Hipotesis Bumi Bola Salju merupakan hipotesis yang memperkirakan bahwa permukaan Bumi pernah beku sepenuhnya sekitar 650 juta tahun yang lalu. Pendukung hipotesis ini menyatakan bahwa penjelasan yang ditawarkan hipotesis Bumi Bola Salju mampu menjawab pertanyaan mengenai keberadaan endapan sedimen yang sifatnya glasial di lintang purba, sementara penentang hipotesis ini menolak simpulan yang ditarik dari bukti tersebut dan mempertanyakan kemungkinan terjadinya peristiwa ini.[1][2] Ada beberapa pertanyaan yang belum dijawab, seperti apakah Bumi sepenuhnya terlapisi oleh salju, atau hanya sebagian dan ada bagian kecil yang tetap cair (atau cair musiman).

Sejarah

sunting

Douglas Mawson (1882–1958), seorang geolog asal Australia dan penjelajah Antartika, meluangkan banyak waktu kariernya mempelajari stratigrafi Neoproterozoik Australia Selatan ketika ia mengidentifikasi sedimen glasial atau es yang tebal dan ektensif, sehingga pada akhir kariernya berspekulasi kemungkinan adanya glasiasi global.[3]

Ide Mawson mengenai glasiasi global dianggap merupakan asumsi keliru bahwa posisi geografi Australia, dan benua lain di mana deposit glasial ketinggian rendah (low-latitude glacial deposit) ditemukan, terus konstan sepanjang waktu. Dengan munculnya hipotesis pergeseran kontinental, dan kemudian teori lempek tektonik, tampaknya dapat dijelaskan bahwa sedimen glasiogenik itu terbentuk ketika benua berada pada ketinggian lebih tinggi.

Pada tahun 1964, ide glasiasi skala global ini muncul lagi ketika W. Brian Harland menerbitkan makalah tentang data palaeomagnetik menunjukkan bahwa pengungkitan (till) glasias di Svalbard dan Greenland didepositkan pada latitude tropis.[4] Dari data palaeomagnetik ini dan bukti sedimentologi bahwa sedimen glasial memutus kelanjutan lapisan batu-batuan yang biasanya dikaitkan dengan latitude tropis dan temperat, ia berargumen adanya suatu zaman es yang sangat ekstrem sehingga menghasilkan deposisi batu glasial lain pada daerah tropis.

Pada tahun 1960-an, Mikhail Budyko, seorang ahli klimatologi asal Rusia, mengembangkan model iklim keseimbangan energi sederhana untuk meneliti efek tutupan es pada iklim global. Dengan model ini Budyko menemukan bahwa jika lapisan es menjalar cukup jauh dari daerah kutub, maka ada lingkaran reaksi balik di mana peningkatan reflektif (albedo) es akan membawa pendinginan lebih lanjut dan pembentukan semakin banyak es, sehingga seluruh bumi tertutup es dan mencapai keseimbangan dalam suatu ekuilibrium baru yang stabil dalam keadaan ditutup oleh es.[5] Model Budyko menunjukkan bahwa ice-albedo stability ini dapat terjadi, tetapi ia menyimpulkan hal ini tidak mungkin pernah terjadi karena modelnya tidak memberikan jalan keluar skenario itu.

Istilah "Bumi bola salju" ("snowball Earth") diberikan oleh Joseph Kirschvink, seorang profesor geobiologi pada California Institute of Technology, dalam makalah pendek yang diterbitkan tahun 1992 dalam volume panjang mengenai biologi dalam eon Proterozoic.[6] Kontribusi utama dalam karya ini adalah: (1) pengenalan adanya formasi besi berbalut (banded iron formation) yang konsisten dengan episode glasial semacam itu dan (2) perkenalan mekanisme untuk lepas dari bumi yang tertutup es, akumulasi CO2 dari keluarnya gas vulkanik yang menyebabkan efek ultra-greenhouse.

