Erosi

proses alami pengikisan tanah dan batuan

Erosi atau pengikisan[1] (dari bahasa Latin erosionem "menggerogoti") adalah suatu peristiwa yang terjadi secara alami oleh pengikisan padatan (endapan, tanah, batuan, dan partikel lainnya) akibat transportasi oleh angin, tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi[2] atau oleh makhluk hidup semisal hewan yang membuat liang atau pertumbuhan akar tanaman yang mengakibatkan retakan tanah yang dalam hal ini disebut bioerosi.[3] Erosi tidak sama dengan pelapukan akibat cuaca, yang mana merupakan proses penghancuran mineral batuan dengan proses kimiawi maupun fisik, atau gabungan keduanya. Secara umum erosi melibatkan tiga proses yaitu pelepasan (detachment), transformasi (transformation), dan pengendapan (sedimentation).[4]

Erosi di Amerika Serikat.
Erosi di Israel.

Erosi yang terjadi dapat membentuk banyak penampakan alam menarik seperti puncak gunung, lembah dan garis pantai.[2] Erosi sebenarnya merupakan proses alami yang mudah dikenali, namun di kebanyakan tempat kejadian ini diperparah oleh aktivitas manusia dalam tata guna lahan yang buruk, penggundulan hutan, kegiatan pertambangan, perkebunan dan perladangan, kegiatan konstruksi atau pembangunan yang tidak tertata dengan baik dan pembangunan jalan. Tanah yang digunakan untuk menghasilkan tanaman pertanian biasanya mengalami erosi yang jauh lebih besar dari tanah dengan vegetasi alaminya. Alih fungsi hutan menjadi ladang pertanian meningkatkan erosi, karena struktur akar tanaman hutan yang kuat mengikat tanah digantikan dengan struktur akar tanaman pertanian yang lebih lemah.

Dampak sunting

Dampak dari erosi adalah menipisnya lapisan permukaan tanah bagian atas, yang akan menyebabkan menurunnnya kemampuan lahan (degradasi lahan).[5] Akibat lain dari erosi adalah menurunnya kemampuan tanah untuk meresapkan air (infiltrasi). Penurunan kemampuan lahan meresapkan air ke dalam lapisan tanah akan meningkatkan limpasan air permukaan yang akan mengakibatkan banjir di sungai. Selain itu butiran tanah yang terangkut oleh aliran permukaan pada akhirnya akan mengendap di sungai (sedimentasi) yang selanjutnya akibat tingginya sedimentasi akan mengakibatkan pendangkalan sungai sehingga akan memengaruhi kelancaran jalur pelayaran.[6]

Erosi dalam jumlah tertentu sebenarnya merupakan kejadian yang alami, dan baik untuk ekosistem. Misalnya, kerikil secara berkala turun ke elevasi yang lebih rendah melalui angkutan air. erosi yang berlebih, tentunya dapat menyebabkan masalah, semisal dalam hal sedimentasi, kerusakan ekosistem dan kehilangan air secara serentak.

Faktor Penyebab sunting

Banyaknya erosi tergantung berbagai faktor yang mempengaruhinya meliputi iklim, vegetasi, karakteristik tanah, penggunaan lahan, dan topografi.[7] Faktor Iklim, termasuk besarnya dan intensitas hujan / presipitasi, rata-rata dan rentang suhu, begitu pula musim, kecepatan angin, frekuensi badai. faktor geologi termasuk tipe sedimen, tipe batuan, porositas dan permeabilitasnya, kemiringan lahan. Faktor biologis termasuk tutupan vegetasi lahan, makhluk yang tinggal di lahan tersebut dan tata guna lahan oleh manusia.

Umumnya, dengan ekosistem dan vegetasi yang sama, area dengan curah hujan tinggi, frekuensi hujan tinggi, lebih sering kena angin atau badai tentunya lebih terkena erosi. sedimen yang tinggi kandungan pasir atau silt, terletak pada area dengan kemiringan yang curam, lebih mudah tererosi, begitu pula area dengan batuan lapuk atau batuan pecah. porositas dan permeabilitas sedimen atau batuan berdampak pada kecepatan erosi, berkaitan dengan mudah tidaknya air meresap ke dalam tanah. Jika air bergerak di bawah tanah, limpasan permukaan yang terbentuk lebih sedikit, sehingga mengurangi erosi permukaan. Sedimen yang mengandung banyak lempung cenderung lebih mudah bererosi daripada pasir atau silt. Dampak sodium dalam atmosfer terhadap erodibilitas lempung juga sebaiknya diperhatikan.

Faktor yang paling sering berubah-ubah adalah jumlah dan tipe tutupan lahan. pada hutan yang tak terjamah, mineral tanah dilindungi oleh lapisan humus dan lapisan organik. kedua lapisan ini melindungi tanah dengan meredam dampak tetesan hujan. lapisan-lapisan beserta serasah di dasar hutan bersifat porus dan mudah menyerap air hujan. Biasanya, hanya hujan-hujan yang lebat (kadang disertai angin ribut) saja yang akan mengakibatkan limpasan di permukaan tanah dalam hutan. bila Pepohonan dihilangkan akibat kebakaran atau penebangan, derajat peresapan air menjadi tinggi dan erosi menjadi rendah. kebakaran yang parah dapat menyebabkan peningkatan erosi secara menonjol jika diikuti denga hujan lebat. dalam hal kegiatan konstruksi atau pembangunan jalan, ketika lapisan sampah / humus dihilangkan atau dipadatkan, derajad kerentanan tanah terhadap erosi meningkat tinggi.

Jalan, secara khusus memungkinkan terjadinya peningkatan derajat erosi, karena, selain menghilangkan tutupan lahan, jalan dapat secara signifikan mengubah pola drainase, apalagi jika sebuah embankment dibuat untuk menyokong jalan. Jalan yang memiliki banyak batuan dan hydrologically invisible ( dapat menangkap air secepat mungkin dari jalan, dengan meniru pola drainase alami) memiliki peluang besar untuk tidak menyebabkan pertambahan erosi.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ (Indonesia) Arti kata pengikisan dalam situs web Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
  2. ^ a b Putri, Arum Sutrisni (2019-12-22). Nailufar, Nibras Nada, ed. "Pengertian Erosi dan Akibatnya". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-12-30. 
  3. ^ Society, National Geographic (2018-03-20). "erosion". National Geographic Society (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-01-18. 
  4. ^ "Erosion | Soils 4 Teachers". www.soils4teachers.org. Diakses tanggal 2021-01-18. 
  5. ^ Government, Queensland. "Impacts of erosion | Erosion". www.qld.gov.au (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-01-18. 
  6. ^ Azmeri, Azmeri (2020). Erosi, Sedimentasi, dan Pengelolaannya. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press. hlm. 15. ISBN 9786232641006. 
  7. ^ Lihawa, Fitriyane (2017). Daerah Aliran Sungai Alo Erosi, Sedimentasi, dan Longsor. Yogyakarta: Deepublish. hlm. 47. ISBN 9786024537197.