Cukai di Indonesia

Cukai di Indonesia atau di luar negeri dikenal sebagai excise adalah kebijakan di Indonesia yang mengamanatkan pungutan atas barang-barang tertentu yang memiliki karekter tertentu, misalnya rokok, rokok elektrik,[1] alkohol, dan produk turunan tembakau dan alkohol lainnya. Di Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan Republik Indonesia bertanggung jawab memungut cukai.

Rokok, salah satu penerapan cukai di Indonesia

Pemanfaatan cukai di Indonesia sunting

Biasanya di Indonesia cukai dikenakan lebih karena pegaruh negatifnya terhadap masyarakat dan lingkungan, selain untuk mendapatkan pemasukan. Sehingga pengenaan beban cukai diharapkan bisa menekan konsumsi produk-produk tersebut. Sementara untuk cukai rokok, selain untuk menekan konsumsi, secara tegas juga telah dibuat Perpres yang mewajibkan potongan cukai rokok untuk dipakai sebagai dana kesehatan melalui anggaran BPJS di daerah.

Karakter barang yang terkena cukai di Indonesia antara lain:

  • konsumsinya perlu dikendalikan,
  • peredarannya perlu diawasi,
  • pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan[2]

Sejarah sunting

Sejarah Cukai di Indonesia tidak terlepas dari keberadaan kepabeanan atau customs. Organisasi ini secara logis ada sejak kerajaan berdiri di Indonesia dan menerima barang keluar masuk melalui transportasi laut dan darat. Namun secara tertulis, yang mendirikan kepabeanan adalah Pemerintahan Kolonial Belanda, dengan nama De Dienst der Invoer en Uitvoerrechten en Accijnzen atau terjemahan lepasnya Dinas Bea Impor dan Bea Ekspor serta Cukai. Tugasnya adalah memungut invoer-rechten (bea impor/masuk),uitvoer-rechten (bea ekspor/keluar), dan accijnzen (excise/ cukai). Jika Bea berasal dari Bahasa Sanskerta, maka Cukai berasal dari Bahasa India, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris berarti excise.[3]

Peraturan saat itu yang melandasi bea dan cukai adalah Gouvernment Besluit Nomor 33 tanggal 22 Desember 1928 yang kemudian diubah dengan keputusan pemerintah tertanggal 1 Juni 1934. Pada masa penjajahan Jepang, aturan baru dibuat. n Undang-undang Nomor 13 tentang Pembukaan Kantor-kantor Pemerintahan di Jawa dan Sumatra tanggal 29 April 1942, tugas pengurusan bea impor dan bea ekspor ditiadakan, Bea Cukai sementara hanya mengurusi cukai saja.[3]

Pada masa lalu banyak sekali barang yang terkena cukai karena pemerintahan kolonial berusaha seketat mungkin membatasi peredaran barang-barang kebutuhan rakyat. Salah satunya yang terkena cukai adalah gula dan semen. Namun pada saat ini hanya rokok, alkohol, dan rokok elektrik yang terkena cukai. Tapi pada masa depan, terbuka kemungkinan barang lainnya pun bisa dikenakan cukai.

Di bawah pemerintahan Indonesia, Bea dan Cukai kembali diadakan pada tanggal 01 Oktober 1946 dengan nama Pejabatan Bea dan Cukai. Saat itu Menteri Muda Keuangan, Sjafrudin Prawiranegara, menunjuk R.A Kartadjoemena sebagai Kepala Pejabatan Bea dan Cukai yang pertama. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1948, istilah Pejabatan Bea Cukai berubah menjadi nama menjadi Jawatan Bea dan Cukai, yang bertahan sampai tahun 1965. Setelah tahun 1965 hingga sekarang, namanya menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).[3]

Reformasi Bea dan Cukai sunting

Sejak masa reformasi, berbagai pembenahan dilakukan di organisasi yang dulunya terkenal rentan dengan KKN ini. Bea dan Cukai terus membersihkan diri dan membereskan masalah yang membelit yang membuat keluar masuknya barang di Indonesia menjadi rumit dan rentan penyelewengan. Salah satunya yang diapresiasi oleh GIMMI, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia, adalah upaya menurunkan jumlah sengketa penentuan klasifikasi jenis barang. Selain itu, beberapa area lain yang juga tengah ditingkatkan kinerjanya adalah fasilitasi industri dan perdagangan, percepatan pelayanan, perlindungan masyarakat, dan optimalisasi penerimaan. Salah satu kegiatan besar yang juga tengah digalakkan Bea Cukai dalam reformasi kali ini adalah Program Penertiban Impor Berisiko Tinggi.[4]

Dasar hukum sunting

Pengenaan cukai di Indonesia diamanatkan oleh beberapa undang-undang dan peraturan turunannya, antara lain:

  • Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagai mana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai;
  • Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 62/PMK.011/2010 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman Yang Mengandung Etil Alkohol, Dan Konsentrat Yang Mengandung Etil Alkohol;
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang hampir selalu diperbaharui setiap tahun untuk menyesuaikan tarif cukai dengan kondisi ekonomi:;
    • 181/PMK.011/2009
    • 167/PMK.011/2011
    • 179/PMK.011/2012
    • 205/PMK.011/2014
    • 198/PMK.010/2015
    • 147/PMK.010/2016
    • 146/PMK.010/2017
  • Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: P-43/BC/2009 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau;
  • Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: P - 22/BC/2010 tentang Tata Cara Pemungutan Cukai Etil Alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat Mengandung Etil Alkohol..[2]

Perbedaan cukai dan pajak sunting

Sejatinya, cukai dikenakan pada suatu komoditas karena pegaruh negatif komoditas tersebut terhadap masyarakat dan lingkungan, bukan semata-mata untuk menambah pemasukan negara. Pengenaan beban cukai diharapkan dapat menekan konsumsi produk-produk tersebut.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Kini Rokok Elektrik Dikenakan Cukai, Ini Penjelasannya. Diarsipkan 2018-10-19 di Wayback Machine. referensi: Cermati.com
  2. ^ a b Cukai. referensi: Situs Cukai
  3. ^ a b c Sejarah Bea dan Cukai. referensi: Situs Bea Cukai
  4. ^ GIMNI Apresiasi Program Reformasi Bea Cukai. referensi: Republika