Ekologi berasal dari kata oikos dan logos, adalah cabang ilmu yang mengkaji habitat dan interaksi di antara benda hidup dengan alam sekitar (pakar biologi Jerman Ernst Haeckel, 1866).[1] Ekologi bertumpu pada distribusi dan jumlah organisme dan bagaimana keduanya mempengaruhi ciri dan sifat alam sekitar; pengaruh organisme terhadap alam sekitar, dan sebaliknya. Ekologi berhubungan erat dengan tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.[2] Manusia memerlukan zat gizi untuk menjalankan fungsi tubuh. Kekurangan dan kelebihan gizi dalam setiap daur kehidupan menyebabkan masalah gizi di masyarakat. Masalah gizi dapat dilihat dengan pendekatan sistem pangan dan gizi, meliputi subsistem produksi, subsistem pengolahan, subsistem distribusi, dan subsistem kesehatan dan gizi.[2] Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia setiap saat, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, aman, bergizi dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (Almatsier, 2009).[3] Secara definitif menurut Undang-Undang RI nomor 7 tahun 1996, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi manusia. Termasuk di dalamnya adalah bahan tambahan pangan (BTP), bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.[4]

Secara klasik, kata gizi hanya dihubungkan dengan kesehatan tubuh, yaitu untuk menyediakan energi, membangun, dan memelihara jaringan tubuh serta mengatur proses-proses kehidupan dalam tubuh. Tetapi, saat ini kata gizi mempunyai pengertian yang lebih luas, di samping untuk kesehatan, gizi dikaitkan dengan potensi ekonomi seseorang karena gizi berkaitan dengan perkembangan otak, kemampuan belajar, dan produktivitas kerja. Oleh karena itu, gizi dianggap penting untuk memacu pembangunan khususnya dalam pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.[3] Pada umumnya, zat gizi yang terdapat dalam pangan disebut gizi pangan, yaitu zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. Zat gizi tidak hanya berasal dari pangan, karena dapat pula diproduksi secara buatan atau sintetis.[3]

Tujuan Ekologi Pangan dan Gizi

sunting

Manusia memerlukan zat gizi sebagai menjalankan fungsi tubuh. Kekurangan dan kelebihan gizi dalam setiap daur kehidupan menyebabkan masalah gizi di masyarakat. Masalah gizi dapat dilihat dengan pendekatan sistem pangan dan gizi, meliputi subsistem produksi, subsistem pengolahan, subsistem distribusi, dan subsistem kesehatan dan gizi. Pangan dan Gizi adalah suatu gabungan kata yang sulit dipisahkan karena berbicara gizi haruslah menyangkut pangan dan bahan makanan, dan ini tidak berarti bahwa bahan pangan yang tidak bergizi menjadi tidak penting artinya. Pangan dan gizi menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan hakiki rakyat Indonesia (Khomsan, 2004).[5] Tujuan dari ekologi pangan dan gizi yaitu: Meningkatkan ketersediaan komoditas pangan pokok dengan jumlah yang cukup, kualitas memadai dan tersedia sepanjang waktu melalui peningkatan produksi dan penganekaragaman serta pengembangan produksi olahan, meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan untuk memantapkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga, meningkatkan pelayanan gizi untuk mencapai keadaan gizi yang baik dengan menurunkan prevalensi gizi kurang dan gizi lebih, dan meningkatkan kemandirian keluarga dalam upaya perbaikan status gizi untuk mencapai hidup sehat.

Sistem Pangan dan Gizi

sunting

Oleh karena keterkaitan gizi dengan berbagai faktor seperti pertanian, sosial, ekonomi, dan budaya maka perbaikan gizi masyarakat dilakukan dengan pendekatan sistem yang lazim dinamakan sistem pangan dan gizi. Suatu sistem adalah serangkaian komponen atau unsur yang saling terkait menuju suatu tujuan yang sama. Sistem pangan dan gizi mempunyai tujuan meningkatkan dan mempertahankan suatu gizi masyarakat dalam keadaan optimal. Sistem pangan dan gizi mempunyai empat komponen yaitu:

 
Sistem Pangan dan Gizi

Penyediaan Pangan

sunting

Upaya mencapai status gizi masyarakat yang baik atau optimal dimulai dengan penyediaan pangan yang cukup. Penyediaan pangan yang cukup diperoleh melalui produksi pangan dalam negeri melalui upaya pertanian dalam menghasilkan makanan pokok, lauk pauk, sayur mayur dan buah-buahan. Agar produksi pangan dapat dimanfaatkan setinggi-tingginya perlu diberikan perlakuan pasca panen sebaik-baiknya dengan tujuan menyiapkan hasil panen agar tahan disimpan dalam waktu yang panjang tanpa mengalami kerusakan terlalu banyak dan dapat dipasarkan dalam kondisi baik.

