Bangkong kolong
Bangkong kolong | |
---|---|
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Filum: | |
Kelas: | |
Ordo: | |
Famili: | |
Genus: | Laurenti, 1768.
|
Spesies: | B. melanostictus
|
Nama binomial | |
Bufo melanostictus Schneider, 1799.
|
Bangkong kolong atau kodok rumah memiliki nama ilmiah Bufo melanostictus Schneider. Kodok ini juga dikenal dengan beberapa nama lain seperti kodok buduk (Btw.), kodok berut/kerok, kodok kintêl (Jw.), kodok brama (Jw., yang berwarna kemerahan), dan Asian black-spined toad (Ingg.).
Kodok ini menyebar luas mulai dari India, Republik Rakyat Tiongkok selatan, Indochina sampai ke Indonesia bagian barat. Di Indonesia, dengan menumpang pergerakan manusia, hewan amfibi ini dengan cepat menyebar (menginvasi) dari pulau ke pulau. Kini bangkong kolong juga telah ditemui di Bali, Lombok, Sulawesi dan Papua barat.
Bentuk tubuh
suntingKodok berukuran sedang, yang dewasa berperut gendut, berbintil-bintil kasar[1]. Bangkong jantan panjangnya (dari moncong ke anus) 55–80 mm, betina 65–85 mm. Di atas kepala terdapat gigir keras menonjol yang bersambungan, mulai dari atas moncong; melewati atas, depan dan belakang mata; hingga di atas timpanum (gendang telinga). Gigir ini biasanya berwarna kehitaman. Sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) yang besar panjang terdapat di atas tengkuk.
Bagian punggung bervariasi warnanya antara cokelat abu-abu gelap[1], kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman. Ada pula yang dengan warna dasar kuning kecokelatan atau hitam keabu-abuan. Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman.
Sisi bawah tubuh putih keabu-abuan, berbintil-bintil agak kasar. Telapak tangan dan kaki dengan warna hitam atau kehitaman; tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang yang sangat pendek. Kaki depan dan belakang pendek dengan ujung jari tumpul[1]. Hewan jantan umumnya dengan dagu kusam kemerahan.
Kebiasaan
suntingBangkong kolong paling sering ditemukan di sekitar rumah[1]. Melompat pendek-pendek, kodok ini keluar dari persembunyiannya di bawah tumpukan batu, kayu, atau di sudut-sudut dapur pada waktu Magrib; dan kembali ke tempat semula di waktu Subuh. Terkadang, tempat persembunyiannya itu dihuni bersama oleh sekelompok kodok besar dan kecil; sampai 6-7 ekor.
Bangkong ini kawin di kolam-kolam, selokan berair menggenang, atau belumbang, sering pada malam bulan purnama. Kodok jantan mengeluarkan suara yang ramai sebelum dan sehabis hujan untuk memanggil betinanya, kerapkali sampai pagi. Bunyinya: rrrk, ..rrrk, atau ...oorek-orek-orek-orekk ! riuh rendah.
Pada saat-saat seperti itu, dapat ditemukan beberapa pasang sampai puluhan pasang bangkong yang kawin bersamaan di satu kolam. Sering pula terjadi persaingan fisik yang berat di antara bangkong jantan untuk memperebutkan betina, terutama jika betinanya jauh lebih sedikit. Oleh sebab itu, si jantan akan memeluk erat-erat punggung betinanya selama prosesi perkawinannya. Kadang-kadang dijumpai pula beberapa bangkong yang mati karena luka-luka akibat kompetisi itu; luka di moncong hewan jantan, atau luka di ketiak hewan betina.
Tampaknya kodok ini memiliki asosiasi yang erat dengan lingkungan hidup manusia. Dari waktu ke waktu, bangkong kolong terus memperluas daerah sebarannya mengikuti aktivitas manusia. Iskandar (1998) mencatat bahwa kodok ini tak pernah terdapat di dalam hutan hujan tropis.
Rujukan
suntingDjoko T. Iskandar, 1998, Amfibi Jawa dan Bali