Penemuan Franklyn Van Houten akan pola geologi konsisten di mana ketinggian danau naik dan turun sekarang dikenal sebagai "Van Houten cycle." Studinya mengenai deposit fosfor dan banded iron formations dalam sedimen membuatnya pendukung awal hipotesis "snowball Earth" dengan postulasi bahwa permukaan planet beku lebih dari 650 juta tahun lalu.[7]

Ketertarikan akan "bumi bola salju" meningkat pesat setelah Paul F. Hoffman, profesor geologi pada Harvard University, dan rekan-rekan pengarang menerapkan ide Kirschvink pada kelanjutan sedimen Neoproterozoic di Namibia, menjabarkan hipotesis ini dengan memasukkan pengamatan seperti terbentuknya cap carbonate, dan menerbitkan hasil mereka pada jurnal Science pada tahun 1998.[8]

Saat ini, aspek-aspek hipotesis ini masih diperdebatkan, terutama di dalam lingkungan International Geoscience Programme (IGCP) Project 512: Neoproterozoic Ice Ages.[9]

Pada bulan Maret 2010, jurnal Science menerbitkan artikel berjudul "Calibrating the Cryogenian" yang menyimpulkan bahwa "Maka es terdampar di bawah permukaan laut pada paleolatitude sangat rendah, yang meyiratkan bahwa glasiasi Sturtian berjangkauan global".[10] Suatu penjelasan populer kesimpulan ini diterbitkan dalam Science Daily.[11]

Hipotesis bumi bola salju asalnya dilontarkan untuk menjelaskan keberadaan nyata glasier pada latitude tropis.[12] Model yang ada menunjukkan bahwa suatu kali glasier itu menyebar sampai 30° jaraknya dari kathulistiwa, suatu umpan balik es-albedo akan menghasilkan es yang dengan cepat merambah ke arah kathulistiwa[13] (model yang berikutnya menunjukkan bahwa es itu bahkan mendekat sampai 25° atau kurang dari kathulistiwa tanpa memulai glasiasi total[14]). Jadi, kehadiran deposit glasial dekat dengan wilayah tropis tampaknya menunjuk kepada penutupan es global.

Palaeomagnetisme

sunting

Mengingat plat tektonik bergerak setiap saat, penentuan posisinya pada suatu waktu dalam sejarah tidaklah mudah. Selain pertimbangan bagaimana daratan dapat cocok merapat, latitude deposit batu-batuan dapat dibatasi oleh palaeomagnetisme. Ketika batuan sedimentari terbentuk, mineral bermagnet di dalamnya cenderung menyesuaikan diri dengan medan magnet bumi. Melalui pengukuran cermat palaeomagnetisme, dimungkinkan untuk memperkirakan latitude (tapi longitude tidak) di mana matriks batuan itu didepositkan. Pengukuran paleomagnet mengindikasikan bahwa sejumlah sedimen glasial pada catatan batuan era Neoproterozoic didepositkan di dalam jangkauan 10 derajat dari kathulistiwa,[15] meskipun keakurasian rekonstruksi ini masih dipertanyakan.[16] Lokasi palaeomagnet sedimen glasial ini (misalnya dropstone) menunjukkan bahwa glasier menyebar sampai permukaan laut pada latitude tropis. Tidak jelas apakah dapat disiratkan adanya glasiasi global, atau keberadaan wilayah glasial yang terlokalisasi atau terkurung daratan.[17]

Ada satu deposit, Elatina di Australia, yang jelas didepositkan pada latitude rendah; tarikhnya sungguh terbataas, dan signalnya benar-benar asli.[18]

Deposit glasial latitude rendah

sunting
 
Diamictite dari Neoproterozoic Pocatello Formation, suatu deposit berjenis 'snowball Earth'
 
Elatina Fm diamictite di bawah situs Ediacaran GSSP pada Flinders Ranges NP, South Australia. Koin A$1 untuk skala.