Distribusi Makanan

sunting

Agar sampai kepada masyarakat luas dalam keadaan baik, distribusi pangan perlu memperhatikan aspek transportasi, penyimpanan, pengolahan, pengemasan, dan pemasaran. Tujuannya adalah supaya pangan yang disediakan sampai di masyarakat secara merata, dalam keadaan baik, tidak banyak terbuang dan dengan harga yang dapat terjangkau.

konsumsi makanan

sunting

Konsumsi makanan oleh masyarakat atau keluarga bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, dan distribusi dalam keluarga, dan kebiasaan makan secara perorangan. Hal ini bergantung pula pada pendapatan, agama, adat kebiasaan, dan pendidikan masyarakat serta jumlah anggota keluarga lainnya. Penggunaan bahan makanan (utilisasi) oleh tubuh akan bergantung pada pencernaan serta penyerapan dan metabolisme zat gizi. Hal ini juga bergantung pada kebersihan lingkungan dan ada tidaknya penyakit yang berpengaruh terhadap penggunaan zat-zat gizi dalam tubuh. Tujuan akhir dari konsumsi dan penggunaan makanan oleh tubuh adalah tercapainya status gizi tubuh yang optimal.

Gizi dan Lingkungan Biofisik

sunting

Lingkungan Biofisik adalah sebuah mata rantai yang saling berkaitan dan memberi pengaruh antara yang satu dengan yang lain. Lingkungan Biofisik terbagi menjadi 2, yaitu lingkungan biologi dan fisik

Macam-Macam Lingkungan Biologi

sunting

Ras/Suku Bangsa

sunting

Pertumbuhan anatomis tubuh juga dipengaruhi oleh ras dan suku bangsa (bangsa Eropa pertumbuhan anatomis tubuh lebih tinggi daripada bangsa asia)

Jenis Kelamin

sunting

Anak laki-laki lebih sering sakit daripada anak perempuan, akan tetapi sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan hal ini terjadi.

Usia paling rawan adalah masa balita, oleh sebab itu pada masa tersebut balita mudah sakit dan mudah terjadi masalah gizi, disisi lain usia ini merupakan usia pembentukan kepribadian sehingga butuh perhatian ekstra.

Makanan memegang peranan penting dalam tumbang (tumbuh kembang) anak di mana kebutuhan anak berbeda dengan orang dewasa, oleh karena itu dibutuhkan kecukupan gizi pada saat masa tumbang ini.

Ketahanan Pangan

sunting

Ketahanan pangan keluarga mencakup pada ketersediaan dalam keluarga di mana sering kali kepentingan budaya dengan kepentingan biologis anggota-anggota keluarga dan aspek lain juga tidak kalah pentingnya adalah masalah keamanan pangan yang mencakup pembebasan makanan dari berbagai racun, fisika, kimia, dan biologis yang kian mengancam kesehatan manusia.

Perawatan Kesehatan

sunting

Jika anak sakit sebaiknya langsung diperiksakan di pelayanan kesehatan terdekat, pemeriksaan kesehatan dan menimbang anak secara rutin setiap bulan akan menunjang pada tumbang anak dan mengurangi kesakitan. Oleh karena itu pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan dianjurkan untuk dilakukan secara menyeluruh mencakup aspek kuratif, preventif, promotif dan rehabilitatif.

Kepekaan Penyakit

sunting

Dengan memberikan imunisasi maka diharapkan anak terhindar dari penyakit-penyakit yang sering menyebabkan cacat atau kematian.

Macam-Macam Lingkungan Fisik

sunting

Cuaca, musim, keadaan geografis suatu daerah

sunting

Musim kemarau yang panjang/adanya bencana alam lainnya dapat berdampak pada tumbuh kembang anak seperti gagal panen yang akan berakibat banyak anak kurang gizi. Gondok endemik banyak ditemukan pada daerah pegunungan di mana air tanahnya kurang mengandung yodium.

