Baroncah
Baroncah berasal dari kata roncah yang dibubuhi awalan ba-. Roncah dalam bahasa Minangkabau artinya yaitu corak bahasa Padang Sibusuk ini juga bisa diartikan sebagai 'rencah' dalam bahasa Indonesia. Awalan ba- pada kata baroncah tersebut mengandung makna 'melakukan sesuatu'. Baroncah itu pun dapat disejajarkan dengan 'merencah' (bahasa Indonesia). Dengan demikian, baroncah mengandung makna 'menggemburkan tanah di sawah (dengan membiarkan kerbau mengijak-injak tanah itu hingga seperti dibajak pada bajak sawah) atau melunyah sawah'. Tradisi baroncah ini telah lama ada dalam kehidupan masyarakatPadang Sibusuk, Sijunjung, Sumatera Barat. Demikian lamanya, mereka tidak tahu kapan tradisi tersebut dimulai. Yang mereka tahu, tradisi tersebut telah ada semenjak mereka ada di negeri itu.
Pengertian
suntingBaroncah merupakan proses penggarapan sawah yang dilakukan sebelum padi ditanami. Sebelum baroncah tahap pertama dilakukan, petani terlebih dahulu memasukkan air ke sawah dan menutup saluran pembuangan airnya. Hal itu dilakukan agar sawah yang akan dironcah memiliki kadar air yang cukup. Setelah baroncah yang pertama itu, petani membuat persemaian dan kemudian dilanjutkan dengan penyemaian benih padi. Baroncah tahap kedua dilakukan ketika benih padi siap untuk ditanam. Namun, sebelum padi ditanam dilakukan penyikatan agar lahannya gembur. Dengan demikan, baroncah dilakukan dua tahap sebelum padi ditanami di sawah.
Akan tetapi, tidak semua sawah dapat menjalani dua tahap baroncah itu karena masing-masing sawah memiliki struktur yang berbeda-beda. Sawah pulau atau rona - airnya berasal dari irigasi yang menggunakan kincir sebagai alat irigasinya atau sawah yang berada di tepi sungai - biasanya dironcah dua kali. Sawah pulau tersebut memiliki dasar yang dangkal. Akan tetapi, pada sawah lurah atau awang - lahannya seperti rawa - dilakukan satu kali roncah. Hal itu dilakukan karena dasar sawah tersebut sangat dalam sehingga dikhawatirkan dapat membahayakan petani dan kerbaunya.
Kerbau yg digunakan dalam baroncah tidak hanya kerbau jantan, tetapi juga betina. Namun, kerbau yang masih kecil atau masih menyusu tidak diikutkan baroncah karena dapat mengganggu aktivitas kerbau yang lain terutama induknya. Mengenai jumlah kerbau itu ada yang 7, 10, 15, bahkan sampai 40 ekor. Semua itu tergantung jumlah kerbau yang dimiliki orang yang dipanggil untuk maroncah. Semua kerbau yang digunakan untuk baroncah itu tidak satu pun yang memiliki tali aruang (seutas tali yang dicocokkan ke hidung sapi atau kerbau). Meskipun demikian, kabau itu tidak ada yang menginjak pematang sawah, seakan-akan mereka mengerti bahwa pematang sawah tidak dapat menahan bobot badan mereka.
Semua kerbau itu digiring si pemilik kerbau ke dalam sawah sambil berdendang. Untuk mengendalikan kerbau itu, si pemilik kerbau juga dibantu oleh pemilik sawah (1 sampai 3 orang), yang disebut juga tukang alau. Tukang alau juga ikut berdendang saat sawah dironcah oleh kerbau. Dalam konteks ini, baik si pemilik kerbau maupun tukang alau, penulis sebut pendendang atau tukang dendang.
