Dardanella (kelompok sandiwara)
Dardanella adalah nama sebuah kelompok sandiwara yang didirikan di Sidoarjo, Jawa Timur pada tanggal 21 Juni tahun 1926. Didirikan oleh Willy Klimanoff, seseorang pendatang berdarah Rusia yang lahir di Penang, Malaysia. Selanjutnya Willy berganti nama, lebih dikenal dengan nama A. Piedro. Sebelum kelompok Dardanella ini lahir telah ada kelompok-kelompok sandiwara profesional yang lebih dulu terkenal, salah satunya adalah kelompok Opera Miss Riboet. Kelompok sandiwara Dardanella ini mungkin adalah rombongan kelompok kesenian pertama di Indonesia yang memiliki reputasi internasional. Terlihat dari riwayat pertunjukannya yang menjelajah hingga ke empat benua, mulai dari Singapura, Rangoon, Madras, Calcuta, New Delhi, Bombay, Baghdad, Basra, Kairo, Roma, Muenchen, Warsawa, Amsterdam, hingga kota-kota di Amerika.[1] Dardanella dianggap sebagai pembenih sandiwara modern Indonesia. Mereka merombak beberapa tradisi yang telah lazim pada masa stambul, bangsawan, dan opera, seperti: membuat pembagian episode yang lebih ringkas, menghapuskan adegan perkenalan para tokoh sebelum bermain, menghilangkan selingan nyanyian atau tarian di tengah adegan, menghapus kebiasaan memainkan sebuah lakon hanya dalam satu malam pertunjukan, dan objek cerita sudah mulai berupa cerita-cerita asli, bukan dari hikayat-hikayat lama atau cerita-cerita yang diambil dari film-film terkenal (Oemarjati, 1971: 30-31).[2]
Biografi
suntingDardanella lahir di tengah-tengah masa kejayaan Miss Riboet atau lebih dikenal dengan Miss Riboet Orion. Tak heran jika motivasi kelahiran Dardanella menyaingi kepopuleran, keberhasilan, dan kesuksesan kelompok Miss Riboet. Miss Riboet populer dan sukses berkat seorang bintang panggung yang cantik, yaitu Miss Riboet. Untuk menyaingi ketenaran Miss Riboet, Dardanella mengetengahkan seorang bintang yang sedang menanjak namanya yaitu Tan Tjeng Bok, yang khusus memerankan tokoh pahlawan yang pandai memainkan pedang. Dalam perkembangan selanjutnya, bintang-bintang seperti Devi Dja (lebih dikenal dengan Miss Dja) dan Astaman bergabung ke Dardanella. Menyusul pula Andjar Asmara dan Njoo Cheong Seng bergabung sebagai penulis naskah. Kedua penulis naskah itu berani menyajikan cerita-cerita yang agak "berat" dan "problematik" karena mereka menyadari bahwa penonton rombongan sandiwara itu ada yang dari golongan terpelajar. Meski demikian, Dardanella tidak melupakan motto yang dipakai dalam pertunjukannya, yaitu "memberi tontonan yang memuaskan publik".[3].
Bahasa yang digunakan para pemain Dardanella adalah bahasa Melayu, demikian pula bila sedang mementaskan lakon-lakon yang ditulis dalam bahasa asing, para pemainnya menggunakan bahasa Melayu. Misalnya, lakon-lakon "Victor Ido" yang ditulis dalam bahasa Belanda. Tradisi sandiwara yang dikembangkan Dardanella tidak banyak berbeda dengan tradisi komedi bangsawan. Dalam perkembangannya, mereka menampilkan lakon yang mengarah kepada penceritaan lakon-lakon yang lebih realistis. Realisme yang dimaksud ialah melihat peristiwa sehari-hari yang dialami setiap saat (ilusi kenyataan), bahwa sebuah pementasan bukanlah sekadar menyajikan cerita, tetapi ada pesonanya, yakni yang seakan-akan bersungguh-sungguh, suatu permainan yang menimbulkan rangsangan pikiran bahwa yang terjadi di panggung bisa pula terjadi pada penonton.[2]
Konsepsi estetika realisme yakni semangat impresionis. Tidak lagi menggubris pesan-pesan sejarah, kitab suci, tetapi langsung memberikan kesan tentang persoalan-persoalan pada pokok temanya. Konsepsi realisme ingin menohok konsepsi romantisisme yang cenderung menjadikan kehidupan seperti mimpi. Dalam hal ini pementasan Dardanella tidak lagi menampilkan epos Ramayana yang merupakan model pementasan tradisional, akan tetapi Dardanella lebih banyak memainkan naskah-naskah yang sedang terjadi pada masyarakat sekitar. Misalnya, lakon Nyai Dasima dan Si Conat. Namun akhirnya sama sekali meninggalkan tradisi komedi bangsawan, lakon dimainkan sama sekali tanpa nyanyian. Tidak hanya dalam tradisi lakon, dalam tradisi pementasannya pun Dardanella juga banyak melakukan perombakan.