De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes

Buku tahun 1912

De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes adalah sebuah buku yang dipublikasikan pada tahun 1912 oleh ahli bahasa dari Belanda, Nicolaus Adriani dan rekannya Albertus Christiaan Kruyt. Buku ini berfokus mengenai kehidupan Toraja Poso-Tojo[1] dan juga Dialek Bare'e yang ada di Sulawesi.[2][3]

De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes
Sampul
Halaman pertama buku
PengarangNicolaus Adriani
Albertus Christiaan Kruyt
Negara Hindia Belanda
BahasaBelanda
SubjekSulawesi
Dialek Bare'e
Suku Toraja
GenreAntropologi, Etnografi
PenerbitLandsdrukerrij
Tanggal terbit
1912
Halaman422 (volume ketiga)
OCLC760099309

Beberapa puluh tahun setelah perilisan, buku De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes[4] ini dikutip oleh berbagai penulis dan peneliti seperti H.C. Raven, Walter Kaudern, John Sidel, Greg Acciaioli, David Henley, Lorraine Aragon dan masih banyak peneliti lain sebagai salah satu sumber rujukan dalam penulisan tentang Toraja Poso-Tojo untuk studi mereka.[5][6][7][8]

Latar belakang sunting

Nicolaus Adriani adalah seorang ahli bahasa dari Nederlands Bijbelgenootschap yang dikirim ke Sulawesi Tengah untuk mempelajari bahasa lokal yang berada di sana. Secara khusus, Adriani dikirim ke Poso dan bertemu dengan Albertus Christiaan Kruyt, seorang teolog dan penginjil dari Nederlandsch Zendeling Genootschap yang telah lebih dulu tiba. Mereka berdua kemudian melakukan perjalanan untuk menyebarkan agama Kristen di Poso sekaligus mempelajari kebiasaan dan adat istiadat setempat.[9]

Saat itu, literatur tentang Toraja -selain milik mereka- sangat sedikit. Setelah mereka mampu mengumpulkan banyak informasi, Pemerintah Hindia Belanda menawarkan kepada mereka untuk mempublikasikannya menjadi sebuah buku. Dengan surat keputusan nomor 23 yang dikeluarkan pada tanggal 9 Juli 1910, mereka diizinkan untuk merilis hasil pekerjaan mereka.[9]

Penolakan istilah Toraja sunting

Bugis dan To Luwu adalah masyarakat yang pertama kali menolak penyebutan Toraja untuk Umat Kristen di Sulawesi Selatan, dan hal tersebut diakui oleh Makkole dan Maddika Luwu saat itu, dan juga karena wilayah yang dihuni Suku Toraja adalah wilayah Kerajaan Luwu yang mana wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Morowali[10], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) sampai ke seluruh wilayah Tana Toraja, oleh karena itu To Luwu menolak terhadap istilah Toraja (Toradja) untuk penyebutan Umat Kristen di Sulawesi Selatan.

Penolakan atas istilah Toraja inilah yang membuat ragu masyarakat Sulawesi pada saat terjadi gerakkan Monangu Buaya oleh Kerajaan Luwu, karena bunyi dari Monangu Buaya adalah sangat bertentangan dengan penolakan istilah Toraja (Toradja) yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, karena bunyi dari Monangu Buaya (Monangu Buaja) adalah "Semua Suku Toraja (Toradja-Stammen) dan Umat Kristen di Tana Poso harus mendukung semua Budaya Luwu termasuk Monangu Buaya", dan itu sangat tidak mungkin terjadi dimana sedang terjadi salah paham dan "pengusiran" antara pihak masyarakat Sulawesi Selatan yang menentang istilah Toraja ciptaan misionaris Belanda dan Budaya Luwu Monangu Buaya yang didukung misionaris Belanda dengan kata lain sedang terjadi permusuhan antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan pihak misionaris Belanda, sehingga semua masyarakat Sulawesi berkesimpulan bahwa gerakan menarik upeti Monangu Buaya (Monangu Buaja; krokodilzwemmen)[11] adalah bukan dari Kerajaan Luwu tetapi Monangu Buaya adalah ciptaan misionaris Hindia Belanda. Terbukti dari Monangu Buaya mengutip ayat dari Alkitab Injil yaitu " dengan melihat kepada Tokoh Alkitab Injil yaitu "sejarah kematian Lazarus" yang menceritakan bahwa Baju Adat Inodo bukan bajunya umat kristen yang diwakili tokoh Lazarus".[12]

