Foto esei adalah salah satu jenis fotografi. Foto esei mempunyai cara pembuatan yang dapat dibagi menjadi tiga cara yaitu foto yang diambil secara candid, foto dipose atau campuran keduanya. Hal ini membuat sebagian dari foto esei dibuat dengan perencanaan yang matang dari jadual pertemuan, jadual pemotretan, alat yang digunakan, adegan yang dibuat, tetapi ada juga yang dibuat secara spontan atau gabungan antara perencanaan matang dan spontan. Walaupun begitu tetap fotografer ini membuat tema tertentu dan membuat cerita dengan foto.
Roland Barthes mengatakan tentang pembacaan kode gambar yang berurut dan sering disebut photo-essay. “Naturally,” he said, “ Several photographs can coe together to form a sequence (..), the signifier of connotation is then no longer to be found at the level of any one of the fragments of the sequence but at that-what the liquistics would call the suprasegmental level-of the concatenation (Rhetoric of Image, IMT, 25 dalam Shloss, 1997). Secara teknis pembacaan foto oleh Barthes ada dua yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi foto merupakan penggambaran realitas secara literal, sedangkan konotasi foto lebih merupakan penggambaran arti foto yang lebih dalam atau juga masalah sosial dan budaya sebagai rujukan (Barrett, 2006; Zahar, 2010) Pada pembacaan foto esei tentunya akan sulit dibaca terpisah, tetapi apakah pembacaan foto esei tidak dapat dipisah?. Penjelasan ini akan dicoba dengan ssalah satu contoh yang terkenal di dunia fotografi dan dibuat oleh W. Eugene Smith sekitar th 1971 yang menggambarkan nelayan nelayan yang keracunan merkuri akibat buangan limpah pabrik pupuk Chisso di Jepang.[1] Denotasi dari salah satu foto Eugene Smith adalah tangan yang memperlihatkan bentuk yang tidak normal dan seperti mencengkram. Sedangkan konotasi dari foto ini suatu bentuk tangan yang berkesan tidak normal ini ikut membuat kita bertanya tanya apa yang terjadi pada pemilik tangan tersebut. Tentunya foto Eugene Smith akan lebih mudah dipahami konotasinya bila dilihat keseluruhan foto-foto tersebut. Pembacaan foto esei ini perlu dilihat secara berurut karena ada unsur penceritaannya, sehingga para fotografer esei ini dikenal juga sebagai “story teller”. Penelitian ini menggunakan wawancara melalui sosial media terhadap dua fotografer, Aji Susanto Anom dan Samuel Rama Surya.
Cara bercerita foto esei agak berbeda dengan pembuatan film fiksi yang biasa selalu ada adegan puncak atau konflik. Sedangkan pada foto-foto Eugene Smith meliputi banyak dan kemungkinan dibuat sesuai urutan kejadian. Pemotretan para korban merkuri dari anak-anak sampai orang dewasa, kondisi lingkungan di sekitar minamata, nelayan yang sedang menangkap ikan yang terpolusi, ikan-ikan yang terpolusi, protes di pabrik chisso, orang-orang di pabrik chisso, pengadilan sampai dengan gambar otak yang terkena korban merkuri. Secara cerita bukan hal yang sulit, tetapi membuat foto-foto itu menjadi beremosi dan membuat pengamat berempati membutuhkan keahlian yang tinggi. Jenis foto esei memiliki karakteristik sosio documenter yang hampir selalu menampilkan kenyataan sosial melalui gaya pandang kebenaran dan kejujuran visual (Datoem, 2013)
Style foto esei ini termasuk dalam satu genre Documentary. Aliran documentary ini sudah sejak zaman kolonial karena foto-foto ini digunakan untuk pemetaan, topografi dan kepentingan penjajah (Sandler M., 2002). Perkembangan foto esei yang pertama oleh Margareth Bourke White dan keluar pada majalah Life tahun 1936 berjudul “Boom Town-Fort Peck”. Foto White agak kaku dalam pose karena dibuat dengan kamera view (large format camera) juga tidak menggunakan cahaya seadanya melaingkan digunakan lampu kilat (Chapnick, 1994). Pemotretan foto esei dibuat ada tiga cara yaitu dengan di pose, candid atau campuran antara pose dan candid. Cara pose banyak dilakukan Magareth Bourke White, Eugene Smith dan Sebastio Salgado. Fotografer - fotografer National Geographic dan Geo (Zahar, 1996) juga menggunakan pose dan candid untuk membuat foto esei mereka. Di Indonesia yang membuat foto esei dengan teknik gabungan pose dan candid adalah Frans