Bonshō

lonceng besar yang dapat dijumpai di kuil-kuil Budha di Jepang
(Dialihkan dari Bonsho)

Bonshō (Jepang: 梵鐘, lonceng Buddha), juga dikenal sebagai tsurigane (釣り鐘, lonceng gantung) atau ōgane (大鐘, lonceng besar) adalah lonceng besar yang dapat ditemui di kuil-kuil Buddha Jepang, dan digunakan untuk memanggil para biksu untuk berdoa serta menandai waktu. Berbeda dari lonceng pada umumnya, Bonshō dibunyikan dengan cara dipukul dari luar menggunakan palu genggam atau balok yang digantungkan pada tali.

Bonshō
Bonshō di Ryōan-ji.
Perkusi
Nama laintsurigane, ōgane
Klasifikasi Perkusi, Idiofon
Hornbostel–Sachs111.242.121
(Lonceng gantung tanpa pemukul internal)
DikembangkanPeriode Yamato (berdasarkan pada lonceng Tiongkok awal)
Alat musik terkait
Bianzhong, Gong, Kane, Suzu

Bonshō biasanya terbuat dari perunggu, yang dicetak dengan metode cetakan sekali pakai. Lonceng ini biasanya ditambahi dengan berbagai bentuk hiasan timbul, lekukan melintang, dan ukiran. Bentuk paling awal dari lonceng ini dibuat sekitar tahun 600 M di Jepang, meskipun desain umumnya berasal dari Tiongkok yang jauh lebih awal dan memiliki berbagai corak seperi yang terlihat di lonceng-lonceng Tiongkok kuno. Nada lonceng yang tajam dan menyebar luas dapat terdengar hingga jarak yang cukup jauh, sehingga lonceng-lonceng ini digunakan sebagai sinyal, penunjuk waktu, dan alarm. Selain itu, suara lonceng ini dianggap memiliki sifat-sifat supranatural; misalnya, dipercaya dapat didengar di alam baka.

Bonshō memiliki makna spiritual dengan memainkan peran penting dalam upacara-upacara Buddha, khususnya Tahun Baru dan festival Obon. Sepanjang sejarah Jepang, Bonshō dikaitkan dengan cerita dan legenda, baik yang fiktif, seperti Lonceng Benkei dari Mii-dera, maupun yang historis, seperti lonceng Hōkō-ji. Di zaman modern, bonshō telah menjadi simbol perdamaian dunia.

Asal mula

sunting

Bonshō berasal dari kata bianzhong (henshō 編鐘 dalam bahasa Jepang), sebuah instrumen yang biasa dijumpai di istana-istana Tiongkok kuno yang terdiri atas serangkaian lonceng bernada. Salah satu lonceng tambahan berukuran paling besar, yang kemudian berkembang menjadi bonshō, digunakan sebagai alat penyetel dan panggilan bagi pendengar untuk menghadiri resital bianzhong. [1] Menurut legenda, bonshō awalnya didatangkan dari Tiongkok ke Jepang melalui Semenanjung Korea. Nihon Shoki mencatat bahwa Ōtomo no Satehiko membawa tiga lonceng perunggu kembali ke Jepang pada tahun 562 sebagai rampasan perang dari Goguryeo.[2]

Pembuatan

sunting
Sebuah lonceng di Mii-dera yang dibunyikan dengan menggunakan sebuah shu-moku

Bonshō dicetak dalam satu kesatuan menggunakan dua cetakan, yakni cetakan untuk kerangka inti dan kerangka luar. Proses pembuatan ini sebagian besar tidak berubah sejak Zaman Nara (710–794).[3] Kerangka inti dibuat dari kubah batu bata bertumpuk yang terbuat dari pasir yang dikeraskan, sementara kerangka luar dibuat menggunakan papan pengasah. Papan pengasah adalah papan kayu besar, datar, dan berbentuk seperti penampang lonceng, yang diputar di sekitar sumbu vertikal untuk membentuk tanah liat yang kemudian digunakan untuk cetakan. Inskripsi dan dekorasi kemudian diukir atau dicetak dengan tanah liat tersebut.[4] Kerangka luar diletakkan di atas kerangka inti untuk menciptakan celah sempit, sebagai tempat perunggu cair dituangkan pada suhu lebih dari 1.050 °C (1.920 °F). Campuran tembaga dan timah sebagai bahan pembuatan memiliki rasio sekitar 17:3. Campuran yang tepat (serta proses pendinginan yang cepat) dapat mempengaruhi bunyi lonceng. Setelah logam mendingin dan mengeras, cetakan dilepas dengan cara dipecahkan, sehingga memerlukan cetakan baru untuk setiap lonceng.[5] Proses ini memiliki tingkat kegagalan yang tinggi; hanya sekitar 50 persen perunggu cair berhasil dituangkan pada percobaan pertama, tanpa keretakan atau ketidaksempurnaan.[1]

