Dilema tunggu/jalan
Dilema tunggu/jalan terjadi ketika menunggu bus di halte, tetapi waktu yang dihabiskan saat menunggu melebihi waktu yang diperlukan untuk tiba di tempat tujuan dengan cara lain, misalnya berjalan kaki. Dilema ini diliput dalam The New York Times Magazine edisi "Year in Ideas" tahun 2008.[1]
Penelitian
suntingDilema ini dibahas dalam sebuah laporan penelitian berjudul "Walk Versus Wait: The Lazy Mathematician Wins" (tidak diterbitkan).[2][3] Penelitian Anthony B. Morton, "A Note on Walking Versus Waiting", mendukung dan mendalami hasil penelitian Chen et al.[4] Penelitian Ramnik Arora, "A Note on Walk versus Wait: Lazy Mathematician Wins", membahas sebagian kesalahan argumen Chen et al.; hasil penelitian Chen et al. tetap benar meski dikoreksi Arora.[5]
Matematikawan Harvard, Scott D. Kominers, pertama kali meneliti persoalan ini saat sedang berjalan dari MIT ke Harvard[2] yang berjarak satu mil (1,6 km) menyusuri rute bus MBTA 1 di Cambridge, Massachusetts. Ia meminta bantuan fisikawan Caltech Justin G. Chen dan statistikawan Harvard Robert W. Sinnott untuk melakukan analisis.[2]
Penelitian mereka menyimpulkan bahwa dari sudut pandang matematika, menunggu bus lebih cepat meski terasa lama. Apabila seseorang memutuskan untuk jalan, keputusan itu tidak boleh diubah. Orang tersebut sebaiknya tidak menunggu di halte berikutnya.[2][1]
Prinsip ini diterapkan secara luas dalam konsep kapal generasi antariksa.
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ a b Thompson, Clive (2008-12-13). "The Bus-Wait Formula". The New York Times Magazine: Year in Ideas.
- ^ a b c d Bierman, Noah (2008-02-03). "Cellphones remain mum in tunnels". The Boston Globe.
- ^ "Lazy option is best when waiting for the bus". New Scientist Magazine. 2008-01-23.
- ^ Morton (2008-02-25). "A Note on Walking Versus Waiting". arΧiv:0802.3653 [math.HO].
- ^ Ramnik Arora (2008-03-21). "A Note on Walk versus Wait: Lazy Mathematician Wins". arΧiv:0803.3106 [math.HO].