Batuan sedimentari yang didepositkan oleh glasier mempunyai ciri khas sehingga dapat diidentifikasi. Jauh sebelum munculnya hipotesis snowball Earth banyak sedimen Neoproterozoic telah ditafsirkan mempunyai suatu asal mula glasial, termasuk beberapa yang berada pada latitude tropis pada waktu deposisinya. Namun, perlu diingat bahwa banyak ciri sedimentari yang secara tradisional dikaitkan dengan glasier dapat pula dibentuk dengan cara lain.[19]

Rasio isotop karbon

sunting

Ada dua isotop karbon stabil di air laut: karbon-12 (12C) dan karbon-13 (13C) yang jarang ada, keseluruhan membentuk 1.109 persen atom karbon. Proses biokimia, di antaranya fotosintesis, cenderung memilih melibatkan isotop 12C yang lebih ringan. Jadi pelaku fotosintesis di lautan, baik protista dan algae, cenderung kekurangan 13C, relatif terhadap yang banyak ditemukan di sumber vulkanik primer untuk karbon di bumi. Maka, suatu lautan dengan kehidupan fotosintesis akan mengandung rasio 13C/12C yang lebih kecil dalam bekas-bekas organik, terutama dibandingkan dengan air laut. Komponen organik sedimen membatu (lithified sediment) akan selamanya sedikit, tetapi terukur, kekurangan 13C.

Selama peristiwa bumi bola salju, ditemukan ekskursi cepat dan sangat negatif pada rasio 13C to 12C.[20] Ini konsisten dengan kebekuan dalam yang membunuh semua atau hampir semua kehidupan fotosintesis – meskipun mekanisme lain, misalnya pelepasan clathrate, dapat pula menyebabkan gangguan semacam itu. Analisis cermat mengenai waktu lonjakan 13C pada deposit di seluruh dunia menunjukkan adanya empat, mungkin lima, peristiwa glasial pada akhir zaman Neoproterozoic.[21]

Formasi besi berbalut

sunting
 
2.1 billion year old rock with black-band ironstone

Formasi besi berbalut (Banded iron formations; BIF) adalah batuan sedimentari yang terdiri dari lembaran besi oksida dan chert yang kekurangan zat besi. Dengan adanya oksigen, besi secara alamiah mengalami perkaratan dan menjadi tidak larut dalam air. Formasi besi berbalut umumnya sangat tua dan deposisi yang sering dikaitkan dengan oksidasi atmosfer bumi pada era Paleoproterozoic, ketika besi yang larut di dalam lautan berkontak dengan oksigen yang dihasilkan dari fotosintesis dan mengendap sebagai besi oksida.

Balutan-balutan ini dihasilkan pada tipping point antara anoxic dan lautan yang beroksigen. Karena atmosfer saat ini kaya akan oksigen (hampir 21 persen volume) dan berkontak dengan lautan, tidak mungkin untuk mengakumulasi cukup besi oksida untuk dideposisi dalam formasi berbalut. Satu-satunya pembentukan ekstensif besi yang didepositkan setelah era Paleoproterozoic (setelah 1,8 miliar tahun lalu) dikatikan dengan deposit glasial Cryogenian.

Untuk mendepositkan batuan kaya zat besi semacam itu harus ada keadaan anoxia di lautan, sehingga besi yang larut (sebagai ferrous oxide) dapat terakumulasi sebelum berkontak dengan oksidan yang akan mengendapkannya sebagai ferric oxide. Supaya lautan menjadi anoxik maka harus terjadi pembatasan pertukaran gas dengan atmosfer yang mengandung oksigen. Pendukung hipotesis ini berargumen bahwa kemunculan kembali BIF pada batuan sedimentari adalah hasil dari terbatasnya kadar oksigen di dalam laut yang tertutup oleh es di laut,[6] sementara para penentang berpendapat bahwa jarangnya deposit BIF mengindikasikan pembentukan di laut yang ada di daratan.

Linimasa

sunting
Paleoproterozoikum
Glasiasi Huron 2,400 – 2,100 jtl
Neoproterozoikum
Glasiasi Kaigas 825 – 730 jtl
Glasiasi Sturtian 720 – 635 jtl
Glasiasi Marinoan 650 – 635 jtl