Dendang yang dilantunkan pendendang sangat mendayu-dayu iramanya. Dendang tersebut berupa kalimat-kalimat perintah yang ditujukan kepada kerbau agar kerbau itu terus berjalan dan berjalan. Kalimat yang sama cenderung diulang-diulang dan dilantunkan dengan irama yang indah. Dalam berdendang, pendendang melakukannya secara berganti-gati atau seperti bersahut-sahutan. Dalam hal ini tidak ada kesepakatan siapa yang terlebih dahulu berdendang. Hanya saja jika pendendang pertama sudah berdendang, serta merta pendendang berikut akan mengikutinya.
Dendang pada baroncah tersebut berfungsi penyemangat kerbau dalam bekerja. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh informan di lapangan, kerbau tersebut tidak bersemangat bekerja jika tidak didendangkan. Ada yang lambat jalannya dan bahkan ada juga yang tidak mau berjalan sama sekali. Selain itu, baroncah juga sebagai media hiburan bagi pendendang (orang yang mengendalikan kerbau). Dengan kata lain, marintang-rintang diri, 'menghibur diri' sambil berkerja sehingga pekerjaan yang berat pun terasa ringan olehnya. “Rasa kantuk yang datang menyerang di saat bekerja pun dapat dikendalikan”, demikian kata salah Bahri Arifin saat itu.
Baroncah dilaksanakan sekitar pukul 00.08 pagi hingga 14.00 siang dan istirahat untuk melakukan salat dan makan siang pada jam 12.00 - 13.00. Dari pagi hingga siang itu, pendendang tidak putus-putusnya mendendangkan kerbau yang sedang maroncah sawah.
Ada dua gaya dalam baroncah tersebut, yakni gaya melingkar dan zigzag. Gaya melingkar dimaksudkan adalah berjalan melingkari sawah yang dironcah. Dengan gaya melingkar ini, kerbau digiring dari salah satu sudut sawah berjalan membentuk lingkaran sampai ke tengah atau sebaliknya. Gaya zikzak yakni berjalan bolak-balik mengikuti panjang sawah.
Uniknya, kerbau itu diberi nama oleh pemiliknya, seperti layaknya manusia. Pemberian nama berdasarkan bentuk tubuh dan warna kulit. Nama-nama kerbau itu adalah nan itam 'yang hitam' karena kulitnya berwarna hitam pekat, nan kumbang 'yang kumbang' karena kulitnya seperti hitam kumbang, nan tampuang 'yang tampung' karena bentuk tanduknya melengkung ke bawah, seperti menampung, nan runciang 'yang runcing' karena bentuk tanduknya runcing, nan rondah 'yang rendah' karena tubuhnya pendek, nan ganjia 'yang ganjil' karena memiliki puting susu tiga, nan cendang karena betuk tanduknya berbeda, sebelah berdiri tegak dan yang satunya lagi rebah, dan nan putiah 'yang putih' karena bulunya agak keputih-putihan. Kadang, nama-nama itu disebutkan ketika berdendang.
Dari cara tukang dendang berdendang dan teks yang disampaikan itu tergambar sikap atau perlakuan manusia kepada binatang. Dalam konteks ini, kerbau-kerbau itu diperlakukan oleh pendendang seperti anaknya sendiri. Mereka (kerbau) diperintah untuk bekerja dengan bahasa yang elok, sebagaimana memerintah manusia, seperti menggunakan kata "diak sayang" (adik sayang).
Bahasa Minangkabau yang digunakan bercampur-campur, sebagaimana dinyatakan oleh M. Ajrin, gelar Mandaro Sutan. Hal itu dapat dilihat pada kosakata “kerbau”. Kosakata tersebut dilafalkan dengan dialek setempat, yaitu kobou dan kadang dilafalkan dengan bahasa Minangkabau umum, kabau.
Dalam teks baroncah terdapat bunyi sisipan (filler sylabes), yang berfungsi sebagai penerus atau penyempurna bunyi (irama). Contohnya, yaitu:
iyõ—iriaklah kobõu—oi kobõu—ē 'lah pulang baliak yo kobõu—lanyaulah dek kau ēh—a babeloklah 'kau 'nak kobõu.