 
Diagram yang menampilkan berbagai bagian lonceng kuil Jepang

Proses pembuatan bonshō secara tradisional disertai dengan nyanyian sutra Buddha yang dapat berlangsung selama beberapa jam. Kertas doa Buddhis, setangkai murbei suci, dan sesajen upacara lainnya ditambahkan pada perunggu cair selama proses pembuatan.[1][5][6]

Bagian-bagian lonceng kuil terdiri atas:[7][8]

  • Ryūzu (竜頭), pegangan berbentuk naga di atas lonceng yang digunakan untuk membawa atau menggantung lonceng;
  • Kasagata (笠形), mahkota lonceng berbentuk kubah;
  • Chichi atau nyū (), tonjolan di sekitar bagian atas lonceng untuk mempertajam resonansinya;
  • Koma no tsume (駒の爪), tepi bawah;
  • Tsuki-za (撞座), papan pemukul, yaitu titik tempat lonceng dipukul. Panel ini sering berbentuk lotus Buddha;
  • Tatsuki (竜貴), lekukan horizontal dengan dekorasi;
  • Mei-bun (銘文), inskripsi (umumnya mengenai sejarah lonceng); dan
  • Shu-moku (手木), pemukul kayu yang digantung untuk memukul tsuki-za.

Bonshō dipukul dari luar dengan sejenis palu atau balok yang digantung, bukan dengan bandul lonceng.[9][10] Bunyi lonceng terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama adalah atari, bunyi yang diakibatkan dari pukulan lonceng. Lonceng yang dibuat dengan baik akan menghasilkan nada yang bersih dan jernih. Bunyi awal pukulan segera diikuti dengan oshi, gema yang terus terdengar setelah lonceng dipukul. Nadanya lebih tinggi dan getarannya rendah, kaya akan harmoni. Oshi berlangsung hingga sepuluh detik. Terakhir adalah okuri atau kehilangan, resonansi yang terdengar saat getaran lonceng menghilang, yang dapat berlangsung hingga satu menit. Terdapat pula harmonisasi nada yang berkelanjutan terdengar dari seluruh dentangan lonceng.[1][2] Banyaknya nada ini menciptakan suatu bentuk titinada yang lengkap.[11]

Nada rendah dan resonansi dalam dari lonceng memungkinkan bunyinya terdengar hingga jarak yang cukup jauh. Sebuah bonshō besar dapat terdengar hingga jarak 32 kilometer (20 mi) ketika cuaca cerah.[1] Nada lonceng ditentukan dengan cermat oleh pembuatnya dan perbedaan satu hertz saja dalam frekuensi dasar mengharuskan lonceng tersebut untuk dibuat ulang.[5]

Fungsi dan arti penting

sunting

Bonshō ditempatkan di kuil-kuil Buddha, biasanya di sebuah bangunan atau menara khusus yang disebut shōrō (鐘楼). Lonceng tersebut digunakan untuk menandai berlalunya waktu,[12] dan memanggil para biksu untuk pelayanan liturgi.[13] Dalam Buddhisme, bunyi lonceng dianggap menenangkan dan menciptakan suasana yang cocok untuk meditasi.[14] Karena bentuknya (dengan bahu yang miring dan alas yang rata), lonceng-lonceng tersebut dipandang sebagai representasi dari Buddha yang sedang duduk, dan diberi penghormatan yang sama; bagi mereka yang membunyikan lonceng terlebih dahulu dianjurkan membungkuk tiga kali di hadapan lonceng tersebut, seperti yang mereka lakukan di depan patung Buddha.[1]

