Oemar Said Tjokroaminoto

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan Indonesia
(Dialihkan dari Cokroaminoto)

Raden Mas Haji Oemar Said Tjokroaminoto (Ponorogo, 16 Agustus 1882 – 17 Desember 1934),[2] lebih dikenal di Indonesia sebagai H.O.S. Tjokroaminoto, adalah seorang nasionalis Indonesia. Ia menjadi salah satu pemimpin Sarekat Dagang Islam, yang didirikan oleh Samanhudi, yang menjadi Sarekat Islam, yang mereka dirikan bersama.[3][4]

Oemar Said Cokroaminoto
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto
Lahir(1883-08-16)16 Agustus 1883
Ponorogo, Hindia Belanda
Meninggal17 Desember 1934(1934-12-17) (umur 51)
Yogyakarta, Hindia Belanda
AlmamaterOpleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren
PekerjaanPendiri sekaligus ketua pertama organisasi Sarekat Islam, guru Soekarno, Semaoen, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Alimin, Musso, dan Tan Malaka
Partai politikPSII
Suami/istriSuharsikin
AnakSiti Oetari
Oetarjo Anwar Tjokroaminoto
Harsono Tjokroaminoto
Siti Islamiyah
Ahmad Suyud
KerabatSoekarno (Murid dan mantan menantu)
R.M. Tjokroamiseno (Ayah)
Warok R.M. Adipati Tjokronegoro (Kakek)
R.M Mangoensoemo (Mertua)
Abikoesno Tjokrosoejoso (Adik)
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (Murid)
Musso (Murid)
Semaoen (Murid)
Aulia Tahkim
Maia Estianty (Cicit)
Kyai Ageng Kasan Besari II (Buyut)
Pakubuwono III (Wareng)
Raden Mas Oemar Djaman Tjokroprawiro, Raden Ayu Tjokrodisoerjo, Raden Mas Poerwadi Tjokrosoedirjo, Raden Mas Oemar Sabib Tjokrosoeprodjo, Raden Ajeng Adiati, Raden Ayu Mamowinoto, Raden Mas AbikoesnoTjokrosoejoso, Raden Ajeng Istingatin, Raden Mas Poewoto, Raden Adjeng Istidja Tjokrosoedarmo, Raden Aju Istirah Mohammad Soebari (Saudara)[1]

Kehidupan pribadi

sunting

Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat wedana Kleco, Magetan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo, Mertuanya adalah R.M. Mangoensoemo yang merupakan wakil bupati Ponorogo. Beliau adalah keturunan langsung dari Kiai Ageng Hasan Besari dari Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo[1]

Setelah lulus dari sekolah rendah, ia melanjutkan pendidikannya di sekolah pamong praja Opleiding School voor Inlandsche Ambtrnaren (OSVIA) di Magelang. Setelah lulus, ia bekerja sebagai juru tulis patih di Ngawi. Tiga tahun kemudian, ia berhenti. Tjokromaninoto pindah dan menetap di Surabaya pada 1906. Di Surabaya, ia bekerja sebagai juru tulis di firma Inggris Kooy & Co dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kejuruan Burgerlijk Avondschool, jurusan Teknik Mesin.[5]

Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan. Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno. Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, S.M. Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangun dan tertawa menyaksikannya.[6]

Pembentukan serikat Islam

sunting

Sarekat Dagang Islam

sunting

Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) atau Serikat Buruh Islam, pada akhir tahun 1905, di Surakarta. Tjokroaminoto diminta menyiapkan peraturan yang diperlukan organisasi dan menangani kepengurusannya. Akta tersebut dibuat dan disahkan di Notaris di Surabaya pada tanggal 10 September 1906.

Sarekat Islam

sunting

Atas saran Tjokroaminoto, kata perdagangan dalam nama organisasi tersebut dihapus dan SDI menjadi Sarekat Islam (SI) atau Persatuan Islam. Ketuanya adalah H. Samanhudi, sedangkan Tjokroaminoto menjadi ketuanya. Beberapa hari kemudian, undang-undangnya dikirim ke Gubernur Jenderal untuk disahkan menjadi lembaga hukum.

Sebuah komite pusat dibentuk dengan Samanhudi sebagai ketua dan Tjokroaminoto sebagai wakil ketua. Dalam menjelaskan tujuan organisasinya, Tjokroaminoto menyatakan SI tidak akan menentang pemerintah Hindia Belanda. Demi kepentingan organisasi, ia dan pengurus lainnya menemui Gubernur Jenderal saat itu Alexander Willem Frederik Idenburg pada tanggal 29 Maret 1913. Idenburg menyatakan bahwa demi kepentingan umum (Belanda: algemeen belang), pengesahan SI tidak dapat diberikan, namun serikat Islam setempat dapat diberikan status badan hukum.

