Choe Yeong
Choe Yeong (Hanzi: 崔荣, Hangul: 최영, 1316-1388) adalah seorang jenderal Korea pada zaman Dinasti Goryeo yang berjasa mempertahankan negaranya dari serbuan bajak laut Jepang dan mengusir pasukan Mongol.
Kehidupan awal
suntingChoe dilahirkan di Cheorwon, Provinsi Gangwon dari keluarga yang cukup mampu yang awalnya miskin sehingga membentuk karakternya yang militan. Dia tidak terlalu memperhatikan mengenai pakaian dan makanannya, dia menghindari kesenangan-kesenangan duniawi bahkan setelah menjadi pejabat dan mampu menikmatinya. Ia tidak senang pada orang yang menyukai barang mewah dan memandang kesederhanaan sebagai suatu kebajikan. Moto hidupnya yang diwarisi dari ayahnya adalah, “pandanglah emas sebagai batu”
Karier militer
suntingDengan karakter demikian, Choe sangat cocok masuk militer, ia dengan cepat mendapat kepercayaan dari bawahan dan rajanya dalam sejumlah pertempuran melawan bajak laut Jepang yang menghantui semenanjung Korea pada tahun 1350an.
Pada usia 36 tahun, ia telah menjadi pahlawan nasional berkat jasanya memadamkan pemberontakan Cho Il-shin yang sebelumnya mengepung dan menerobos istana kerajaan, membunuh beberapa pejabat dan mengangkat diri sebagai raja Cho. Pada tahun 1335, di Tiongkok meletus Pemberontakan Serban Merah melawan Dinasti Yuan, Mongol yang saat itu menguasai Tiongkok. Karena menjadi negara vassal Yuan sejak abad 13, maka Goryeo berkewajiban mengirim bala bantuan untuk membantu Mongol memadamkan pemberontakan tersebut. Kesuksesannya dalam lebih dari tigapuluh pertempuran membuat popularitasnya menanjak. Sekembalinya ke Korea, ia melaporkan pada Raja Gongmin mengenai situasi dalam negeri Tiongkok dimana Dinasti Yuan mulai goyah, sehingga Raja Gongmin berpikir itulah saat yang tepat untuk merebut kembali beberapa wilayah di utara yang dulu diduduki Mongol. Choe pun diperintahkan memimpin pasukannya dan berhasil merebut banyak kota di bagian barat Sungai Yalu.
Choe sempat menjabat sebagai wali kota Pyongyang untuk waktu singkat. Selama masa itu ia meningkatkan produksi panen dan meringankan penderitaan korban kelaparan sehingga makin disanjung sebagai pahlawan nasional. Tahun 1363, ia sekali lagi unjuk gigi ketika seorang menteri yang berkuasa bernama Kim Yon-an bermaksud menggulingkan pemerintah. Choe menghimpun pasukannya dan mengalahkan 10.000 pasukan Mongol yang masuk ke wilayah Goryeo dan mendukung pemberontakan itu.
Pengkhianatan dan penyelamatan
suntingSetelah bermimpi seorang biksu akan menyelamatkan hidupnya, Raja Gongmin mempromosikan seorang biksu bernama Shin Ton dengan jabatan tinggi dalam pemerintahannya dan memberikan kepercayaan besar padanya. Pada mulanya, Shin memang bekerja keras meningkatkan taraf hidup petani dan mendapat tentangan dari banyak pejabat. Namun dengan dukungan raja, dia menjadi semakin sewenang-wenang dan korup. Choe yang anti korupsi akhirnya menjadi musuh dengannya. Belakangan Shin memfitnah Choe sehingga dibuang ke pengasingan selama enam tahun bahkan hampir dihukum mati. Setelah kematian Shin Ton, Choe dipulihkan ke jabatannya semula dan mendapat perintah untuk mempersiapkan pasukan guna melawan bajak laut Jepang dan sisa-sisa pasukan Mongol di Pulau Jeju. Mula-mula ia berhadapan Mongol, setelah bertempur dengan sengit akhirnya ia berhasil membebaskan pulau itu. Tahun 1376, bajak laut Jepang memasuki wilayah Goryeo dan mencaplok kota Gongju. Chong Mong-Chu mendapat bantuan dari pihak keshogunan Jepang untuk memberantas bajak laut, tetapi bantuan itu tidak terlalu berarti. Dengan ditemukannya bubuk mesiu oleh ilmuwan Choi Mu-Seon, Choe dan bawahannya, Yi Seonggye berhasil mengalahkan para bajak laut dan merebut kembali Gongju.
Tahun-tahun terakhir
suntingPada pertengahan abad-14, Dinasti Ming menguasai Tiongkok setelah meruntuhkan Dinasti Yuan. Pasukan Ming menduduki Manchuria dan bagian timur laut Goryeo. Tahun 1388, Jenderal Yi Songgye diperintahkan untuk mengusir pasukan Ming dari semenanjung Korea dan menginvasi Liaodong. Namun, Yi yang telah mendapat dukungan dari pejabat-pejabat tinggi dan rakyat malah mundur ke ibu kota, Kaesong, dan mengadakan kudeta. Insiden ini dikenal dengan nama Pengunduran Wihwado (위화도 회군) dan menjadi tanda-tanda awal pergantian dinasti.
Ketika Yi kembali ke ibu kota, Choe melawannya dengan gagah berani, tetapi kekuatannya kalah jumlah oleh Yi. Ada beberapa versi mengenai apa yang terjadi selanjutnya. Yang paling diyakini kebenaranya adalah setelah kekalahannya Choe diasingkan ke Goyang dimana tak lama kemudian dihukum mati oleh Yi yang telah menjadi raja. Sebelum dipancung, ia mengatakan bahwa di makamnya tidak akan pernah tumbuh rumput karena kematiannya yang tidak adil. Uniknya, memang rumput benar-benar tidak pernah tumbuh di makamnya. Makam itu dikenal dengan nama jeokbun (적분), yang berarti kuburan merah, karena tanahnya yang berwarna merah. Baru pada tahun 1979, pucuk rumput pertama tumbuh di makam itu.
Ada beberapa penilaian mengenai Choe Yeong, ada yang menganggapnya jenderal besar yang telah mendedikasikan segenap hidupnya untuk mempertahankan negara, ada juga yang mengangapnya sebagai tiran konservatif yang menyabot pemerintahan. Namun bagaimanapun ia adalah seorang yang telah membaktikan hidupnya bagi Goryeo dengan kesetiaan penuh yang bahkan harus dibayar dengan nyawanya.