Didi Kartasasmita lahir di Cihaur, Ciamis. Dia menghimpun eks anggota KNIL untuk berdiri di belakang Republik Indonesia.

Sejarah mencatat, Didi berkeliling Jawa untuk menghimpun dukungan kepada RI dari eks opsir-opsir KNIL. Setelah ditandatangani 20 eks opsir KNIL (termasuk eks Mayor Oerip Soemohardjo) dan disetujui Presiden Sukarno, maklumat tersebut diumumkan ke khalayak lewat corong Radio Republik Indonesia (RRI) selama sepuluh hari berturut-turut sejak 11 Oktober 1945.

Perjuangan dan kejuangan Didi Kartasasmita sebagai berikut Pembentukan TKR di Jawa Barat dipelopori oleh Didi Kartasasmita, seorang mantan Opsir KNIL yang pada September 1945 mendatangi Perdana Mentri Republik Indonesia menawarkan diri membantu perjuangan RI.

Sebagai seorang perwira lulusan Koninlijke Military Academy (KMA) Breda berpangkat Letnan satu, Didi Kartasasmita disambut baik oleh Amir Syarifudin karena dirasa akan sangat membantu dalam perjuangan kemerdekaan.

Berdasarkan persetujuan Presiden, Didi Kartasasmita kemudian membuat maklumat yang berisi pernyataan bagi para mantan opsir KNIL untuk berdiri di belakang RI yang berisi antara lain kurang lebih tentang pembubaran tentara KNIL sejak 9 Maret 1942 oleh Panglima Tertinggi Tentara Hindia-Belanda, Letnan Jendral Ter Poorten.

Dan dengan pembubaran itu, maka secara otomatis terbebas dari sumpah setia prajurit. Pertimbangan mengenai keamanan Republik yang tengah terancam dengan keberadaan Nedherland Indhisce Civil Administration (NICA) dan kesadaran akan gerakan kemerdekaan Indonesia, maka para mantan opsir KNIL ini menyatakan berdiri di belakang Republik Indonesia dan siap menerima segala perintah untuk menegakkan dan dan menjaga keamaan Republik Indonesia.

Maklumat ini kemudian diikuti dengan surat dukungan yang datang dari para opsir junior, mantan taruna KMA Bandung dan bekas opsir cadangan kepada Didi Kartasasmita pada 8 Oktober 1945.

Petikan surat yang intinya menyatakan dukungan dan bersedia bergabung dengan para perwira opsir senior berisi sebagai berikut :

“Kami bekas Cadettan dan bekas Aspirant-Reserve Officieren Tentara Hindia Belanda menerangkan, bahwa kami menyetujui pendirian para opsir kami sebagai tertua dari kami dan berdiri sepenuhnya dibelakang mereka”

Bandung, 8 Oktober 1945

  • A.H.Nasution
  • R.A.Badjoeri M.M.
  • R. Kartakoesoema.
  • R.S.Sasraprawira.

Dukungan itu dilanjutkan dengan langkah Didi Kartasasmita menghubungi sejumlah mantan opsir KNIL dari KMA Bandung diantaranya A.H.Nasution, Rahmat Kartakusuma, Daan Jahja, Singgih, Arudji Kartawinata, Asikin Judakusumah, KH Sam’un, Husein Sastranegara dan Sastraprawira untuk berkumpul di Tasikmalaya pada 20 Oktober 1945 dalam usaha pembentukan TKR Jawa Barat.