Bunyi nyaring dari bonshō juga digunakan sebagai peringatan datangnya angin topan dan peringatan umum.[15] Karena bunyi lonceng kuil terdengar sampai jauh, lonceng tersebut juga terkadang digunakan untuk keperluan isyarat lainnya. Terdapat catatan bahwa bonshō digunakan untuk komunikasi militer sejak Perang Genpei (1180–1185 M). Versi yang lebih kecil digunakan untuk keperluan pertempuran karena lonceng kuil yang besar telalu keras dan berat untuk dibawa. Bonshō yang lebih kecil ini biasanya digunakan sebagai tanda bahaya untuk memperingatkan serangan musuh, yang mana perintah diberikan menggunakan drum dan keong.[16]

Sebagai bagian dari perayaan Tahun Baru Jepang, orang-orang mengantri untuk membunyikan lonceng kuil sebanyak 108 kali dalam sebuah upacara yang dikenal sebagai Joyanokane (除夜の鐘, Lonceng Tahun Baru); 108 bunyi lonceng memiliki makna untuk membersihkan umat manusia dari 108 cobaan duniawi.[17][18] Pada Festival Obon Buddha, jenis khusus dari bonshō yang disebut ōkubo-ōgane (大久保大鐘, lonceng berongga besar) dibunyikan. Lonceng tersebut digantung di atas sebuah sumur dan bunyi dari lonceng tersebut dipercaya bergema hingga ke alam baka melalui sumur tersebut untuk memanggil jiwa-jiwa yang telah meninggal. Pada akhir perayaan tersebut, bonshō lainnya, yang disebut okurikane (送り鐘, lonceng pengiriman kembali), dibunyikan untuk mengirim jiwa-jiwa ke alam mereka kembali sekaligus pertanda berakhirnya musim panas.[1][19]

Selama Perang Dunia II, permintaan logam untuk perang berdampak kepada banyaknya bonsho yang dilebur untuk diproses ulang menjadi peralatan perang. Akibatnya, lonceng-lonceng yang tersisa pascaperang umumnya dianggap sebagai artefak bersejarah yang penting. Lebih dari 70.000 lonceng (sekitar 90 persen dari seluruh bonshō yang ada pada saat itu) dihancurkan.[1][20] Tetapi, tingginya produksi lonceng selama periode pascaperang mengakibatkan jumlah lonceng kuil di Jepang pada tahun 1995 telah kembali pada tingkat sebelum perang.[3]

Pada paruh akhir abad ke-20, Asosiasi Lonceng Perdamaian Dunia didirikan di Jepang, dengan tujuan mendanai dan memasang lonceng-lonceng kuil yang ditempatkan di seluruh dunia sebagai simbol perdamaian.[21][22] Bonshō juga berperan dalam menanggapi bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami Tōhoku 2011; beberapa komunitas yang terkena dampaknya membunyikan lonceng untuk mengenang peristiwa tersebut.[3]

Terkadang Bonshō digunakan sebagai alat musik dalam komposisi modern. Rekaman suara lonceng kuil digunakan dalam Olympic Campanology karya Mayuzumi Toshiro,[23] yang digunakan untuk upacara pembukaan Olimpiade Tokyo 1964.[24] Komponis Jacob Druckman juga menggunakan lonceng kuil dalam sebuah penampilan karyanya yang berjudul Lamia, yang dibunyikan dengan ditempatkan di atas gendang belanga.[25] Komposer-komposer modern untuk perkusi terkadang menggunakan lonceng kuil untuk menggantikan bunyi dari tam-tam yang sekarang umum pada orkestra.[26]

Contoh terkenal

sunting

Bonshō tertua yang diketahui (bahkan diyakini sebagai lonceng tertua di dunia yang masih digunakan) adalah lonceng Okikicho di Myōshin-ji, yang dipasang pada tahun 698.[27] Bonshō terbesarnya adalah sebuah lonceng di Chion-in, yang dipasang pada tahun 1633 dan memiliki berat 74 ton. Tim berjumlah 25 orang diperlukan untuk membunyikan lonceng tersebut.[28]

 
Toyohara Chikanobu, Lonceng Raksasa, s. 1890. Tiga lapis ukiyo-e yang menggambarkan Benkei mencuri bonshō dari Mii-dera.