Sanitasi

sunting

Sanitasi lingkungan memiliki peranan dominan dalam penyediaan lingkungan yang mendukung kesehatan dan tumbang anak.

Kebersihan

sunting

Kebersihan, baik kebersihan perorangan maupun lingkungan memegang peranan penting dalam timbulnya penyakit. Akibat dari kebersihan lingkungan yang kurang, maka anak akan mudah sakit (diare, kecacingan, demam berdarah, hepatitis).

Polusi Udara

sunting

Polusi udara baik yang berasal dari pabrik maupun asap kendaraan maupun asap rokok dapat berpengaruh terdapat tingginya angka kejadian ISPA (infeksi Saluran Pernafasan Akut) jika anak sering menderita sakit, maka tumbuh kembangnya pasti akan terganggu.

Keadaan rumah, struktur bangunan, ventilasi, cahaya dan kepadatan hunian

sunting

Keadaan perumahan yang layak dengan konstruksi bangunan yang tidak membahayakan penghuninya, serta tidak penuh sesak akan menjamin kesehatan penghuninya.

Radiasi

sunting

Tumbuh kembang anak dapat terganggu akibat adanya radiasi yang tinggi.

Dampak Lingkungan Biofisik terhadap Ketersediaan Pangan dan Status Gizi Masyarakat

sunting

Ketersediaan pangan (food availability) yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu Negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).[6] Faktor penyebab terjadinya rawan produksi maupun rawan cadangan pangan yaitu (FKM UI, 2010): 1. Bencana alam (banjir, longsor, kekeringan) 2. Gangguan hama 3. Pencemaran lingkungan 4. Terbatasnya sarana prasarana 5. Pertambahan penduduk Rawan produksi/cadangan makanan akan mengganggu ketersediaan pangan, baik itu ditingkat keluarga, masyarakat maupun wilayah/daerah. Dari faktor penyebab di atas, merupakan dampak yang diakibatkan oleh lingkungan fisik. Penanganan gizi sangat terkait dengan strategi sebuah bangsa dalam menciptakan SDM yang sehat, cerdas dan produktif.[7]

Lingkungan biofisik yang tidak memadai akan berdampak terhadap ketersediaan pangan yang serta merta akan berdampak pada status gizi masyarakat di wilayah tersebut. Status gizi merupakan suatu keadaan tubuh akibat interaksi antara asupan energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan keadaan kesehatan tubuh. Status gizi masyarakat dapat diketahui melalui penilaian konsumsi pangannya berdasarkan data kuantitatif maupun kualitatif (Supariasa, 2001).[8] Dari penjelasan lingkungan biofisik diatas, status gizi dapat disebabkan oleh faktor penyebab langsung dan tidak langsung. Lingkungan biofisik yang menjadi penyebab tidak langsung permasalahan gizi adalah ketahanan pangan, perawatan kesehatan, dan sanitasi, sedangkan yang menjadi penyebab langsung yaitu kepekaan penyakit dan gizi.

Permasalahan Dalam Bidang Pangan Dan Gizi

sunting

Permasalahan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan beraktivitas dengan baik untuk sementara waktu dalam jangka panjang. Ada dua jenis permasalahan pangan, yaitu yang bersifat kronis dan bersifat sementara. Permasalahan pangan kronis merupakan kondisi kurang pangan (untuk tingkat rumah tangga berarti kepemilikan pangan lebih sedikit daripada kebutuhan dan untuk tingkat individu konsumsi pangan lebih rendah dari pada kebutuhan biologis) yang terjadi sepanjang waktu. Sedangkan permasalahan pangan kronis mencakup permasalahan pangan musiman. Permasalahan ini terjadi karena adanya keterbatasan ketersediaan pangan oleh rumah tangga, terutama masyarakat yang berada di pedesaan (Soemarno, 2012).[9] Berdasarkan aspek penyediaan pangan, permasalahan pangan di Indonesia adalah sebagai berikut (Badan Ketahanan Pangan, 2014):[10] Semakin terbatasnya ketersediaan lahan pertanian pangan karena alih fungsi lahan pertanian pangan ke non pangan, Degradasi lingkungan yang menurunkan sumber daya air untuk pertanian, Pengaruh perubahan iklim ekstrem terhadap sektor pertanian (produksi dan produktivitas), Lemahnya kelembagaan petani dan kecenderungan petani bekerja sendiri-sendiri, Ketidakseimbangan akses terhadap sumber daya, modal, dan teknologi antar wilayah, Tingginya proporsi kehilangan hasil pertanian dan pemborosan pangan (30% dari total produksi pangan)., Tidak berkembangnya industri pengolahan dan penciptaan nilai tambah produk primer pertanian, Tidak berkembangnya sektor jasa penunjang pertanian, belum tersedianya prasarana dan sarana transportasi baik darat dan terlebih antar pulau, sehingga meningkatkan biaya distribusi pangan, buruknya infrastruktur yang menghubungkan sentra produksi dengan kota, buruknya kelembagaan pasar dan tingginya biaya transaksi, waktu panen tidak merata antar waktu dan daerah, lokasi sentra produksi bahan pangan masih terpusat di beberapa wilayah, cadangan pangan pemerintah masih terbatas (hanya beras).