Pertemuan di Tasikmalaya itu berjalan lancar menghasilkan TKR yang terbagi dalam komandemen-komandemen yang membagi Jawa dalam 3 komandemen dan Jawa Barat masuk dalam bagian komandemen I Jawa Barat dengan susunan :

  1. Panglima Komandemen : Mayor Jendral Didi Kartasasmita
  2. Kepala Staf : Kolonel A.H.Nasution
  3. Staff Komandemen : Letnan Kolonel Kartakusumah, Mayor Akil, Mayor Kadir, Mayor Suryo dan Kapten Satari

Satuan Tempur Komandemen 1 Jawa Barat adalah terdiri dari 3 (tiga) Divisi :

  1. Divisi I TKR : Komandan Kol. KH Syam’un, meliputi wilayah Banten dan Bogor
  2. Divisi 2 TKR : Komandan Kol. Asikin, meliputi wilayah Jakarta hingga Linggarjati – Cirebon
  3. Divisi 3 TKR : Komandan Aruji Kartawinata, daerah Priangan – Bandung hingga Sukabumi

Sepuluh bulan kemudian baru pada tanggal 20 Mei 1946 bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional formasi itu kemudian dilebur dalam satu divisi dengan nama Divisi Siliwangi.

Bandung Lautan Api

Pada tanggal 24 Maret 1946. Hal ini bermula ketika sebuah pesawat Dakota milik RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) berputar-putar di atas Kota Bandung. Pesawat ini sengaja berputar-putar membawa ribuan lembar kertas yang dilemparkan guna menekan para Tentara Republik Indonesia dan Laskar-laskar Rakyat untuk mengosongkan Bandung dalam waktu 24 jam.

Mengutip dari laman Historia, bahwa sebelum terjadi pembumihangusan Bandung sebenarnya telah ada serentetan peristiwa yang secara langsung menjadi pemantik akan kejadian ini. Pada awal 1946, British Indian Army sudah menguasai hampir setiap sudut Kota Bandung yang menimbulkan kekacauan dan pemberontakan antara tentara Inggris dan kaum nasionalis Indonesia yang terdiri dari para tentara maupun warga sipil

Dalam merespon kekacauan itu, para pejuang lokal akhirnya mengirimkan tembakan-tembakan mortir secara spontan ke wilayah Bandung Utara yang merupakan markas dan tempat tinggal para penjajah di Kawasan Jaarbeurs dan kamp interniran.

Tembakan mortir dari para pejuang Indonesia langsung direspon oleh pihak Inggris yang langsung meluncurkan tembakan-tembakan artilerinya dan mengakibatkan jatuhnya puluhan korban dari para pejuang dan warga sipil yang tinggal di komplek Perusahaan Telegrap dan Telepon (PTT).

Atas kejadian ini, Markas Besar Tentara Inggris di Jakarta kemudian menekan Pemerintah Republik Indonesia untuk memerintahkan Tentara Republik Indonesia mengosongkan area Bandung selatan kurang lebih sejauh 11-12 kilometer. Sutan Sjahrir yang saat itu menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia meminta Panglima Komandemen Jawa Barat Mayor Jenderal Didi Kartasasmita untuk mengkondisikan masyarakat yang ada di Bandung Selatan dengan cara menuruti permintaan Tentara Inggris.

Namun permintaan tersebut tidak disepakati oleh Mayor Jenderal Didi yang tidak berkeinginan mengecewakan pengorbanan yang telah dialami oleh para Tentara Republik Indonesia.

Karena ketidaksebandingan jumlah dan peralatan dengan Tentara Inggris, para Tentara Republik Indonesia yang dikomandoi oleh Jenderal A.H. Nasution memutuskan untuk mengungsikan rakyat ke arah selatan sejauh 11 kilometer sebelum membakar Kota Bandung.

Pembumihangusan juga diikuti para warga dengan membakar rumah mereka sebelum meninggalkannya. Peristiwa Bandung Lautan Api malam itu dikenang sebagai salah satu taktik yang paling ideal dalam situasi genting ketika jumlah dan peralatan perang yang dimiliki oleh Tentara Republik Indonesia tidak sebanding dengan kekuatan sekutu dan NICA.

Peristiwa ini juga menjadi salah satu simbol perlawanan rakyat Indonesia yang setiap tahun diperingati sebagai upaya mengenang jasa-jasa para pahlawan dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.