Pada abad ke-17, bonshō juga menjadi simbol kepemimpinan sebuah kuil. Adanya lonceng menandakan kepemilikan kuil tersebut. Karena hal ini, lonceng sering kali dicuri. Tokoh pahlawan dalam cerita rakyat, Benkei, diceritakan mencuri lonceng seberat tiga ton dengan cara diseret dari kuil Mii-dera ke atas Gunung Hiei pada saat mencurinya.[29][30][31]

Menurut legenda, lonceng tersebut tak dapat dibunyikan oleh Benkei. Akibatnya, lonceng tersebut ditendang oleh Benkei sampai kembali ke kuil Mii-dera. Lonceng tersebut pun dikatakan memiliki goresan yang parah akibat ditendang oleh Benkei. Lonceng tersebut masih disimpan di Mii-dera.[32]

Lonceng Benkei juga dikaitkan dengan pahlawan legendaris Tawara Tōda, yang pada awalnya menyumbangkan lonceng tersebut ke kuil Mii-dera. Ia memperoleh lonceng tersebut sebagai hadiah dari dewa naga Ryūjin setelah menyelamatkan dewa tersebut dari seekor lipan raksasa.[33]

 
"Kokka ankō"; inskripsi yang terdapat di lonceng Hōkō-ji

Setelah kuil Hōkō-ji terbakar pada permulaan abad ke-17, Toyotomi Hideyori memprakarsai rekonstruksi kuil itu pada tahun 1610 dan memasang sebuah lonceng besar sebagai bagian dari proses rekonstruksi. Inskripsi lonceng tersebut berisi kemarahan terhadap Tokugawa Ieyasu, yang menjadi shogun setelah menggulingkan kekuasaan dari klan Toyotomi ketika ayah Hideyori, Hideyoshi, meninggal. Inskripsi tersebut berisi karakter "Kokka ankō" (国家安康) ("Perdamaian dan ketenangan untuk negara"), dengan karakter untuk nama syogun (家康) dipisah dengan karakter kanji "perdamaian" (). Tokugawa menganggap Toyotomi menyiratkan bahwa perdamaian memerlukan "pemisahan bagian" dari Tokugawa. Oleh karena itu, ia kemudian menyatakan perang terhadap klan Toyotomi, dengan melancarkan Pengepungan Osaka, yang berujung pada pembasmian klan Toyotomi.[34][35][36]

Sebuah bonshō perunggu menjadi salah satu hadiah yang diberikan kepada Komodor Matthew Perry setelah ketibaannya di Jepang.[37] Lonceng tersebut dibuat oleh pembuat lonceng dari keluarga Suwa asal Provinsi Higo, sekarang disimpan dalam koleksi Institusi Smithsonian.[38]

Drama klasik Noh Dōjōji (道成寺), salah satu dari sedikit drama klasik Noh yang menampilkan properti berukuran besar, yang didasarkan pada sebuah legenda mengenai lonceng Dōjō-ji. Dalam cerita tersebut, seorang wanita bernama Kiyohime, yang menolak menjadi wanita simpanan dari seorang pendeta Buddha bernama Anchin, menjebak kekasihnya di dalam lonceng kuil tersebut dan kemudian membunuhnya dengan cara berubah menjadi ular, melilitkan dirinya di lonceng tersebut, dan memasaknya di dalam lonceng.[39]

Lonceng Kuil Nishi-Arai Daishi di Tokyo diturunkan pada tahun 1943, untuk dileburkan sebagai bahan baku peralatan perang Jepang. Kru USS Pasadena menemukannya di atas tumpukan sampah dan membawa lonceng itu ke Amerika Serikat sebagai trofi perang, kemudian disumbangkan ke kota Pasadena. Lonceng tersebut pada akhirnya dikembalikan ke Tokyo pada tahun 1955.[40] Sebuah cerita yang sama terjadi pada lonceng Manpuku-ji, yang dibawa ke Amerika Serikat di atas USS Boston setelah perang; namun dalam kasus ini, otoritas Sendai mengijinkan lonceng tersebut tetap berada di Boston sebagai simbol persahabatan antara kedua kota. Lonceng Boston merupakan bonshō Perang Dunia II terakhir di Amerika Serikat.[41]

