Danau Galela

danau di Indonesia

Danau Galela merupakan danau yang berada di Galela, Provinsi Maluku Utara. Danau yang sering disebut dengan nama Telaga Biru ini mempunyai luas sekitar 250 hektar dan merupakan danau terbesar yang ada di Pulau Halmahera. Nama Telaga Biru memang cocok disandingkan bagi danau ini, karena objek wisata ini memiliki air yang biru jernih dengan pantulan cahaya matahari yang indah. Telaga ini terletak di sebelah utara Tobelo, jaraknya kurang lebih 25 km. Dari Tobelo dapat ditempu sekitar 30 menit menggunakan kendaraan bermotor atau menggunakan perahu-speedboat dari Kota Tobelo selama 1 jam.

Peta
Lokasi danau Galela di Halmahera Utara

Asal Usul sunting

Di belahan bumi Halmahera Utara tepatnya di wilayah Galela dusun Lisawa, di tengah ketenangan hidup dan jumlah penduduk yang masih jarang (hanya terdiri dari beberapa rumah atau dadaru), penduduk Lisawa tersentak gempar dengan ditemukannya air yang tiba-tiba keluar dari antara bebatuan hasil pembekuan lahar panas. Air yang tergenang itu kemudian membentuk sebuah telaga.

Airnya bening kebiruan dan berada di bawah rimbunnya pohon beringin. Kejadian ini membuat bingung penduduk. Mereka bertanya-tanya dari manakah asal air itu? Apakah ini berkat ataukah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Berita tentang terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat. Apalagi di daerah itu tergolong sulit air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa penasaran penduduk. Upacara adat digelar untuk menguak misteri timbulnya telaga kecil itu. Penelusuran lewat ritual adat berupa pemanggilan terhadap roh-roh leluhur sampai kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou maduhutu (Allah yang Esa atau Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.

Acara ritual adat menghasilkan jawaban “Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu” (Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air).

Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk dusun Lisawa berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil temuan yang akan disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah menjadi hening. Hanya bunyi desiran angin dan desahan napas penduduk yang terdengar.

Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya. Dari jumlah yang tidak banyak itu mudah diketahui bahwa ada dua keluarga yang kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua anak itu, mereka hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela yakni Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Sepintas kemudian, mereka bercerita perihal kedua anak itu.

Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang. Sanak saudara dan sahabat sudah dihubungi namun belum juga ada kabar beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian Majojaru masih misteri. Kabar dari orang tua Magohiduuru mengatakan bahwa anak mereka sudah enam bulan pergi merantau ke negeri orang namun belum juga ada berita kapan akan kembali.

Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru pamit untuk pergi merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidup-semati. Sejatinya, walau musim berganti, bulan dan tahun berlalu tetapi hubungan dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika tidak lebih baik mati daripada hidup menanggung dusta.

Enam bulan sejak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti. Namun, badai rupanya menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh di pantai yang tak bertepi itu.

Kabar tentang Magohiduuru akhirnya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan tersambar petir disiang bolong Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab. Dirinya seolah tak percaya ketika mendengar bahwa Magohiduuru so balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah menjadi bumerang kematian.

Dalam keadaan yang sangat tidak bergairah Majojaru mencoba mencari tempat berteduh sembari menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di bawah pohon Beringin sambil meratapi kisah cintanya.

Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang terlepas, airnya terus mengalir hingga menguak, tergenang dan menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di bawah pohon beringin itu. Majojaru akhirnya tenggelam oleh air matanya sendiri.

Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga yang mereka namakan Telaga Biru.

Telaga biru kala itu selalu tampak bersih. Airnya sejernih kristal berwarna kebiruan. Setiap dedaunan yang jatuh di atasnya tidak akan tenggelam karena seolah terhisap untuk dibersihkan oleh bebatuan yang ada di tepian telaga.

Mitos sunting

Sampai saat ini mitos asal-mula telaga Biru masih terus terjaga di masyarakat. Pasangan muda-mudi dari Galela dan Tobelo ada yang datang ke telaga ini untuk saling mengikat janji. Sebagai tanda ikatan mereka akan mengambil air dengan daun Cingacinga dan lalu meminumnya bersama. Air yang masih tersisa biasanya akan dipakai untuk membasuh kaki dan wajah. Maknanya adalah supaya jangan ada lagi air mata yang mengalir dari setiap ikatan janji dan hubungan.

Peran Bagi Masyarakat sunting

Telaga ini memiliki peran yang sangat penting bagi masyarakat sekitar, karena masyarakat sekitar sering memanfaatkan telaga ini sebagai tempat pencaharian mereka. Masyarakat sekitar umumnya memiliki pencaharian sebagai petani, sebagian membuat tambak-tambak kecil di sekitar danau.

Potensi Wisata sunting

Air telaga ini begitu jernih dan tenang, sehingga sangat cocok untuk memancing, berenang, dan berperahu. Telaga ini dikelilingi oleh pepohonan hijau yang membuat suasana telaga terasa sejuk. Di sekitar area telaga juga disediakan bangku dan taman kecil yang tidak begitu luas namun bersih dan terawat untuk beristirahat bagi pengunjung yang datang ke telaga ini. Tempat yang satu ini juga merupakan tempat yang cocok untuk refreshing dan melepas penat dari kegiatan sehari-hari. Apalagi bagi anda yang suka dengan memancing, tempat ini sangat cocok karena selain terdapat berbagai macam ikan, suasana sejuk yang ada di telaga ini membuat siapapun pemancing yang duduk menunggu umpan di kailnya disambar ikan merasa betah berlama-lama di sini.

Berperahu mengelilingi telaga juga tak kalah mengasyikkan. Sambil mengayuh dayung yang ada di perahu sambil menikmati kesejukan dan ketenangan suasana telaga. Dari salah satu sudut telaga ini, pengunjung juga dapat menikmati keindahan Gunung Mamuya. Gunung Mamuya merupakan salah satu gunung terbesar yang ada di Tanjung Duma. Ketika sore hari, pengunjung juga dapat menikmati pemandangan matahari terbenam dari telaga ini. Benar-benar pesona alam yang menakjubkan.

Kuliner sunting

Kuliner atau makanan yang dijual didanau Galela kebanyakan baru berupa makanan lokal setempat yaitu: Nasi Galela, Papeda, Ikan Kuah Kuning, Kasbi Rebus/Ubi/Singkong Rebus, Ayam Goreng, Nasi Pulut (Lemang) dan Kolak. Disepanjang pinggir danau sebelah utara, banyak terdapat warung makanan yang hargany murah meriah.

Referensi sunting

Koordinat: 1°49′04″N 127°48′43″E / 1.81773°N 127.81181°E / 1.81773; 127.81181