Permasalahan yang muncul kemudian adalah "pengkaburan sejarah tana poso", mengenai siapakah pemilik tana poso, Karena tidak mungkin satu wilayah memiliki dua suku dan tidak mungkin juga satu wilayah dimiliki dua kerajaan yang berbeda yaitu Suku Bare'e di pihak Kerajaan Tojo dan Toraja (pamona) kristen di pihak Kerajaan Luwu, dan Kerajaan Luwu tidak memiliki bukti kepemilikan Tana Poso seperti Arajang[13] Kerajaan Tojo.[14]

Di zaman moderen para peneliti dan akademisi Sulawesi seperti Priyanti Pakan, Mashudin Masyhuda, Andi Mattulada, dan Lorraine Aragon juga pada awalnya menolak penerapan istilah Toraja bagi penduduk Sulawesi Tengah.[15]

Penterjemah Bahasa Bare'e sunting

Tahun 1892 di Mapane, ketika Albertus Christiaan Kruyt (Kruyt) di Tana Poso, Kruyt memakai jasa penterjemah Bahasa Bare'e dan Kruyt menamakan penterjemah tersebut dengan nama Puumboto Speaker.[16]

Ternyata penterjemah Bahasa Bare'e yang beragama Islam tersebut adalah orang yang lahir di wilayah Puumboto dan kemudian besar di Wotu, Luwu Timur. Dan setelah melakukan penelitian bersama Kruyt, penterjemahnya menamakan bahasa yang dipakai di wilayah Puumboto adalah sama dengan yang dipakai diwilayah To Lage, sehingga menamakannya dengan nama Bahasa Bare'e dialek To Lage, karena memang Puumboto adalah salah satu wilayah dari To Lage yang tunduk dan setia pada Kerajaan Tojo, yang pada tahun 1770 To Lage ikut serta mendirikan Kerajaan Tojo.[17]

Produksi sunting

Dua bab pertama, yang berisi tentang deskripsi geografis wilayah Toraja yang dihuni oleh orang toraja yang mampu berbicara dialek Bare'e, sejarah mereka, kebiasaan dan adat istiadat mereka serta agama mereka ditulis oleh Kruyt; sedangkan bagian linguistik dan bahasa yang terdapat di bab tiga, ditulis oleh Adriani. Pada awalnya, mereka berniat untuk menyertakan suku Toraja Kaili-Sigi yang berasal dari bagian barat Sulawesi Tengah dalam buku mereka, tapi pada akhirnya tidak jadi. Yang pertama, karena pengetahuan mereka tentang suku Toraja Kaili-Sigi jauh lebih rendah dibandingkan dengan Suku Toraja Poso-Tojo; dan yang kedua, agar tidak merendahkan kebanggaan Toraja Poso-Tojo.[9]

Temuan Kruyt bahwa adanya Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) yang mengakui dirinya adalah orang Toraja (Toradja) bukan orang Bare'e, dan setelah dilakukan penelitian melalui penyebaran batu menhir Watu Mpogaa ternyata asalnya berasal dari Legenda desa Pamona yang semua penduduk Toraja yang didapatkan Belanda dari wilayah Poso-Tojo tersebut berasal dari Wotu, Luwu Timur.[18]

