Marapalam adalah nama bukit yang menjulang setinggi 1.175 meter di bagian selatan Gunung Sago, lebih kurang 12 km timur laut Fort Van der Capellen (sekarang Batusangkar), Sumatera Barat, Indonesia. Di sini, terdapat sebuah dusun yang bernama sama. Di kaki bukit ini, antara lembah Batang Selo dan Batang Sinamar, dulunya terdapat jalan penghubung dari Fort Van der Capellen menuju Lintau yang hanya dapat ditempuh berjalan kaki.[1][2]

Sejarah sunting

Pra-Islam sunting

Jalan penghubung di kaki bukit Marapalam sangat penting pada abad ke-14, ketika Tanjuang merupakan daerah berpengaruh. Sebelum pemerintah Belanda membuat Lintau dan Buo dapat diakses melalui jalan raya, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh dari Fort Van der Capellen yakni melewati Marapalam.[1] Daerah di sebelah utara Buo di tepi Sinamar sampai ke Tanjung di seberang Marapalam disebut dalam Nagarakertagama (1365) sebagai berisi upeti dua negara untuk Majapahit. Christine Dobbin menduga daerah ini terkait dengan negara baru yang didirikan Adityawarman, dan tidak dapat diragukan bahwa ia dan pengikutnya melewati tempat ini dalam perjalanan mereka ke Tanah Datar dan Tepi Selo.[3]

Ketika pecah perang saudara sesudah wafatnya Adityawarman, tampaknya keluarga raja pindah ke daerah ini dan lambat laun memantapkan kedudukannya sebagai mitra dagang Malaka. Anggota-anggota keluarga menetap di berbagai tempat di lembah-lembah Sinamar dan Sumpur, termasuk Buo di tepi Sinamar, Sumpur Kudus di tepi Sumpur, serta tempat yang dulu menjadi pusat Pagaruyung[4] bernama Kumani (di sini dulunya Batang Sinamar bisa dilayari perahu dagang yang ke Inderagiri). Pada waktu tinggal di sinilah keluarga raja berhubungan dengan pedagang Muslim dan pikiran Islam, dan pada akhir abad ke-16 secara bertahap mereka menjadi Islam.[3] Berkembangnya ide Islam di daerah pedalaman merupakan sebuah kontribusi dari perdagangan emas yang menjadi komoditas utama kerajaan-kerajaan Islam seperti Malaka.

Pada suatu ketika fungsi kerajaan dibagikan kepada tiga anggota keluarga yang disebut Rajo Tigo Selo, terdiri dari Raja Ibadat yang paling dekat dengan dunia dagang di selat di Sumpur Kudus, Raja Adat di Buo, dan Raja Alam di Pagaruyung. Sumpur Kudus mungkin yang paling awal memeluk agama Islam, karena adanya Sungai Kampar dan Inderagiri yang ramai untuk perdagangan. Daerah ini diberi julukan Makah Darek yang menjadi tempat mukim keluarga kerajaan; mereka memiliki andil menyebarkan Islam ke daerah pedalaman.

Perang Padri sunting

Sewaktu Perang Padri, Marapalam merupakan basis pertahanan Kaum Padri yang sulit ditaklukan Belanda. Pada 1823, Letnan Kolonel Antoine Theodore Raaff menyerang pimpinan Padri yang terkenal bernama Tuanku Pasaman di Lintau melewati Marapalam. Pertempuran terjadi di Marapalam pada 14–17 April 1823 dan Padri berhasil memukul pasukan Raff.[5] Belakangan, pemerintah kolonial Belanda membuat jalan lain yang lebih besar dan tidak begitu sulit. Letak dusun Marapalam sendiri dengan bukit-bukit yang sulit didaki, lembah-lembah penuh ranjau, pertahanan yang berlapis-lapis, menyebabkan tiap serangan Belanda selalu kandas dan dipaksa mundur dengan korban cukup besar.[1]

Setelah perjanjian tidak akan serang-menyerang antara Kaum Padri dan Belanda ditandatangani pada 15 November 1825, pertahanan Kaum Padri yang tadinya sangat kuat di Marapalam, tidak begitu dijaga lagi dan tidak diteruskan memperkuatnya, malah disia-siakan. Muhamad Radjab menulis, Kaum Padri menyangka bahwa Belanda tidak akan menyerang Marapalam karena kegagalan mereka pada 1823. Kubu pertahanan Padri di Marapalam dibiarkan telantar dan tidak dijaga seperti biasa. Sementara itu, Residen Elout berpendapat bahwa Marapalam merupakan kunci untuk membuka jalan di Lintau sehingga Kaum Padri di sana harus ditaklukkan. Marapalam harus disergap dengan diam-diam.[6]

Pada dini hari 6 Agustus 1831, seratus serdadu Belanda yang bersenjata lengkap di bawah komando Kapten de Quay dan Veltman diam-diam mendekati kubu pertahanan Marapalam. Muhamad Radjab menulis, hanya dua atau tiga Padri yang sedang berjaga di kubu pertahana dan mereka dalam tengah nyenyak tidur. Sergapan yang tidak disangka-sangka ini mengejutkan dan membingungkan mereka sehingga mereka cepat-cepat lari dan meninggalkan senjata. Kaum Padri menganggap serangan ini sebagai pelanggaran dan pengkhianatan atas perjanjian damai tanggal 15 November 1825. Namun, Belanda memandang tindakan mereka sudah sepantasnya.[6]

Setelah Marapalam jatuh, komandan tentara Belanda memajukan garis pertahanannya ke depan, sampai ke lereng Bukit Barisan yang di sebelah timurnya terbentang daerah Lintau.[6]

Lihat pula sunting

Catatan kaki sunting

Rujukan sunting

Daftar pustaka sunting