Bingata
Bingata adalah jenis tekstil yang diproduksi secara tradisional di Okinawa. Bin berarti "warna" dan gata berarti stensil kertas yang digunakan untuk menciptakan pola yang diberi warna.
Penyebutan
sunting- nama lain : Ryukyu Bingata.[1]
Sejarah
suntingTidak diketahui dari mana asal mula Bingata. Kemungkinan besar hasil dari pertukaran budaya antara Ryukyu dengan Tiongkok, India dan Indonesia.[1] Beberapa ratus tahun lalu, sekitar abad ke-14 hingga 15, saat Kerajaan Ryukyu mengadakan hubungan dagang internasional yang aktif, kain-kain (tekstil) berwarna diperkenalkan dari India dan Indonesia (Pulau Jawa).[2][3] Diperkirakan teknik cetak dan celup dari kedua kawasan itu memberikan pengaruh pada perkembangan bingata.[2] Sebelumnya, bangsa Ryukyu hanya mengenal metode mewarnai tekstil hanya untuk satu warna dalam suatu pembuatan. Aigata diwarnai indigo dan katatsuki diwarnai kuning.
Semasa pemerintahan kerajaan, tiga keluarga yakni Takushi, Chinen dan Gusukuma (Shiroma) secara khusus diizinkan untuk memproduksi bingata resmi bagi istana.[3]
Kain bingata digunakan untuk membuat baju bagi keluarga kerajaan dan kelas kesatria (shizoku).[1] Keluarga kerajaan memakai bingata berwarna kuning, sementara bangsawan mengenakan warna biru terang. Rakyat jelata boleh mengenakan bingata hanya untuk perayaan ulang tahun. Saat ini, jarang sekali ada kimono bingata karena harganya yang sangat mahal. Kimono bingata kebanyakan digunakan oleh penari tradisional Ryukyu.
Perang Okinawa hampir membuat kesenian bingata punah. Stensil kertas dan berbagai bahan lain untuk membuat bingata hancur tak bersisa, sehingga Shiroma (keturunan keluarga pengerajin resmi istana), saat itu sedang berada di pulau utama Jepang berupaya mengumpulkan stensil asli Ryukyu yang dikoleksi oleh seniman dan kolektor Jepang.[3] Melalui upaya pengerajin Eiki Shiroma, pembuatan bingata diteruskan higga kini. Shiroma dianugerahi sebagai pewaris keterampilan Bingata oleh pemerintah Jepang.[3]
Metode pembuatan
suntingTekstil serat pisang, sutera, dan linen dapat digunakan dalam teknik bingata, namun yang terpopuler adalah katun.[2] Potongan kain yang akan diwarnai dibentangkan di atas papan yang lebar dan rata. Tepung beras basah dioleskan ke seluruh bagian kain melalui stensil kertas atau gambar guntingan yang menarik. Setelah tepung beras mengering, stensil dipisahkan dan bagian yang tidak diolesi siap untuk digambar atau diwarnai.
Dengan kuas yang kecil dan keras, yang ujungnya tumpul, warna yang dipilih secara berulang disapukan di garis yang diolesi (tepung) sampai kain itu menyerap warna. Ketika pewarnaan selesai, campuran getah pohon dan dan sari kedelai disapukan ke seluruh material supaya warnanya tidak pudar. Tahap terakhir adalah mencuci dan melebarkan kain. Tepung dicuci hingga meninggalkan daerah berwarna putih yang jelas di sekitar pola yang telah digambar.
Pola-pola
sunting- bambu
- bunga persik
- bangau
- kura-kura
- angsa
- krisan
- pemandangan alam