Kata-kata yang dicetak tebal merupakan filler sylables, yang secara leksikal dan gramatikal tidak mempunyai makna. Biasanya, bunyi penyisip itu muncul, bila jumlah suku kata dalam kesatuan pengucapan kurang dari yang diperlukan.
Selain itu, pelesapan juga terjadi pada teks baroncah tersebut. Pelesapan suku kata terjadi di awal dan akhir kata. Contohnya adalah 'nde, 'ndeh, 'onde','lah, dan 'nak. 'Nde, 'ndeh, 'onde' merupakan bentuk pelesapan dari kata ondeh. 'Lah merupakan bentuk pelesapan dari kata alah 'sudah' atau 'telah'. 'nak merupakan bentuk pelesapan dari kata anak 'anak'.
Selain menggunakan tenaga kerbau untuk baroncah, masyarakat juga memanfaatkan teknologi baru, yakni mesin bajak. Meskipun masyarakat telah beralih kepada teknologi baru, baroncah dengan menggunakan kerbau masih tetap bertahan. Teknologi baru itu tetap tidak bisa menggantikan tenaga kerbau tersebut. Hal itu disebabkan masing-masing sawah membutuhkan penanganan yang berbeda. Sawah tadah hujan pada umumnya digarap dengan menggunakan kerbau karena kadar air di sawah tersebut sangat sedikit. Apabila digarap dengan menggunakan mesin bajak dapat mengurangi persediaan air yang ada di sawah itu. Menurut informan, cara kerja mesin bajak itu dapat membuka pori-pori tanah sehingga air yang ada tersedot ke dalam. Oleh karena itu, penggunaan mesin bajak tidak menguntungkan untuk sawah jenis itu. Akan tetapi, sawah yang irigasinya bagus dan lokasinya mudah dijangkau pada umumnya digarap dengan mesin. Hal itu dilakukan karena mempercepat proses penggarapan sawah. Masyarakat juga tidak perlu menunggu dalam waktu yang lama untuk menanami sawahnya kembali. Selain itu, ada lagi jenis sawah yang dasarnya berbatu-batu. Untuk sawah seperti itu juga digunakan tenaga kerbau dalam penggarapannya. Apabila menggunakan mesin bajak, sawah berbatu itu dapat merusak alat tersebut.
Pendendang atau Tukang Dendang
suntingTukang dendang atau pendendang dalam konteks ini adalah pemilik kerbau dan pemilik sawah. Pemilik kerbau adakalanya memainkan dua peran, satu orang bertugas mengendalikan jalan kerbau dan yang lain bertugas sebagai tukang alau atau tukang ikuik. Tukang alau bertugas mengatur jalannya kerbau agar tidak berkeliaran. Selain itu, pemilik sawah juga dapat berperan sebagai tukang alau. Tukang alau terdiri atas satu atau tiga orang paling banyak. Tukang alau berada dan berjalan di belakang kerbau, sedangkan pemilik kerbau berjalan di depan kerbau.
Kemampuan berdendang yang dimiliki pendendang baroncah tidak diperoleh melalui belajar. Siapa saja bisa menjadi pendendang karena tidak diperlukan keahlian khusus dalam hal tersebut. Bahkan menurut Ajrin, anak setingkat sekolah dasar saja bisa menjadi pendendang. Tukang dendang pada baroncah itu pada umumnya laki-laki. Namun, bukan berarti perempuan tidak bisa berdedang. Pendendang perempuan tampil ketika baroncah dilaksanakan di sawahnya. Itu pun jika tidak ada laki-laki yang akan menjadi tukang alau di saat baroncah berlangsung.[1]
Referensi
sunting- ^ Nasri, Daratullaila. 2009. "Baroncah: Sastra Lisan Minangkabau" (Laporan Penelitian). Padang: Balai Bahasa Padang.