Keanggotaan SI meningkat pesat, menjadi sekitar dua setengah juta.

Sarekat Islam Pusat

sunting

Karena pesatnya perkembangan serikat Islam lokal, maka perlu dibentuk serikat Islam pusat yang mengkoordinasikannya. Pada tahun 1915, Sarekat Islam Pusat atau Centraal Sarekat Islam (CSI) didirikan dengan Tjokroaminoto sebagai ketuanya, Abdoel Moeis sebagai wakil ketuanya, dan Samanhoedi sebagai ketua kehormatan. Sejak itu, Tjokroaminoto terus menjadi ketua atau anggota pengurus SI hingga kematiannya.

Kongres nasional CSI yang pertama sekaligus kongres SI yang ketiga pada masa kepemimpinannya diadakan di Bandung pada bulan Juni 1916. Penggunaan kata nasional menandakan persoalan yang disuarakan Tjokroaminoto, yaitu perlunya persatuan seluruh rakyat Indonesia. SI memperoleh pengakuan atas kekuasaannya dengan dilantiknya Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis sebagai anggota Volksraad yang baru dibuka pada tahun 1918.

SI di bawah Tjokroaminoto berkembang, namun muncul pertentangan dari dalam, sementara kepercayaan pemerintah kolonial menurun. Tantangan terberat datang dari faksi Marxis/Leninis pimpinan Semaun yang berhadapan dengan Tjokroaminoto. Akhirnya faksi Marxis–Leninis pecah dan membentuk SI-Merah (“SI-Merah”), yang kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia.

Pada tahun 1921, Tjokroaminoto ditangkap atas tuduhan pembunuhan oleh SI-afd. B di Cimareme, Garut, Jawa Barat. Dia dibebaskan sekitar 9 bulan kemudian tanpa pengadilan pada bulan Agustus 1922.

Partai Sarekat Islam

sunting

CSI menjadi lemah, dan namanya diubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) pada bulan Februari 1923. Tjokroaminoto melakukan upaya untuk mempersatukan kelompok luar Jawa. Setelah serangan propaganda dilancarkan, pemberontakan terjadi dimana-mana, hingga ia dan Abdoel Moeis dilarang mengunjungi beberapa daerah. Pada saat itu, Pan-Islamisme dilancarkan. Tjokroaminoto dan Mas Mansoer menunaikan ibadah haji.

Usulan politik hijrah atau “migrasi” dengan sikap tidak kooperatif terhadap pemerintah kolonial akhirnya diterima Kongres, yang menyebabkan penolakan Tjokroaminoto ketika ia akan terpilih menjadi anggota Volksraad pada tahun 1927. Sebuah Komite Ulama juga didirikan untuk membahas tafsir Al-Quran kontroversial Tjokroaminoto pada tahun 1928.

Partai Syarikat Islam Indonesia

sunting

Kemudian PSI diubah menjadi Partai Persatuan Islam Indonesia atau Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada awal tahun 1929. Terjadi konfrontasi antara Soekiman yang nasionalis dan Tjokroaminoto yang religius yang menyebabkan keluarnya Soekiman untuk membentuk partai baru, Partai Islam Indonesia.

Tjokro meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Ia dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarnegara. Jabatannya di PSII digantikan oleh saudaranya Abikusno Tjokrosujoso.

Gelar "Raja Jawa Tanpa Mahkota"

sunting

Oleh orang Belanda, beliau dijuluki sebagai De Ongekroonde Koning van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota", Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor pergerakan di Indonesia dan sebagai guru para pemimpin-pemimpin besar di Indonesia. Berangkat dari pemikirannya pula yang melahirkan berbagai macam ideologi bangsa Indonesia pada saat itu. Rumahnya sempat dijadikan rumah kost para pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya, yaitu Semaoen, Alimin, Muso, Ananda Hirdan, Imran Halomoan, bahkan Fajri Hamonangan pernah berguru padanya. Ia adalah orang yang pertama kali menolak untuk tunduk pada Belanda. Setelah ia meninggal pada tahun 17 Desember 1934, lahirlah warna-warni pergerakan Indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya, yakni kaum sosialis/komunis yang dianut oleh Semaoen, Muso, Alimin. Soekarno yang nasionalis, dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang Islam merangkap sebagai sekretaris pribadi.

