Karya ini telah bebas dan dapat digunakan oleh siapapun untuk berbagai keperluan. Apabila Anda ingin menggunakan kembali konten ini, Anda tidak perlu meminta izin selama Anda mengikuti syarat-syarat lisensi yang tertera di halaman ini.
Wikimedia telah menerima surel yang mengonfirmasikan bahwa pemegang hak cipta telah menyetujui terbitan ini di bawah syarat-syarat yang tertera di halaman ini. Korespondensi ini telah ditinjau oleh anggota VRT dan disimpan dalam arsip perizinan. Korespondensi ini tersedia bagi sukarelawan tepercaya sebagai tiket #2017081510016132.
untuk berbagi – untuk menyalin, mendistribusikan dan memindahkan karya ini
untuk menggubah – untuk mengadaptasi karya ini
Berdasarkan ketentuan berikut:
atribusi – Anda harus mencantumkan atribusi yang sesuai, memberikan pranala ke lisensi, dan memberi tahu bila ada perubahan. Anda dapat melakukannya melalui cara yang Anda inginkan, namun tidak menyatakan bahwa pemberi lisensi mendukung Anda atau penggunaan Anda.
berbagi serupa – Apabila Anda menggubah, mengubah, atau membuat turunan dari materi ini, Anda harus menyebarluaskan kontribusi Anda di bawah lisensi yang sama seperti lisensi pada materi asli.
Berkas ini mengandung informasi tambahan yang mungkin ditambahkan oleh kamera digital atau pemindai yang digunakan untuk membuat atau mendigitalisasi berkas. Jika berkas ini telah mengalami modifikasi, rincian yang ada mungkin tidak secara penuh merefleksikan informasi dari gambar yang sudah dimodifikasi ini.
Produsen kamera
Canon
Model kamera
Canon EOS 5D Mark III
Waktu pajanan
1/250 detik (0,004)
Nilai F
f/8
Rating kecepatan ISO
400
Tanggal dan waktu pembuatan data
18 Februari 2014 06.19
Jarak fokus lensa
27 mm
Kredit/Penyedia
Alison Baskerville/LNP
Sumber
LNP
Tajuk
INVESTIGATING GENOCIDE IN SOMLALIAND
Judul gambar
24/02/2014. Human remains are revealed in a grave site in the Somaliland capital of Hargeisa. The excavation is part of an ongoing effort by International students from a Peruvian based forensic anthropology team known as Equipo Peruino de Antropologia Forense (EPAF) who have arrived in the country to exhume some of the estimated 50,000 to 60,000 people killed between 1988 and 1991 by the former dictator Mohamed Siad Barre.Somaliland is an unrecognised self-declared de facto sovereign state that is internationally recognised as an autonomous region of Somalia. This has left the area without the resources to conduct the exhumation of the remains and the ability to prosecute those involved in the massacres.According to the Somaliland War Crimes Investigation Committee (WCIC) the massacre began after a tribe known as the Isaaq began an uprising against Biarre's regime. He responded by ordering the execution of all members of this clan. “1988 was total chaos. Men, women and children were taken to killing sites by the army and shot. The bodies were dumped across the city and buried with bulldozers.” Stated Mahamoud Abdi, an employee with the WCIC. Photo credit: Alison Baskerville/LNP