Mendur, Ed Zulverdi, Kartono Ryadi, Oscar Mottuloh, Erik Prasetya, Kemal Djufri, Rama Surya (Surya, R, Komunikasi Pribadi, 7 Maret 2016). Kemungkinan hanya Henry Cartier Bresson, Robert Capa dan Robert Frank yang membuat foto esei dengan candid. Juga fotografer Magnum (Zahar, 1996) dari India yang baru, Sohrab Hura. Henry Cartier Bresson, Robert Capa dan Robert Frank hampir semua fotonya candid. Apakah mungkin foto yang dibuat candid dikategorikan sebagai foto esei. Awalnya kebanyakan foto esei dibuat bukan candid karena alat kamera yang bukan SLR 35 mm dan kamera Leica didesain th 1911-1913 oleh Oskar Barnak (Zahar, 1998), sehingga foto esei bisa dibuat secara candid. Pembuatan foto esei tidak selalu harus dibuat dengan perencanaan matang adegan per adegan seperti yang dilakukan oleh W.Eugene Smith. Saat pemotretan di Minamata, Smith mengatur adegan ibu yang bernama Ryoko Uemura memandikan anaknya. Walaupun ada beberapa foto Eugene Smith yang diambil dengan candid. Tentu saja kunci keberhasilan foto esei salah satunya harus mengenal subject matter atau kenal situasinya. Walaupun fotografer Candid seperti Henry Cartier Bresson mengambil foto candid tanpa permisi dan tidak kenalan dengan orang yang difoto, tetapi karya terbaiknya kebanyakan ditempat yang dia kenal baik yaitu negaranya sendiri, Prancis. Demikian pula dengan fotografer Frans Mendur yang mengambil foto esei Jendral Soedirman dan mengikuti masuk hutan dan gunung ke Yogjakarta (Adam, 2010). Tentunya foto ini tanpa perencanaan dan penataan cahaya seadanya bukan seperti Eugene Smith yang mengatur pose Ibu Ryoko Uemura dan waktu pemotretan supaya sinar matahari jatuh sesuai kehendak pemotret. Walaupun Frans Mendur biasa juga memotret features (Zahar,1997) tetapi saat pemotretan esei Jendral Soedirman lebih banyak candid karena situasi yang mengikuti Jendral Soedirman (Adam, 2010). Adegan diatur merupakan suatu langkah terobosan baru di Jepang sekitar th 1960an. Fotografer di Jepang banyak yang melakukan “street photography”, tetapi fotografer Eikoh Hosoe malah melakukan foto yang diatur. Dia memotret penemu tarian Ankoku Butoh dan mengunjungi desa di utara Jepang. Terinspirasi dengan legenda Kamaitachi yang menceritakan hantu yang menghantui pedesaan Jepang masa kecil Hosoe ini. Cerita ini dibuat jadi seperti pertunjukan panggung di desa dan Eikoh Hosoe memotret penari dan orang-orang di desa tersebut. Foto ini diatur dengan urutan cerita tetapi tetap bukan kategori esei. Rekaman ini cerita fiktif dan lebih merupakan ekspresi seni Eikoh Hosoe dan lebih tepat dikategorikan sebagai foto fine art atau seni murni.
Tema pada foto esei bervariasi dan biasa fotografer mengangkat issue yang populer pada masanya. Majalah National Geographic mengangkat issue dari berbagai belahan dunia dan temanya berkaitan masalah sosial, sains, arkeologi, antropologi, geografi. Pembuatan foto sekitat 6 bulan dan dari puluhan ribu foto yang dibuat hanya sekitar belasan saja yang dipilih. Pembuatan foto esei kadang tidak diperlukan dengan waktu sepanjang 6 bulan atau bertahun-tahun, tetapi pengenalan yang mendalam dengan orang yang difoto dilakukan oleh Bruce Davidson yang memotret “Jimmy the clown, 1958” dalam waktu seminggu. Pendalaman tema seperti yang dilakukan oleh Sebastio Salgado yang memotret pekerja buruh termiskin di dunia ketiga dilakukan bertahun-tahun. Tema foto terkini dan jarang dibuat sering dipilih juga untuk lomba foto World Press Photo yang merupakan ajang lomba untuk wartawan foto paling bergengsi dan liputannya luas. Pemenang biasa memotret dengan tema-tema yang baru dan jarang dilihat sebelumnya, seperti penderita penyakit AIDs, pengguna Narkoba, kaum LGBT dsb (Zahar, 1997;2002). Tidak tertutup kemungkinan mengembangkan subject matter benda atau menggunakan benda sebagai pelengkap atau malah yang utama dalam foto esei. Apakah buku the Creation (Haas, 1976) dari Ernst Haas dan buku karya Ansel Adams boleh disebut foto foto esei? Buku The Creation boleh disebut foto yang bercerita mengenai urutan penciptaan Allah yang ada pada buku kitab injil Kejadian, mulai dari penciptaan bumi, binatang sampai manusia