Condong
Condong adalah tarian Bali yang sering dipentaskan sebagai pendahuluan untuk legong dan diiringi oleh semar pangulingan . Istilah ini juga merujuk ke karakter fiksi, representasi klasik pelayan wanita, yang ada di dalam tari condong, seperti tari legong, gambuh, dan arja.
Sejarah
suntingTari condong berasal dari istana di Bali pada pertengahan abad ke-19. Penciptanya tidak diketahui,[1] tetapi sejarah rakyat mengacu bahwa ada pangeran dari Sukawati sakit parah mendapat penglihatan dua gadis cantik menari dengan anggun ditemani musik gamelan; setelah sehat kembali, pangeran ini mereka ulang tarian yang dia pernah lihat.[2] Tarian ini awalnya menceritakan kisah dua bidadari bernama Supraba dan Wilotama. Semenjak dekade 1930-an, cerita diubah menjadi seorang raja atau ratu.[1]
Pada pertunjukan modern, penari condong memainkan peran subjek. Koreografer Ni Ketut Arini menggambarkan penari condong sebagai potret seorang pelayan istana yang melayani raja, serta kagum akan kuasanya dan kecantikan putri sang raja.[2]
Banyak gerakan yang merupakan versi sderhana dari tari legong yang beraneka ragam;[2] dan memang condong dimasukkan ke dalam tari Bali dasar, juga dipelajari oleh anak-anak.[1]
Ada beberapa usaha untuk mempertahankan tari condong di Bali. Salah satu usahanya adalah penyelanggaraan kompetisi untuk anak-anak yang melakukan tarian untuk nilai.[1] Gerakan-gerakan tari condong telah diadaptasi menjadi kreasi seni yang lebih kekinian, termasuk panyembrama (I Wayan Berata; 1971), yang juga termasuk gerakan-gerakan legong.[3]
Pertunjukan
suntingCondong umumnya digunakan sebagai pendahuluan dari tari legong sehingga ditampilkan sebelumnya.[4] Tari ini juga bisa ditampilkan sebelum tari gambuh atau arja; karakter condong cukup khas dibanding karakter yang lain.[5] Karakter condong juga konsisten di seluruh cerita yang berbeda, sebagai representasi klasik dari pelayan wanita yang telah mengenalkan berbagai macam karakter putri, baik dari Bali ataupun bukan, termasuk Rangkesari, Ophelia, dan Miranda.[6]
Dalam tarian yang menjadi awalan pertunjukan legong, penari condong memasuki panggung lebih dulu, menampilkan gilirannya. Penari condong umumnya gadis muda, dan gerakan-gerakannya merupakan, seperti istilah yang dikemukakan etnomusikologis Michael Tenzer, karakter yang "tajam dan intens". Ketika pertunjukan legong mulai, penari condong bisa menari bersama dengan penari legong[4] menghadirkan tiap-tiap penari legong dengan kipas sebelum keluar panggung. Durasi rata-rata pertunjukan condong adalah sekitar 15 menit.[7] Dalam bentuk legong lasem, penari condong kembali dengan mengenakan sayap gagak meramalkan kematian Raja Lasem.[8]
Seperti tari legong, tari condong diiringi gaya gamelan semar pangulingan.[2] Pengiringan musik ini mengambil bentuk rangkaian melodi pendek 16 ketukan,[9] dalam irama gegaboran[10] Pada tari condong yang dipentaskan sebagai pendahuluan untuk legong kraton, musik pengiring diganti ke irama batle.[11]
Referensi
sunting- ^ a b c d Bali Post 2007.
- ^ a b c d Kusumawati 2012.
- ^ Tanjung 2012.
- ^ a b Tenzer 2000, hlm. 160.
- ^ Indriasari 2013.
- ^ Rubin & Sedana 2007, hlm. 95.
- ^ Tenzer 2000, hlm. 357.
- ^ Tenzer 2000, hlm. 191.
- ^ Tenzer 2000, hlm. 160, 357.
- ^ Tenzer 2000, hlm. 292.
- ^ Tenzer 2000, hlm. 293.
Karya terkutip
sunting- Indriasari, Lusiana (5 January 2013). "Ni Ketut Arini, Menari adalah Pengabdian". Kompas (dalam bahasa Indonesian). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-11-09. Diakses tanggal 8 November 2014.
- Kusumawati, Utami Diah (23 December 2012). "Tari Legong Condong, yang Klasik dan Antik". Jurnal Nasional (dalam bahasa Indonesian). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-11-09. Diakses tanggal 8 November 2014.
- Rubin, Leon; Sedana, I Nyoman (2007). Performance in Bali. Theatres of the world. New York: Routledge. ISBN 978-0-415-33131-9.
- "Tari Condong Dipastikan Lestari di Bali". Bali Post (dalam bahasa Indonesian). 12 March 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-11-09. Diakses tanggal 8 November 2014.
- Tanjung, Intan (7 October 2012). "Stories within dances". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-11-09. Diakses tanggal 8 November 2014.
- Tenzer, Michael (2000). Gamelan Gong Kebyar: The Art of Twentieth-century Balinese Music. Chicago studies in ethnomusicology. Chicago: University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-79281-1.
Pranala luar
sunting- Media tentang Condong di Wikimedia Commons