Bataha Santiago merupakan salah satu tokoh masyarakat yang berasal dari Sangihe Talaud, Ia merupakan raja ketiga Kerajaan Manganitu. Don Jugov (Jogolov) Sint Santiago adalah nama lengkapnya ("Bataha" berarti sakti). Ia lahir di desa Bowongtiwo-Kauhis, Manganitu pada tahun 1622.[1] Ia merupakan satu-satunya raja di Kepulauan Sangihe yang keras kepala dan menolak menandatangani perjanjian dagang dengan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) Belanda.

Bataha Santiago
Raja Manganitu ke-3
Patung Bataha Santiago di Pulau Miangas.
Berkuasa1670–1675
KelahiranDon Jugov Santiago
1622
Bowongtiwo-Kauhis, Manganitu
Kematian1675 – 1622; umur -54–-53 tahun
Tanjung Tahuna
Pemakaman1675
AyahTompoliu
AgamaKatolik
Ilustrasi Bataha Santiago

Riwayat hidup sunting

Dia disekolahkan oleh ayahnya di Universitas Santo Thomas Manila, Filipina pada tahun 1666 (saat itu dia sudah berumur 44 tahun) dan menyelesaikan kuliahnya empat tahun kemudian. Sepulangnya dari Filipina, dia lalu dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Manganitu dan selama lima tahun ia memegang tampuk kekuasaan.[1]

Hubungan dengan VOC sunting

VOC beberapa kali memaksa Santiago untuk menandatangani kontrak panjang (lange Contract). Dia menolaknya dan mengumumkan perang terhadap VOC. Isi lange Contract yang ditolak antara lain instruksi untuk melenyapkan tanaman cengkih dan semua benda yang dianggap kafir oleh VOC. Mereka memanfaatkan Sultan Kaitjil Sibori, anak Sultan Mandarsyah, untuk membujuk Santiago supaya menandatangai kontrak. Namun Santiago tetap tidak mau menandatanganinya. Sultan Kaitjil Sibori pulang ke daerahnya tanpa hasil. Hal tersebut telah mengecewakan dan membuat marah VOC. Santiago pun telah siap dengan segala akibatnya. Kalimatnya yang terkenal yang disampaikan ketika ia mengumpulkan para pejabat kerajaan dan semua pihak yang terkait maupun yang akan melibatkan diri melawan VOC adalah “I kite mendiahi wuntuang ‘u seke, nusa kumbahang katumpaeng.” Kalimat itu berarti kita harus menyiapkan pasukan perang, negeri kita jangan dimasuki musuh.[1]

VOC lalu mengutus Sultan Kaitjil Sibori ke Sangihe untuk mempersunting Maimuna, putri raja VI Tabukan, supaya VOC dan sekutunya masuk ke Sangihe. Pasukan VOC dan pasukan kerajaan Manganitu yang dipimpin oleh Santiago berperang di laut. Korban di kedua belah pihak sangat banyak. VOC mundur dan menghentikan perang yang sengit itu karena kerugian yang besar. Kemudian, VOC meminta bantuan Sasebohe dan Bawohanggima, sahabat dekat Santiago, agar membujuknya menyerah, tetapi tetap gagal. Pertempuran antara VOC dan pasukan Santiago terjadi lagi dan Sasebohe dan Bawohanggima terus membujuk Santiago.

Tercatat VOC melancarkan tiga kali serangan ke Manganitu. Sementara itu, penduduk Manganitu tidak tinggal diam, mereka membuat markas pertahanan di Paghulu (kini desa Karatung) dan Batu Bahara. Dua kali serangan VOC berhasil digagalkan pasukan Manganitu yang dipimpin oleh adik Santiago, Diamanti alias Don Carlos, dan dibantu saudara-saudaranya yang lain. Namun, serangan VOC yang ketiga berhasil melumpuhkan pertahanan di Paghulu dan Batu Bahara. Akibat serangan ini, VOC mengajak Santiago berunding.[2]

Kematian sunting

Santiago akhirnya berhasil dibawa ke kantor VOC di Tahuna untuk berunding, tetapi ini hanya strategi VOC untuk menangkapnya. Ia dipaksa lagi untuk menandatangani kontrak. Namun, Santiago tetap memegang teguh prinsipnya. VOC menyiapkan satu tim tembak. Mereka menembak. Tapi tidak ada satu pun peluru berhasil melukai tubuh Santiago. Mereka takut dan heran, lalu membawa Santiago ke Tannjung Tahuna dan menggantungnya.[2]

Sultan Kaitjil Sibori tidak yakin tubuh Santiago yang tak bisa ditembus peluru dapat tewas dengan tali. Diperintahkannya salah seorang anggota pasukannya untuk memenggal kepala Santiago. Sebelum matahari terbit, adik Santiago yang bernama Sapela, datang mengambil jenasah saudaranya. Ia hanya bisa membawa kepala Santiago dan menguburkannya di antara akar pepohonan besar, beberapa meter di atas pantai dan menandai tempat itu dengan tumpukan batu di Nento di desa Karatung-Paghul pada 1675. Kubur kepala Santiago yang dirahasiakan terungkap pada tahun 1950. Sedangkan tubuhnya diduga dikuburkan di tempat ia dihukum mati, di kelurahan Santiago saat ini.

Makam Santiago di Desa Karatung berbentuk persegi dan dilapisi keramik putih berukuran 2,5 x 3,25 m. Terdapat tanda salib di makamnya dan di prasasti makam tertulis kutipan kalimat Santiago, "Biar saya mati digantung, tidak akan tunduk kepada Belanda." Di samping makamnya, terletak makam saudara perempuannya. Kompleks makam ini sudah dua kali dipugar, yakni pada 1975 dan 1993.

Penghargaan sunting

Sebagai wujud penghargaan, diabadikan sebuah patung di Miangas di daerah perbatasan antara Indonesia dan Filipina. Namanya juga diabadikan sebagai nama markas Kodim 1301/Sangihe dan Korem 131/Santiago di Manado, Sulawesi Utara.[1] Pada tanggal 10 November 2023, Joko Widodo memberikan gelar pahlawan nasional kepada Santiago.[3]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d "Bataha Santiago, Pahlawan Dari Sangihe - SulutHebat.com". SulutHebat.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-12. 
  2. ^ a b "Bataha Santiago Digantung Akibat Lawan VOC". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2023-11-09. Diakses tanggal 2023-11-19. 
  3. ^ Safitri, Eva. "Jokowi Resmi Beri Gelar Pahlawan Nasional ke 6 Tokoh". detik.com. Detik. Diakses tanggal 10 November 2023.