Referensi

sunting
  1. ^ Kirschvink, J.L. (1992). "Late Proterozoic low-latitude global glaciation: The snowball Earth". Dalam Schopf, JW, and Klein, C. The Proterozoic Biosphere: A Multidisciplinary Study (PDF). Cambridge University Press. hlm. 51–2. 
  2. ^ Allen, Philip A.; Etienne, James L. (2008). "Sedimentary challenge to Snowball Earth". Nature Geoscience. 1 (12): 817. doi:10.1038/ngeo355. 
  3. ^ DOI:10.1098/rsbm.1960.0011
    Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual
  4. ^ W. B. Harland (1964). "Critical evidence for a great infra-Cambrian glaciation". International Journal of Earth Sciences. 54 (1): 45–61. Bibcode:1964GeoRu..54...45H. doi:10.1007/BF01821169. 
  5. ^ M.I. Budyko (1969). "Effect of solar radiation variation on climate of Earth". Tellus A. 21 (5): 611–1969. doi:10.1111/j.2153-3490.1969.tb00466.x. 
  6. ^ a b Kirschvink, Joseph (1992). "Late Proterozoic low-latitude global glaciation: the Snowball Earth". Dalam J. W. Schopf; C. Klein. The Proterozoic Biosphere: A Multidisciplinary Study. Cambridge University Press. 
  7. ^ Princeton University - Franklyn Van Houten, expert on sedimentary rocks, dies at 96
  8. ^ DOI:10.1126/science.281.5381.1342 10.1126/science.281.5381.1342
    Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual
  9. ^ Detailed information on International Geoscience Programme (IGCP) Project 512: Neoproterozoic Ice Ages can be found at http://www.igcp512.com/ Diarsipkan 2007-04-22 di Wayback Machine.
  10. ^ Calibrating the Cryogenian, Abstract only: "Ice ... implies that the Sturtian glaciation was global in extent". 5 March 2010.
  11. ^ Snowball Earth: New Evidence Hints at Global Glaciation 716.5 Million Years Ago Geologists have found evidence that sea ice extended to the equator 716.5 million years ago. 5 March 2010.
  12. ^ Harland, W.B. (1964). "Critical evidence for a great infra-Cambrian glaciation" (PDF). International Journal of Earth Sciences. 54 (1): 45–61. Bibcode:1964GeoRu..54...45H. doi:10.1007/BF01821169. Diakses tanggal 11 March 2008. [pranala nonaktif permanen]
  13. ^ Budyko, M.I. (1969). "The effect of solar radiation variations on the climate of the earth". Tellus. 21 (5): 611–9. doi:10.1111/j.2153-3490.1969.tb00466.x. 
  14. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Meert1994pm
  15. ^ D.A.D. Evans (2000). "Stratigraphic, geochronological, and palaeomagnetic constraints upon the Neoproterozoic climatic paradox". American Journal of Science. 300 (5): 347–433. doi:10.2475/ajs.300.5.347. 
  16. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Eyles2004
  17. ^ Young, G.M. (1 February 1995). "Are Neoproterozoic glacial deposits preserved on the margins of Laurentia related to the fragmentation of two supercontinents?". Geology. 23 (2): 153–6. Bibcode:1995Geo....23..153Y. doi:10.1130/0091-7613(1995)023<0153:ANGDPO>2.3.CO;2. Diakses tanggal 27 April 2007. 
  18. ^ Sohl, L.E. (1999). "Paleomagnetic polarity reversals in Marinoan (ca. 600 Ma) glacial deposits of Australia; implications for the duration of low-latitude glaciation in Neoproterozoic time". Bulletin of the Geological Society of America. 111 (8): 1120–39. Bibcode:1999GSAB..111.1120S. doi:10.1130/0016-7606(1999)111<1120:PPRIMC>2.3.CO;2. Diakses tanggal 11 March 2008. 
  19. ^ Arnaud, E. (2002). "Glacial influence on Neoproterozoic sedimentation: the Smalfjord Formation, northern Norway". Sedimentology. 49 (4): 765–88. doi:10.1046/j.1365-3091.2002.00466.x. 
  20. ^ D.H. Rothman; J.M. Hayes; R.E. Summons (2003). "Dynamics of the Neoproterozoic carbon cycle". Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 100 (14): 124–9. Bibcode:2003PNAS..100.8124R. doi:10.1073/pnas.0832439100. PMC 166193 . PMID 12824461. 
  21. ^ Kaufman, Alan J. (24 June 1997). "Isotopes, ice ages, and terminal Proterozoic earth history". Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 94 (13): 6600–5. Bibcode:1997PNAS...94.6600K. doi:10.1073/pnas.94.13.6600. PMC 21204 . PMID 11038552. Diakses tanggal 6 May 2007.