Sedangkan pada aspek konsumsi permasalahan pangan yang ditemui adalah sebagai berikut (Dewan Ketahanan Pangan, 2014):[11] Peningkatan populasi global khususnya di kawasan Asia dan di antaranya 75 % berada di negara berkembang, Laju pertumbuhan rata-rata di Indonesia sebesar 1,38% per tahun, dengan jumlah penduduk tahun 2013 mencapai 248,82 Juta Jiwa, Meningkatnya rata–rata pendapatan per kapita di negara Asia sehingga meningkatkan permintaan pangan dari segi kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan, perubahan struktur demografis dan urbanisasi, meningkatnya jumlah wanita yang bekerja sehingga meningkatkan kebutuhan akan makanan olahan., peningkatan kebutuhan bahan pangan sebagai sumber energi, pakan, dan kegunaan industri (penyebab volatilitas harga pangan), ketergantungan konsumsi pada salah satu jenis bahan pangan (beras) sangat tinggi, dan belum optimalnya pemanfaatan pangan lokal untuk konsumsi pangan harian, proporsi jumlah penduduk rawan pangan masih cukup besar dan cenderung meningkat, masih terjadinya kasus keracunan akibat penggunaan bahan kimia berbahaya pada makanan sehingga menimbulkan rendahnya ketahanan pangan masyarakat, rendahnya kualitas dan kuantitas pola konsumsi pangan penduduk, karena pengetahuan, budaya dan kebiasaan makan masyarakat kurang mendukung konsumsi pangan yang B2SA , Skor PPH cenderung mengalami penurunan dan dikelola oleh pemerintah pusat), sementara cadangan pemerintah daerah dan masyarakat belum berkembang termasuk belum optimalnya pemanfaatan dan pengelolaan lumbung pangan masyarakat.[12]

Ketahanan Pangan

sunting

Ketahanan pangan diindikasikan oleh terpenuhinya pangan bagi rumah tangga secara kualitas maupun kuantitas, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan juga merupakan suatu sistem, sehingga faktor–faktor yang mempengaruhinya perlu dikenali. Awal orde baru kebijakan ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada pendekatan penyediaan pangan yang dikenal dengan FAA (food availibility approach). Pendekatan ini tidak memperhatikan aspek distribusi dan akses terhadap pangan. Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah jika pasokan pangan tersedia, maka para pedagang akan menyalurkan pangan tersebut ke seluruh wilayah secara efisien.[13] Selain itu, harga pangan akan tetap stabil pada tingkat yang wajar sehingga dapat dijangkau oleh seluruh keluarga. Meskipun tersedia pangan yang cukup, sebagian orang masih menderita kelaparan karena tidak mempunyai cukup akses terhadap pangan. Fenomena ini disebut sebagai “hunger paradoks”. Hal ini seperti itulah yang menyebabkan pendekatan ketersediaan pangan gagal mencapai ketahanan pangan berkelanjutan di beberapa negara.