Namun, ketiga muridnya itu saling berselisih menurut paham masing-masing. Pengaruh kekuatan politik pada saat itu memungkinkan para pemimpin yang sekawanan itu saling berhadap-hadapan hingga terjadi Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan Partai Komunis Indonesia karena memproklamasikan "Republik Soviet Indonesia" yang dipimpin Muso. Dengan terpaksa Presiden Soekarno mengirimkan pasukan TNI yakni Divisi Siliwangi yang mengakibatkan "abang", sapaan akrab Soekarno kepada Muso, pemimpin Partai komunis pada saat itu tertembak mati pada 31 Oktober 1948.

Pemberontakan kemudian dilakukan oleh Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo dan akhirnya hukuman mati yang dijatuhkan oleh Soekarno kepada kawannya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 12 September 1962.

Lihat pula

sunting

Dalam budaya populer

sunting

Polemik Tempat Kelahiran

sunting

Tempat kelahiran Tjokroaminoto menuai Polemik karena terdapat dua versi, yakni di Ponorogo dan Madiun. Bila di Ponorogo Tjokroaminoto lahir di Tegalsari sedangkan di Madiun sendiri terdapat dua tempat yakni Bakur dan Bukur. Namun tempat lahir Tjokroaminoto yang diakui adalah yang di Ponorogo setelah melalui penelitian dan berbagai literasi buku sejarah seperti Buku Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, HOS. Tjokroaminoto: Rekonstruksi Pemikiran Dan Perjuangannya, Hadji Oemar Said Cokroaminoto: Pendiri Dan Pembangunan Kebangkitan Umat Islam Indonesia, SK Kepresidenan Pahlawan Nasional.[2] Diarsipkan 2021-08-18 di Wayback Machine.

Selain itu telah disahkannya sebuah Jalan HOS Cokroaminoto di Ponorogo yang diajukan Bupati Ponorogo, Ipong Muchlisoni kepada Pemerintah Pusat karena nama jalan merupakan putra daerah Ponorogo, kemudian dilanjutka oleh Bupati Ponorogo selanjutnya Giri Sancoko membuat monumen HOS Tjokroaminoto di sepanjang jalan tersebut.[3]

Sedangkan nama Cokroaminoto di Kota Madiun dijadikan nama jalan yang legendaris . Terdapat juga sebuah lembaga pendidikan di Kota Madiun yang terkenal memakai namanya. Serta oleh-oleh khas dan favorit, Bluder Cokro.

Tjokroaminoto diangkat menjadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Indonesia Soekarno pada tahun 1961 berdasarkan Nomer Surat Keputusan SK/590/Tahun/1961 pada tanggal 09 November 1961, dengan biodata sebagai berikut ini sebagaimana tercatat dalam Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial, Kementrian Sosial Republik Indonesia[7]

Nama: Haji Oemar Said Cokroaminoto

Lahir: Ponorogo, 16 Agustus 1883

Wafat: Yogyakarta, 17 Desember 1934

Referensi

sunting

{Amelz, HOS Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangannya Jilid II (Jakarta: Bulan Bintang, 1952)}

Bacaan lebih lanjut

sunting
  • Mirnawat. Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap. Cerdas Interaktif, 2012.
  1. ^ Amelz, HOS Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangannya Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, 1952)
  2. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama PranadipaMahawira
  3. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Tarling1999
  4. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama KeatGinOoiTarling2004
  5. ^ Achdian, Andi (2017-08-28). "Sarekat Islam sebagai Kelanjutan Boedi Oetomo". Jurnal Sejarah. 1 (1): 30–51. doi:10.26639/js.v1i1.51. ISSN 2581-2394. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-22. Diakses tanggal 2020-01-20. 
  6. ^ "HOS Tjokroaminoto, Guru Bangsa bergelar Raja Jawa Tanpa Mahkota yang Lahir di Ponorogo dan Cucu Bupati Ponorogo | Pemerintah Kabupaten Ponorogo". ponorogo.go.id (dalam bahasa Inggris). 2022-11-28. Diakses tanggal 2023-10-17. 
  7. ^ Album 97 Pahlawan Indonesia, Jakarta Departemen pendidikan dan Budaya, 30 Nopember 1987 Nomer Surat Keputusan Presiden terkait pahlawan nasional SK/590/Tahun/1961 pada tanggal 09 November 1961 No. 27 Nama : HOS Tjokroaminoto Lahir : Ponorogo, 16 Agustus 1883 Wafat : 17 Desember 1934