Menginang

(Dialihkan dari Budaya nginang)

Menginang atau menyirih[1] adalah warisan budaya Indonesia yang dilakukan dengan mengunyah bahan-bahan bersirih seperti pinang, sirih, gambir, tembakau, kapur, cengkih.[2] Kebiasaan menginang telah berlangsung lama, yaitu lebih dari 3000 tahun yang lampau atau pada zaman Neolitik, hingga saat ini. Ada juga catatan para musafir Tiongkok yang mengungkapkan bahwa sirih dan pinang sudah dikonsumsi sejak dua abad sebelum Masehi. Sirih Pinang telah menjadi suatu simbol bagi masyarakat adat Melayu.[3] Hal ini dilihat dari tradisi lisan Melayu berupa sastra, misalnya: Sirih pembuka pintu rumah, Sirih pembuka pintu hati.[3] Bahan-bahan menginang adalah yang pertama disuguhkan bagi seluruh tamu yang hadir pada acara adat di sebagian besar wilayah Indonesia, seperti upacara pernikahan, kelahiran, kematian, penyembuhan, dan lain sebagainya.

Seorang wanita sedang menginang.

Asal usul tradisi bersirih

sunting

Tradisi bersirih tidak diketahui secara pasti berasal dari mana.[2] Dari cerita-cerita sastra, bersirih berasal dari India.[2] Namun, selain dari India, sirih telah dikenal oleh masyarakat Asia Tenggara, termasuk Malaysia, dan kemudian tradisi ini menyebar ke Indonesia.[4] Bukti Arkeologi bersirih tertua ditemukan di Gua Roh, Thailand.[4] Kebiasaan menginang telah dilakuan oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu, baik dari Sumatra (termasuk daerah Nias memiliki kebiasaan bersirih), Sulawesi, Maluku, maupun Papua.[4]

Fungsi menginang

sunting

Menginang sama halnya dengan merokok, minum teh dan kopi.[3] Awalnya orang menginang sebagai penyedap di mulut, tetapi lama-kelamaan menjadi kebiasaan yang menimbulkan kesenangan dan terasa nikmat sehingga sulit untuk dilepaskan.[3] Di samping untuk kenikmatan, menginang juga berfungsi sebagai aktivitas pengobatan merawat gigi.[3] Masyarakat Indonesia telah lama mengenal daun sirih sebagai bahan menginang dengan keyakinan bahwa menginang dapat menguatkan gigi, menyembuhkan luka di mulut, menghilangkan bau mulut, menghentikan pendarahan gusi, serta sebagai obat kumur.[4] Fungsi menginang juga sebagai tata pergaulan dan tata nilai kemasyarakatan.[3] Misalnya, bahan-bahan menginang dijadikan hidangan penghormatan untuk tamu, dan sebagai alat pengikat dalam pertunangan sebelum menikah.[3] Menginang juga digunakan sebagai sesaji yang digunakan dalam upacara adat istiadat dan upacara kepercayaan atau religi.[3]

Filosofi

sunting
 
Piring berisi pinang, sirih, dan kapur.
 
seorang ibu-ibu tua sedang menyirih atau nginang.

Selain sebagai simbol sosial dan adat, sirih, pinang, dan bahan-bahan lainnya memiliki makna-makna tertentu:

  1. Sirih
    Sirih menyimbolkan sifat rendah hati dan memuliakan orang lain, sebab pohon sirih memerlukan sandaran untuk hidup tanpa merusak.
  2. Pinang
    Pinang melambangkan keturunan yang baik, karena dilihat dari pohonnya yang menjulang ke atas, serta ada harapan mendapatkan keturunan yang baik dan sukses.
  3. Kapur
    Kapur melambangkan keturunan yang baik.
  4. Kapur dan Tembakau
    Kapur dan Tembakau melambangkan hati yang tabah dan rela berkorban demi orang lain.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Manfaat dan Bahaya Menyirih Bagi Kesehatan". Hello Sehat. 2017-01-17. Diakses tanggal 2021-12-18. 
  2. ^ a b c "Tradisi Bersirih dan Nilai Budayanya". MelayuOnline.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-05. Diakses tanggal 5 Mei 2014.21.05. 
  3. ^ a b c d e f g h "Menginang adalah". Academia.edu. Diakses tanggal 13 Mei 2014.24.00. 
  4. ^ a b c d "Menginang" (PDF). Maranatha.edu. Diakses tanggal 13 Mei 2014.24.00.