Tahun 1980–an terjadi pergeseran terhadap konsep ketahanan pangan yang ditekankan pada akses pangan ditingkat rumah tangga dan individu. Berkaitan dengan pergeseran konsep maka kerangka ketahanan pangan berada dalam suatu jenjang, yaitu ketahanan pangan wilayah, rumah tangga dan individu. Ketahanan wilayah tidak menjamin ketahanan rumah tangga. Ketahanan pangan rumah tangga tidak akan menjamin ketahanan pangan individu. Ketahanan pangan individu akan menjamin ketahanan pangan disemua jenjang. Definisi ketahanan pangan yang telah diterima secara luas oleh praktisi maupun akademisi adalah “access for all people at all times to enough food for an active and healthy life” (Zeitlin, 1990 ; Braun, 1992 ; IFPRI, 1992 ; Chung, 1997 ; Sutrisno, 1998 ; IFPRI, 1999 ; Sudaryanto, 2000 dalam Baliwati, 2001).[14][15][16][17][18][19][20][21] Makanan yang terkandung dalam definisi tersebut adalah setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat. Dalam konteks rumah tangga, definisi tersebut didasarkan pada konsep entitlement atau kemampuan untuk menguasai pangan seperti dikemukakan Sen (1981)[22] dalam Maxwell dan Frankenberger (1992).[23] Indonesia telah mengadopsi rumusan ketahanan pangan tersebut dan dituangkan kedalam undang – undang RI Nomor 7 tahun 1996.

Elemen-Elemen Sistem Ketahanan Pangan

sunting
 
Faktor Yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan

Indonesia telah mengadopsi rumusan ketahanan pangan dan dituangkan ke dalam undang–undang RI Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan ketahanan pangan di definisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan terdiri dari elemen: Ketersediaan pangan, Aksesibilitas yang menggambarkan kemampuan untuk menguasai pangan yang cukup., Keamanan yang dapat diartikan sebagai stabilitas (menunjuk pada kerentanan internal seperti penurunan produksi) dan keandalan (menunjuk pada kerentanan eksternal seperti fluktuasi perdagangan internasional), Keberlanjutan merupakan kontinuitas dari akses dan ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh usaha tani. Secara umum, ketahanan pangan mencakup empat aspek, yaitu kecukupan (sufficiency), akses (access), keterjaminan (security) dan waktu (time). Secara teoritas, terdapat 2 tipe ketidaktahanan pangan, yaitu kronis dan transitori. Ketidaktahanan pangan kronis adalah ketidakcukupan pangan secara menetap akibat ketidakmampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang dibutuhkan melalui pembelian di pasar atau melalui produksi sendiri. Kondisi seperti ini berakar pada kemiskinan. Ketidaktahanan pangan transitori adalah penurunan akses pangan yang dibutuhkan rumah tangga secara temporer. Hal ini disebabkan adanya bencana alam, sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga, produksi, dan atau pendapatan. Dengan adanya 4 elemen tersebut, maka ketahanan pangan dipandang sebagai suatu sistem seperti terdapat pada gambar 1. Sistem ketahanan pangan merupakan rangkaian dari 3 komponen utama yaitu: Ketersediaan dan stabilitas pangan (food availibility and stabillity), Kemudahan memperoleh pangan (food accessibility), Pemanfaatan pangan (food utilization).