Lonceng Perdamaian Jepang di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York disumbangkan oleh Jepang pada tahun 1954 sebagai sebuah simbol perdamaian dunia. Lonceng tersebut dibuat menggunakan logam dari berbagai macam koin dan medali yang diberikan oleh para penyumbang dari seluruh dunia.[42] Lonceng serupa yang mewakili komitmen terhadap perdamaian dunia dapat ditemukan di banyak wilayah sipil, termasuk Taman Monumen Perdamaian di Hiroshima.[43] Pada tahun 1995, kota Oak Ridge, Tennessee, mendirikan sebuah lonceng perdamaian seberat empat ton – sebuah replika dari salah satu lonceng-lonceng Hiroshima – di pusat kota sebagai bagian dari perayaan peringatan kelima puluhnya, dengan tanggal yang berkaitan dengan hubungan Oak Ridge dan Jepang (uranium yang digunakan dalam bom atom Hiroshima diproduksi di Oak Ridge).[44] Pada tahun 1998, seorang warga lokal menggugat pemerintah kota akibat keberadaan lonceng tersebut, menyebut bahwa lonceng tersebut merupakan sebuah lambang Buddha dan bertentangan dengan hukum setempat dan Konstitusi AS. Kasus tersebut dimenangkan oleh Kota Oak Ridge dan lonceng tersebut pun dipertahankan.[45]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h Gill, Steven Henry (Penulis); May, Julian (Produser) (07-03-2010). Heart & Soul: Japan's Buddhist temple bells (Dokumentasi radio). Jepang: BBC World Service. 
  2. ^ a b Onozuka, Masakazu (2012). "Tsurikane no O-hanashi" (PDF). IHI Gihō = Journal of IHI Technologies (dalam bahasa bahasa Jepang). 52 (3): 32–35. Diakses tanggal 01-10-2014. 
  3. ^ a b c Kazuyoshi, Harada (07-10-2013). "New Bells with an Age-old Sound: Oigo Seisakusho". Nippon.com (dalam bahasa bahasa Inggris). Diakses tanggal 02-09-2014. 
  4. ^ Smith, Cyril Stanley (17-04-1972). "Penrose Memorial Lecture. Metallurgical Footnotes to the History of Art". Proceedings of the American Philosophical Society. 116 (2): 109. doi:10.2307/986166. JSTOR 986166. 
  5. ^ a b c "The Ohjikicho Temple Bell (Myoshinji Temple, Kyoto) The Difference a Single Hz Can Make". The Japanese Craftsman. Murata Manufacturing Company. Diakses tanggal 16-05-2013. 
  6. ^ Smith, D. Ray (08-06-2008). "Oak Ridge International Friendship Bell – Part 1 of casting ceremony". The Oakridger. Diakses tanggal 16-05-2013. 
  7. ^ Frédéric, Louis (2002). Japan Encyclopedia. Harvard University Press. hlm. 81. ISBN 978-0-674-01753-5. 
  8. ^ "Buddhist Temples". Japan National Tourism Organization. Diakses tanggal 15-05-013. 
  9. ^ Berkley, Rebecca (2006). The Illustrated Complete Musical Instruments Handbook. Flame tree. hlm. 71. ISBN 978-1-84451-520-2. 
  10. ^ Starr, Laura B. (1896). "Japanese Metal Work". The Decorator and Furnisher. 27 (5): 140. doi:10.2307/25583310. JSTOR 25583310. 
  11. ^ "Human Hearing". New Technologies. Australian Bell. Diakses tanggal 02-09-2014. 
  12. ^ Tiemersma, Douwe; Oosterling, Henk (1996). Time and Temporality in Intercultural Perspective. Rodopi. hlm. 97. ISBN 90-5183-973-1. 
  13. ^ Malm, William P. (2000). Traditional Japanese Music and Musical Instruments: The New Edition. Kodansha International. hlm. 74. ISBN 978-4-7700-2395-7. 
  14. ^ "Bon-sho (Sacred Bell)". Byodo-in Temple. Diakses tanggal 15-05-2013. 
  15. ^ Price, Percival (1983). Bells and Man. Oxford University Press. hlm. 48. ISBN 978-0-19-318103-8. 
  16. ^ Turnbull, Stephen (20-06-2012). War in Japan 1467–1615. Osprey Publishing. hlm. 29. ISBN 978-1-78200-018-1. 
  17. ^ Baroni, Helen J. (2002). The Illustrated Encyclopedia of Zen Buddhism. The Rosen Publishing Group. hlm. 306. ISBN 978-0-8239-2240-6. 
  18. ^ "In with the New around the World". The Scotsman. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-09-21. Diakses tanggal 15-05-2013 – via HighBeam Research. ((Perlu berlangganan (help)). 