Profesor Snouck Hurgronje membaca bab tentang perkembangan Islam di wilayah teluk Tomini dan memberikan saran dan komentar, untuk kemudian diperbaiki oleh Adriani dan Kruyt. Hal yang sama berlaku untuk bab "Penduduk" dan "Konsep hukum", yang dibaca oleh Profesor S.R. Steinmetz. Emile Gobée, P. Ten Kate dan P. Schuyt menyumbangkan foto untuk buku ini.[19]

Penerimaan sunting

Kaudern menyatakan bahwa buku ini adalah 'karya besar'.[20] Syakir Mahid dan Haliadi Sadi menggunakan buku ini sebagai sumber rujukan mereka dalam menulis buku Sejarah Kerajaan Bungku yang dirilis pada tahun 2012.[21]

Referensi sunting

  1. ^ BARE'E-STAMMEN, De Bare'e-Sprekende de Toradja Van midden celebes jilid 1 halaman 119, [1].
  2. ^ Kaudern 1925, hlm. 45.
  3. ^ Kaudern 1925, hlm. 420.
  4. ^ DE BARE'E-SPREKENDE DE TORADJA VAN MIDDEN CELEBES, alamat website untuk download bukunya --> [2].
  5. ^ Raven 1926, hlm. 10.
  6. ^ Henley 2005, hlm. 265.
  7. ^ Henley 2005, hlm. 450.
  8. ^ Henley 2005, hlm. 642.
  9. ^ a b c Adriani & Kruyt 1912, hlm. IX.
  10. ^ KEDATUAN LUWU wilayahnya hanya sampai Morowali, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. [3].
  11. ^ Sumber buku "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), menyatakan Monangu buaya yaitu budaya ciptaan Misionaris Belanda dengan meminjam nama dari Kerajaan Luwu , [4], Diakses 30 Juni 2023.
  12. ^ "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), kematian Lazarus yang berbaju apa adanya (To Lampu) berbeda dengan Baju Mewah atau Baju Inodo yang milik dari Suku Bare'e (Bare'e-Stammen), [5].
  13. ^ DERIJKSSIERADEN VAN TODJO, De Bare'e-Sprekende de Toradja van midden celebes jilid 1 halaman 75-83.[6].
  14. ^ Buku POSSO, HALAMAN 151, Monangu buaja (krokodilzwemmen). [7].
  15. ^ Aragon 2000, hlm. 2.
  16. ^ PUUMBOTO SPEAKER, Bahasa Bare'e (Bare'e-Taal) tidak sampai ke Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan apalagi Wotu. [8].
  17. ^ BARE'E-STAMMEN biasanya ditulis dalam bahasa Belanda "in het Bare'e", jadi Bahasa Bare'e (Bare'e-Taal) tidak sampai ke Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan apalagi Wotu, De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebes jilid 1. [9].
  18. ^ BUKU DE BARE'E-SPREKENDE DE TORADJA VAN MIDDEN CELEBES jilid 1 halaman 5, [10].
  19. ^ Adriani & Kruyt 1912, hlm. XI.
  20. ^ Kaudern 1925, hlm. 338.
  21. ^ Mahid, Sadi & Darsono 2012, hlm. 28.

Daftar pustaka sunting

Adriani, Nicolaus; Kruyt, Albertus Christiaan (1912). De Bare'e sprekende Toradja's van Midden-Celebes. Batavia: Landsdrukkerij. 
Henley, David (2005). Fertility, Food and Fever: Population, Economy and Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1930. Leiden: KITLV Press. ISBN 906-7182-09-5. 
Kaudern, Walter (1925a). Ethnographical studies in Celebes: results of the author's expedition to Celebes, 1917-1920 - Structures and settlements in Central Celebes. 1. Göteborg: Elanders Boktryckeri Aktiebolag. 
Mahid, Syakir; Sadi, Haliadi; Darsono, Wilman (2012). Sejarah Kerajaan Bungku. Yogyakarta: Penerbit Ombak. ISBN 978-602-7544-09-3. 
Raven, H.C. (1926). The Stone Images and Vats of Central Celebes. New York: Museum Nasional Sejarah Amerika.