Referensi

sunting
  1. ^ Haeckel, Ernst Heinrich Philipp August (1866). Generelle morphologie der organismen. Allgemeine grundzüge der organischen formen-wissenschaft, mechanisch begründet durch die von Charles Darwin reformirte descendenztheorie, von Ernst Haeckel. Berlin,: G. Reimer,. 
  2. ^ a b Hidayat, Herman (2015). Pengelolaan Hutan Lestari: Partisipasi, Kolaborasi dan Konflik. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-968-1. 
  3. ^ a b c Almatsier, Sunita (2002). Prinsip dasar ilmu gizi. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-655-686-1. 
  4. ^ Meiflorisa, Ertriani Anindya; Tejasari, Tejasari; Giyarto, Giyarto (2017-10-02). "INDEKS GLIKEMIK NUGET TEMPE SAWI PECAY". JURNAL AGROTEKNOLOGI. 11 (1): 35. doi:10.19184/j-agt.v11i1.5441. ISSN 2502-4906. 
  5. ^ Khomsan, Ali. "Food frequency and nutritional status of Asian children in the WIC program". Iowa State University. 
  6. ^ author., Adriani, Merryana,. Pengantar gizi masyarakat. ISBN 978-602-9413-22-9. OCLC 900608122. 
  7. ^ Syafiq, Ahmad; Fikawati, Sandra (2007-06-01). "Tracer Study : Melacak Jejak Lulusan FKM UI (Hasil Study Kualitatif Tracer Sarjana Kesehatan Masyarakat FKM UI 2006)". Kesmas: National Public Health Journal. 1 (6): 252. doi:10.21109/kesmas.v1i6.285. ISSN 2460-0601. 
  8. ^ "Penilaian status gizi / I Dewa Nyoman Supariasa | Perpustakaan UIN Sultan Syarif Kasim Riau". inlislite.uin-suska.ac.id. Diakses tanggal 2022-01-05. 
  9. ^ "Kompendium ketahanan-pangan - [PPT Powerpoint]". cupdf.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-05. 
  10. ^ Pangan, Dewan Ketahanan (2007-03-13). "KEBIJAKAN UMUM KETAHANAN PANGAN 2006 – 2009". Jurnal Gizi dan Pangan. 1 (1): 57. doi:10.25182/jgp.2006.1.1.57-63. ISSN 2407-0920. 
  11. ^ Adam, Latif; Dwiastuti, Inne (2016-03-23). "ISU KELEMBAGAAN DALAM PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN: PEMBELAJARAN DARI KABUPATEN KLATEN, JAWA TENGAH". Jurnal Kependudukan Indonesia (dalam bahasa Inggris). 7 (2): 55–75. doi:10.14203/jki.v7i2.24. ISSN 2502-8537. 
  12. ^ Saryono; Proverawati, Atikah (2019). "The potency of black garlic as anti-atherosclerotic: Mechanisms of action and the prospectively". AIP Conference Proceedings. Author(s). doi:10.1063/1.5097496. 
  13. ^ Sukandar, Dadang; Khomsan, Ali; Herawati, Tin (2009-11-12). "KAJIAN PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI KELUARGA UNTUK PENINGKATAN AKSES PANGAN". Jurnal Gizi dan Pangan. 4 (3): 157. doi:10.25182/jgp.2009.4.3.157-166. ISSN 2407-0920. 
  14. ^ Zeitlin, Marian F.; Ghassemi, Hossein; Mansour, Mohamed; University, United Nations; Programme, Joint WHO/UNICEF Nutrition Support (1990). "Positive deviance in child nutrition : with emphasis on psychosocial and behavioural aspects and implications for development" (dalam bahasa Inggris). 
  15. ^ Braun, Hans-Joachim (1992-05-01). "Introduction". Social Studies of Science (dalam bahasa Inggris). 22 (2): 213–230. doi:10.1177/030631292022002002. ISSN 0306-3127. 
  16. ^ "Improving Food Security of the Poor". www.ifpri.org. Diakses tanggal 2022-01-05. 
  17. ^ "Assessing the contribution of aquaculture to food security: a survey of methodologies". www.fao.org. Diakses tanggal 2022-01-05. 
  18. ^ Sutrisno, Joko; Sugihardjo, Sugihardjo (2018-04-19). "The Competitiveness of Red Onion Production In Brebes, Central Java". Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture. 18 (2): 97–105. doi:10.20961/carakatani.v18i2.20380. ISSN 2599-2570. 
  19. ^ "Operationalizing Household Food Security in development projects". www.ifpri.org. Diakses tanggal 2022-01-05. 
  20. ^ Sudaryanto, Tahlim; Rusastra, I. Wayan (2016-09-01). "Kebijaksanaan dan Perspektif Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam Mendukung Otonomi Daerah". Forum penelitian Agro Ekonomi. 18 (1-2): 52–64. doi:10.21082/fae.v18n1-2.2000.52-64. ISSN 2580-2674. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-05. Diakses tanggal 2022-01-05. 
  21. ^ Apdita, Frema; Baliwati, Yayuk Farida (2012). "KETAHANAN PANGAN DI KOTA PAGARALAM, PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN 2001—2010". Jurnal Gizi dan Pangan (dalam bahasa Inggris). 7 (2): 57–64. doi:10.25182/jgp.2012.7.2.57-64. ISSN 2407-0920. 
  22. ^ Burchi, Francesco; De Muro, Pasquale (2016-04-01). "From food availability to nutritional capabilities: Advancing food security analysis". Food Policy. Towards a food secure future: Ensuring food security for sustainable human development in Sub-Saharan Africa (dalam bahasa Inggris). 60: 10–19. doi:10.1016/j.foodpol.2015.03.008. ISSN 0306-9192. 
  23. ^ "Maxwell, S. and Frankenberger TR.1992. Household food security: Concepts, Indicators, measurements. A technical review. New York and Rome: UNICEF/ International Fund for Agricultural Development". www.sciepub.com. Diakses tanggal 2022-01-05.