  19. ^ Horton, Sarah (2007). Living Buddhist Statues in Early Medieval and Modern Japan. Palgrave Macmillan. hlm. 132. ISBN 978-1-4039-6420-5. 
  20. ^ "What is a Bonsho(梵鐘 temple bell)? : Temples". Japan Two. JESTO Ltd. Diakses tanggal 15-05-2013. 
  21. ^ "Bells & Gongs for Peace (&/or International Friendship) Around the World". Peace Monuments Around the World. Diakses tanggal 16 Mei 2013. 
  22. ^ "About World Peace Bell". World Peace Bell Association. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-08-19. Diakses tanggal 19 Agustus 2014. 
  23. ^ 5. オリンピック・カンパノロジー/黛 敏郎 _ “Olympic Campanology” Toshiro Mayuzumi (dalam bahasa Inggris), diakses tanggal 2021-08-11 
  24. ^ Shimazu, Takehito (1994). "The History of Electronic and Computer Music in Japan: Significant Composers and Their Works". Leonardo Music Journal. 4: 103. doi:10.2307/1513190. JSTOR 1513190. 
  25. ^ Frank, Andrew (June 1982 volume=38). "Lamia, for Soprano and Orchestra by Jacob Druckman". Notes (4): 930. doi:10.2307/940004. JSTOR 940004. 
  26. ^ Beck, John H. (26 November 2013). Encyclopedia of Percussion. Routledge. hlm. 292. ISBN 978-1-317-74768-0. 
  27. ^ Rossing, Thomas (2000). Science of Percussion Instruments. World Scientific. hlm. 179. ISBN 978-981-02-4158-2. 
  28. ^ Hearn, Lafcadio. Lafcadio Hearn Glimpses of Unfamiliar Japan Vol 1. Brighthouse. hlm. 61 (footnote). GGKEY:94BGWZS0H8R. 
  29. ^ Beardsley, Richard King (1969). Studies in Japanese Culture. University of Michigan Press. hlm. 54–55. 
  30. ^ Namazu-e and Their Themes: An Interpretative Approach to Some Aspects of Japanese Folk Religion. Brill Archive. 1964. hlm. 172. 
  31. ^ Ashkenazi, Michael (2003). Handbook of Japanese Mythology. ABC-CLIO. hlm. 97. ISBN 978-1-57607-467-1. 
  32. ^ Michener, James Albert (1954). The Floating World. University of Hawaii Press. hlm. 292. ISBN 978-0-8248-0873-0. 
  33. ^ Ashkenazi, Michael (Januari 2003). Handbook of Japanese Mythology. ABC-CLIO. hlm. 270. ISBN 978-1-57607-467-1. 
  34. ^ Sadler, A L (7 September 2010). The Maker of Modern Japan: The Life of Tokugawa Ieyasu. Taylor & Francis. hlm. 273. ISBN 978-0-203-84508-0. 
  35. ^ Ponsonby-Fane, Richard A. B. (1966). Kyoto: The Old Capital of Japan, 794–1869. The Ponsonby Memorial Society. hlm. 292. 
  36. ^ Titsingh, Isaac (1834). Nipon o Daï Itsi Ran; ou, Annales des Empereurs du Japon. Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland. hlm. 410. 
  37. ^ Mansfield, Stephen (29 April 2009). Tokyo: A Cultural History. Oxford University Press. hlm. 82. ISBN 978-0-19-972965-4. 
  38. ^ Houchins, Chang Su (1995). "Artifacts of Diplomacy: Smithsonian Collections from Commodore Matthew Perry's Japan Expedition (1853–1854)" (PDF). Smithsonian Contributions to Anthropology (37): 111. Diakses tanggal 5 September 2014. 
  39. ^ Keene, Donald (1970). 20 Plays of the Nō Theatre. Columbia University Press. hlm. 238–252. ISBN 0-231-03455-5. 
  40. ^ "Big Buddhist Bell Back Home". LIFE. Time Inc: 87. 12 September 1955. ISSN 0024-3019. 
  41. ^ Crawford, Francine. "The Story of the Japanese Temple Bell in the Back Bay Fens". BackBay Patch. Diakses tanggal 17 Mei 2013. 
  42. ^ "Japanese Peace Bell". UN Tour. United Nations. Diakses tanggal 16 May 2013. 
  43. ^ Weinberg, Alvin M. (December 1993). "Chapters from the Life of a Technological Fixer". Minerva. 31 (4): 447–448. doi:10.1007/bf01096449. JSTOR 41820913. 
  44. ^ Weinberg, Alvin M. (December 1999). "Scientific Millenarianism". Proceedings of the American Philosophical Society. 143 (4): 534. JSTOR 3181986. 
  45. ^ Kiernan, Denise (11 March 2014). The Girls of Atomic City: The Untold Story of the Women Who Helped Win World War II. Simon and Schuster. hlm. 308. ISBN 978-1-4516-1753-5. 

