaian bentuk organisasi yang hanya menampung organisasi-organisasi buruh berdasarkan lapangan pekerjaan. Dengan demikian, berakhirlah BBI secara kelembagaan, sementara keanggotaannya ikut melebur ke berbagai organisasi yang juga banyak terbentuk.

Sementara sejalan dengan perubahan itu, di tingkat nasional banyak terbentuk organisasi-organisasi buruh dengan jenis organisasi yang sesuai dengan lapangan pekerjaan seperti, SB Minyak, SB Postel, SB Pegadaian, PBRI, SB Listrik dan lainnya.[2]

Referensi

sunting