Beras di Nusa Tenggara Timur

Beras di Nusa Tenggara Timur diproduksi dengan tingkat produktivitas yang rendah akibat pasokan air yang tidak mencukupi untuk penanaman padi. Lahan persawahan dan peladangan padi yang subur hanya terdapat di wilayah Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Timur, dan Kabupaten Nagekeo. Sementara itu, lahan pertanian padi yang kurang subur terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Pada masa akhir Pelita III, produksi beras di Nusa Tenggara Timur mencapai 350.000 ton per tahun. Namun kemudian menurun dengan nilai rata-rata 250.000 ton per tahun selama masa Pelita IV. Pada tahun 2009, produksi beras di Nusa Tenggara Timur mencapai 381.056 ton per tahun. Distribusi beras di Nusa Tenggara Timur hanya diadakan oleh pemerintahan daerah selama dekade 1950-an. Produksi beras di Nusa Tenggara Timur tidak mencukupi kebutuhan konsumsi penduduk di Nusa Tenggara Timur pada periode 1950-an dan 1960-an sehingga diadakan impor beras dari Pulau Jawa.

Produktivitas

sunting

Lahan di Nusa Tenggara Timur tidak produktif untuk menghasilkan beras melalui penanaman padi. Kondisi geografi Nusa Tenggara Timur dengan curah hujan yang rendah membuat lahan menjadi kering dan tanaman padi sulit beradaptasi. Musim hujan di Nusa Tenggara Timur hanya berlangsung selama tiga hingga empat bulan, sedangkan musim kemarau berlangsung selama delapan hingga sepuluh bulan. Kondisi ini membuat pasokan air untuk penanaman padi kurang dan produktivitasnya menjadi rendah.[1]

Persawahan untuk produksi padi di Nusa Tenggara Timur terletak di wilayah Manggarai. Wilayah ini mencakup Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Timur. Produktivitas padi di wilayah ini sangat tinggi karena kondisi lahan yang subur dan datar.[2] Sentra produksi padi di Nusa Tenggara Timur terletak di Kabupaten Nagekeo dan Kecamatan Lembor dalam wilayah Kabupaten Manggarai Barat. Padi di Kabupaten Nagekeo dihasilkan pada sawah maupun ladang.[3]

Lahan pertanian yang luas di Nusa Tenggara Timur juga terdapat dalam wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Persawahan dilakukan di lahan datar dekat sungai dalam wilayah Kecamatan Batu Putih dan Kecamatan Amanuban Timur. Namun, lahan persawahan di Kabupaten Timor Tengah Selatan kurang subur sehingga produktivitas produksi padi tergolong rendah.[2]

Produksi

sunting

Pada akhir masa Pelita III, rata-rata produksi beras di Nusa Tenggara Timur seberat 350.000 ton per tahun. Namun pada masa Repelita IV, produksi beras di Nusa Tenggara Timur mengalami penurunan. Nilai produksi rata-ratanya hanya sebanyak 250.000 ton per tahun.[4]

Pada tahun 2009, total produksi beras di Nusa Tenggara Timur seberat 381.056 ton. Beras ini dihasilkan dari sawah dan ladang. Sentra produksi padi di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2009 terletak di Pulau Flores. Daerah-daerahnya meliputi Kabupaten Manggarai Timur, Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat. Kabupaten Manggarai Timur menghasilkan padi seberat 39.317 ton. Kabupaten Manggarai menghasilkan padi seberat 38.472 ton. Sedangkan Kabupaten Manggarai Barat menghasilkan padi seberat 33.325 ton.[2]

Distribusi

sunting

Pada periode 1953–1955, distribusi beras di Nusa Tenggara Timur diatur oleh pemerintah daerah. Sehingga tidak ada pasar bebas untuk perdagangan beras.[5]

Konsumsi

sunting

Penduduk di Nusa Tenggara Timur menjadikan padi sebagai salah satu tanaman pangan.[6] Pada tahun 1953, konsumsi beras harian terjadi di Kota Kupang. Sementara para petani hanya mengonsumsi beras pada kegiatan upacara adat. Beras sebanyak 150 ton diimpor dari Pulau Jawa oleh orang Tionghoa untuk konsumsi beras di Kota Kupang. Namun jumlah tersebut tidak memenuhi kebutuhan konsumsi harian penduduk di Kota Kupang.[5]

Pada dekade 1960-an, pola konsumsi pangan di Nusa Tenggara Timur masih meliputi beras, jagung dan singkong.[7] Beras yang dihasilkan di Nusa Tenggara Timur mencapai 57.000 ton pada tahun 1966. Namun kekurangan kebutuhan konsumsi beras mencapai 123.000 ton.[5]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Idris, Akhmad (Maret 2020). Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia. Sidoarjo: Penerbit Citra Airiz. hlm. 99. ISBN 978-623-76571-5-6. 
  2. ^ a b c Wuryandari 2014, hlm. 72.
  3. ^ Moedjiono, Atika Walujani, ed. (Mei 2011). Ekspedisi Jejak Peradaban NTT: Laporan Jurnalistik Kompas. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 149. ISBN 978-979-709-572-7. 
  4. ^ Bank Ekspor Impor Indonesia (1987). Indonesia Membangun Jilid IV. Jakarta: PT Dumas Sari Warna. hlm. 239. 
  5. ^ a b c Van Klinken, Gerry (Juni 2015). The Making of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota Kupang, 1930-an–1980-an [The Making of Middle Indonesia: Middle Classes in Kupang Town, 1930s-1980s]. Diterjemahkan oleh Maris, Masri. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta. hlm. 172. ISBN 978-979-461-921-6. 
  6. ^ Wuryandari 2014, hlm. 73.
  7. ^ Irianto, Gatot (2016). Indrijati P., ed. Lahan dan Kedaulatan Pangan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 26. ISBN 978-602-03-2726-6. 

Daftar pustaka

sunting