Bacaan lanjutan

sunting
  • Fukui, Eiichi (2012). Hebi to onna to kane. Gihōdō Shuppan. ISBN 978-4765542456
  • Urai, Sachiko (2002). Edo no jikoku to toki no kane. Iwata Shoin. ISBN 4-87294-243-4
  • Kan, Kenei (2001). Richō no bi butsuga to bonshō. Akashi Shoten. ISBN 4-7503-1373-4
  • Kawabata, Sadasaburō (1984). Okayama bonsho. Nihon Bunkyo Shuppan. ISBN 4-8212-5112-4
  • Koizumi, Isao, Kazuyoshi Aoki (2001). Ōedo koedo kawagoe-ji no kane monogatari. Kodomo to Kyōiku-sha. ISBN 4-901313-04-5
  • Sakauchi, Seiichi (1999). Edo saisho no toki no kane monogatari. Ryūtsū Keizai Daigaku Shuppankai. ISBN 4-947553-12-X
  • Sasamoto, Shoji (1990). Chusei no oto, kinsei no oto. Meicho Shuppan. ISBN 4-626-01391-0
  • Tsuboi, Ryohei (1989). Bonsho to kokogaku. Bijinesu Kyoiku Shuppansha. ISBN 4-8283-0804-0
  • Tsuboi, Ryohei (1991). Bonsho no kenkyu. Bijinesu Kyoiku Shuppansha. ISBN 4-8283-0805-9
  • Tsuboi, Ryohei (1984). Rekishi kōkogaku no kenkyū. Bijinesu Kyoiku Shuppansha. ISBN 4-8283-8409-X
  • Nara National Research Institute for Cultural Properties (1993). Bonshō jissoku-zu shūsei. Bijinesu Kyoiku Shuppansha. ISBN 4-8283-0867-9
  • Hase, Susumu (2000). Kanchi. Noto Nakai Imonokan. ISBN 4-8330-1119-0
  • Manabe, Takashi, Kenjiro Hanafusa (2001). Edo Tōkyō bonshō meibun-shū. Bijinesu Kyoiku Shuppansha. ISBN 4-8283-0821-0
  • Yoshimura, Hiroshi (2002). Ōedo-ji no kane oto aruki. Shunjusha Publishing. ISBN 4-393-93474-1