[3] Semangat modernitas yang dibangun oleh Dardanella terlihat dalam setiap pertunjukannnya telah memakai scrip atau naskah, pengadaan properti, kostum, make-up, juga melakukan pementasan yang utuh, artinya, teater Dardanella menghilangkan konvensi-konvensi lelucon dan tarian-tarian yang memberikan kesenangan lebih pada penonton. Dardanella melalui A. Piedro dan Andjar Asmara telah melakukan sistem manajerial pertunjukan secara profesional yang merupakan supra struktural dari suartu pertunjukan. Hal ini yang merupakan ciri dari teater modern dengan semangat realisme.[2]
Berkaitan dengan Sumpah Pemuda
suntingMenjelang dan saat-saat Sumpah Pemuda digelar pada Oktober tahun 1928, rombongan sandiwara Dardanella sedang sibuk-sibuknya pentas keliling kota-kota di Nusantara. Sebuah kerja artistik yang tak banyak diketahui, juga bermuatan dan menyebarkan semangat kemerdekaan, bahkan mempraktikkan gagasan tentang Tanah Air, bangsa, dan bahasa yang satu: Indonesia. Bahkan sebagaimana semua lakon yang mereka mainkan di banyak kota Nusantara, mereka mengampanyekan penggunaan bahasa itu kepada seluruh penontonnya. Fakta relasional antara Sumpah Pemuda dan kerja artistik atau kesenian ini tercatat dalam buku Gelombang Hidupku: Devi Dja dari Dardanella, yang ditulis sastrawan kawakan Ramadhan KH. Sebagaimana judulnya, buku ini memang biografi Soetidjah alias Devi Dja, sang primadona Dardanella. Yang karena begitu identiknya pencitraan di antara keduanya, kisah ini dapat dikatakan juga merupakan biografi dari kelompok itu sendiri.[1]
Mendunia
suntingPertunjukan mereka di Rangoon dan New Delhi sempat ditonton tiga tokoh besar politik modern India: Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, dan Rabindranath Tagore. Kemudian, saat menggelar pertunjukan di Muenchen, pemimpin besar Jerman kala itu, Adolf Hitler, sempat berniat datang menyaksikan. Akan tetapi, karena alasan kedaruratan, rencana itu dibatalkan.[1] Pada zamannya, Dardanella mungkin dikategorikan sebagai seni pop. Sebuah jenis kesenian yang di mana pun dan pada masa apa pun selalu memiliki jangkauan publik yang besar. Pertautannya dengan selera publik yang besar inilah yang membuat seni pop kadang dikategorikan sebagai seni yang ”tidak serius”. Sebuah alasan yang mungkin membuat Dardanella tidak diperhitungkan perannya dalam sejarah perjuangan negeri ini.[1]
Peran pers dan sastra ”pop” berbahasa Melayu Pasar seperti yang banyak ditulis oleh kalangan keturunan Tionghoa, sebagaimana terindikasi oleh Ben Anderson, memiliki peran signifikan dalam penyebaran gagasan kebangsaan itu. Dardanella jelas bukan suatu jenis penerbitan. Akan tetapi, dengan bahasa Melayu yang digunakan dalam setiap pementasannya di berbagai kota di Indonesia hingga akhir 1930-an, dan selalu dipenuhi penonton itu, perannya dalam penyebaran bahasa Melayu pastilah tidak kecil. Lebih-lebih mengingat tingkat kemampuan untuk membaca yang masih sangat rendah pada saat itu. Keanggotaan Dardanella sendiri merepresentasikan ”keindonesiaan” yang luas. Para pemainnya datang dari berbagai suku di Indonesia: Jawa, Ambon, Minang, Sunda, Sumbawa, dan lainnya, serta juga para peranakan indo. Khusus peran para peranakan-indo di dalam Dardanella ini, selaras dengan tesis Ben Anderson tentang pentingnya peran ”kreol”, membuktikan bagaimana pembauran etnik (lokal dan lokal maupun dengan asing) menjadi faktor yang signifikan dalam pembentukan kesadaran serta praktis kebangsaan di negeri ini.[1]
Referensi
sunting- ^ a b c d e Dardanella di Kompas.com Diarsipkan 2011-08-10 di Wayback Machine., Kompas.com, diakses 23 April 2011
- ^ a b c Dardanella di Indonesiacinematheque, indonesiacinematheque, diakses 23 April 2011
- ^ a b Dardanella di Jakarta go.id[pranala nonaktif permanen], Jakarta go.id, diakses 23 April 2011