Komite Bumi Putera atau Comite Boemi Poetera berdiri pada 1913 dalam rangka menyambut peringatan seratus tahun pembebasan Belanda dari kekuasaan Prancis. Komite ini lengkapnya bernama Inlandsche Comite tot Herdenking van Nederlands Honderjarige Vrijheid (Komite Bumiputera untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda). Di kalangan kaum pergerakan dikenal dengan nama Comite Boemi Poetera.[1]

Comite Boemi Poetera merupakan organisasi yang dibentuk setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij.

Para pemimpinnya ialah Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (ketua), Soejatiman (Soetatmo) Soeriokoesoemo (wakil ketua), Soewardi Soerjaningrat (sekretaris), dan Wignjadisastra (bendahara). Melihat komposisi para pengurusnya, mereka merupakan tokoh-tokoh terkemuka baik di mata rakyat maupun pemerintah kolonial.

Tjipto misalnya sebagaimana diketahui adalah lulusan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen dan seorang anggota terkemuka dari Boedi Oetomo. Namun pada 1909, setahun setelah Boedi Oetomo terbentuk, Tjipto keluar karena perbedaan pandangannya dengan kaum tua di organisasi tersebut yang tidak mengakomodasi pikiran-pikiran kaum muda. Bersama Soewardi dan Douwes Dekker, ketiganya kemudian membentuk Indische Partij (IP) pada 25 Desember 1912 di Bandung.

Secara tidak langsung, IP baik secara organisasi maupun individu memang banyak mewarnai dan memberi bentuk kepada gerakan Sarekat Islam selanjutnya, khususnya dalam hal vergadering (rapat umum) dan partij discipline (disiplin partai). Perkembangan inilah yang ditakutkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Apalagi dua tokoh terkemuka IP, Tjipto dan Soewardi, duduk dalam kepengurusan Comite Boemi Poetera. Bisa dipahami jika pemerintah kolonial memandang komite ini berada dalam bayang-bayang atau pengaruh IP. Inilah yang selalu dicermati oleh pemerintah melihat aktivitas komite ini.

Pamflet

sunting

Dalam perkembangannya, Comite Boemi Poetera pernah dua kali menerbitkan pamflet.

  • Pamflet pertama diterbitkan pada 12 Juli 1913 yang berisi nama-nama para pengurusnya serta penjelasan aktivitas-aktivitasnya, antara lain tuntutan membentuk parlemen Hindia dan dihapuskannya Pasal 111 Indischestaatregering tentang pembatasan hak berorganisasi bagi bumiputera.
  • Pamflet kedua terbit pada 13 Juli 1913, berisi tulisan Soewardi Soerjaningrat berjudul Als Ik een Nederlander was (Seandainya saya seorang Belanda), yang dicetak sebanyak 5.000 eksemplar. Pamflet kedua kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdoel Moeis. Saat menerjemahkan, Moeis sempat mengkhawatirkan soal terjemahan ini karena isinya yang sangat keras terhadap pemerintah kolonial. Dengan terjemahan dalam bahasa Melayu, pamflet ini menjangkau pembaca yang lebih luas lagi.
Kutipan Als Ik een Nederlander was:

Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! 'Kalau aku seorang Belanda' Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun.

Beredarnya pamflet dari Soewardi dan Comite Boemi Poetera itu telah mengejutkan para petinggi Hindia Belanda baik di Bandung maupun di Batavia. Yang mengkhawatirkan pemerintah kolonial justru mengapa seorang Jawa, Soewardi, bisa berpikir tentang seorang Belanda (Nederlander) dalam konteks kemerdekaan itu. Anggota komite dianggap telah berpikir terlalu maju dengan mempersoalkan kemerdekaan (kekuasaan). Sesuatu yang tidak mungkin dibicarakan secara umum pada waktu itu.

Penangkapan

sunting

Maka, pemerintah kolonial berupaya membungkam segala aktivitas Comite Boemi Poetera. Ketika Residen Bandung, T.J. Janssen, selesai membaca tulisan Soewardi itu, ia kemudian segera melaporkannya kepada penguasa di Batavia. 25 Juli 1913, pejabat kehakiman bernama H.V. Monsanto tiba di Bandung dari Batavia. Dalam penilaian pemerintah, selain isinya yang sangat keras, pamflet tersebut juga bertentangan dengan Pasal 26 Undang-undang Pers waktu itu. Ia pun segera menginterogasi Soewardi dan para anggota komite lainnya serta memerintahkan agar pamflet tersebut disita.

Dengan semua kejadian ini, sehari kemudian, 26 Juli 1913, Tjipto menulis sebuah artikel untuk De Expres berjudul Kracht en Vrees (Kekuatan dan Ketakutan). Ia menyatakan bahwa jika pemerintah semakin menekan aktivitas komitenya, perlawanan lebih keras justru kian tumbuh dan konsekuensinya Comite Boemi Poetera akan terus melanjutkan perjuangannya. Dua hari kemudian Soewardi mengikuti jejak Tjipto menulis di De Expres dengan judul Een voor allen en allen voor een (Satu untuk semua dan semua untuk satu).

Residen Janssen tentu saja cemas dan sangat khawatir melihat aktivitas Comite Boemi Poetera atas terbitnya serangkaian tulisan para anggotanya yang isinya dianggap berbahaya itu. Ia memandang perlu saatnya untuk bertindak keras terhadap mereka karena telah mengganggu keamanan dan ketertiban umum di Hindia Belanda.

Pada 30 Juli 1913 serangkaian penangkapan dan interogasi mulai dilakukan pemerintah kolonial berkaitan dengan aktivitas Comite Boemi Poetera dan isi pamflet Als Ik eens Nederlander was. Tjipto, Soewardi, Moeis, dan Wignjadisastra ditangkap. Jika alasan terhadap ketiga orang terdahulu jelas, maka alasan penangkapan terhadap Wignjadisastra disebutkan karena ia telah mewartakan semua aktivitas Comite Boemi Poetera dalam surat kabar Kaoem Moeda, tepatnya sebagai editor dan penerbit. Namun lebih dari itu, dan yang terpenting, tampaknya justru karena ia dianggap tidak murni dibawah pengaruh Tjipto dan Soewardi. Dua tokoh terkemuka ini sejak lama telah mencemaskan pemerintah kolonial karena aktivitas-aktivitasnya di IP, berikut serangkaian tulisan-tulisannya yang mempersoalkan pemerintah kolonial. Kemungkinan inilah yang menjadi keberatan utama pihak pemerintah kolonial terhadap penangkapan Wignjadisastra.

Referensi

sunting
  1. ^ Tsuchiya, Kenji (1992). Demokrasi dan kepemimpinan : kebangkitan gerakan Taman Siswa. H. B. Yassin (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Balai Pustaka. ISBN 979-407-419-5. OCLC 221655803.