yang terakhir. Pembuatan foto dengan tema tersebut berasal dari suatu kebetulan. Asisten Ernst Haas yang mengumpulkan foto-foto Ernst Haas mengatakan foto-foto ini seperti penciptaan alam semesta dan segala isinya (The Creation) oleh Allah. Barulah Ernst Haas membuat foto-foto lagi untuk melengkapi cerita penciptaan Sedangkan buku karya-karya Ansel Adams lebih berupa kumpulan foto landscape yang bagus tetapi tidak membentuk urutan cerita.. Dilihat dari definisi foto esei adalah kumpulan foto yang diurutkan untuk menceritakan suatu kejadian. Kalau dilihat dari definisi seakan foto Ernst Haas bisa masuk kategori esei, tetapi sebenarnya foto esei lebih menceritakan sesuatu kejadian yang mempunyai nilai berita dan akan dipublikasikan di majalah, surat kabar maupun buku. Foto Ernst Haas lebih merupakan proyek pribadi foto untuk ekspresi diri dan lebih tepat sebagai foto fine art. Begitu pula dengan Aji Susanto Anom, fotografer muda Indonesia yang dipublikasi pada majalah online asuhan David Allan Harvey. Foto-fotonya menggambarkan mimpi dia dan lebih kearah buku harian dan menurut Aji sendiri bukan termasuk foto esei.[2]
Caption (tulisan dibawah gambar) berbeda dengan judul dari suatu tulisan. Caption biasa dibawah gambar untuk memudahkan pembaca sehingga tidak memerlukan membaca tulisan (Detrani, 2011). Walaupun teks pernah dianggap kurang penting dalam seni foto atau fine art pada saat Modernism seperti kelompok Ansel Adams, dan pernah publikasi majalah Aperture tanpa caption pada foto-fotonya ((Barrett, 2006), tetapi foto esei hampir selalu membutuhkan caption. Foto esei dengan urutan gambar tetap akan sukar dipahami tanpa teks. Boleh dibilang mirip dengan film bisu. Pertanyaan selanjutnya apakah bisa dibandingkan dengan media lain yang menggunakan urutan gambar juga seperti komik dan film?
Urutan gambar sebelum foto esei banyak dibuat fotografer sebenarnya sudah dibuat oleh pioner foto Eadweard muybridge yang membuat studi mengenai pergerakan dalam persekian detik. Gerakan manusia berjalan dan binatang direkam pergerakannya. Urutan gambar ini tidak bisa disebut foto esei karena Muybridge bereksperimen dengan gerakan manusia atau binatang. Adanya urutan foto kuda itu membuat pengamat tahu kalau kuda digambarkan dengan kaki yang melayang di udara oleh pelukis, baru diketahui kalau hal itu tidak mungkin setelah Muybridge memotretnya Uruan-urutan gambar yang memperlihatkan gerakan juga diperlihatkan oleh komikus Kho Wan Gie yang menggambar tokoh Put On (Zahar & Masdiono, 2015). Kho Wan Gie menggambar urutan kejadian dari frame ke frame kejadian yang berurut dan diambil dari satu sudut jadi ada kemiripan dengan sudut pengambilan Eadweard Muybridge. Hal urutan gambar juga dibahas oleh komikus Will Eisner yang mengatakan “Timing” dan “Rhythm” (hal 33). Hal timing dan rhythm ada pada komik Put On, tetapi suatu perbandingan yang lain bila diterapkan pada foto esei. Perbedaan nyata terlihat karena panel yang dibuat komik memperlihatkan semua urutan dan dalam komik. Bentuk frame memanjang ada tepi atau tidak ada tepi mempengaruhi “Timing” dan “Rhythm” pada komik, hal ini yang tidak ada pada foto. Foto esei biasa disusun dalam satu halaman bersama teks. Sehingga tidak ada istilah “Timing” dan “Rhythm”. Juga hampir tidak ada fotografer esei yang mengambil gambar dari satu sudut dan tidak berubah seperti orang mengarahkan kamera pada panggung yang tidak bergerak. Itu seperti orang motret adegan teater Koma atau Srimulat. Hampir tidak ada fotografer esei melakukan hal tersebut dan biasanya sudut pengambilan fotografer jurnalistik bervariasi. Ada juga fotografer yang membuat cerita atau “story teller” dalam bentuk yang mirip dengan pengambilan film. Duane Michals memasang kamera yang tidak berpindah dan adegan orang diatur seperti seorang sedang memotret di panggung atau seperti pembuat film memasang kamera di tripod dan merekam adegan sandiwara tapi tidak berpindah tempat. Duane Michals mengambil tema bermacam-macam dari cerita prodigal son di kitab suci injil sampai penceritaaan tentang homoseksual atau cerita legenda, dan cerita fantasi. Tentu saja Duane Michals tidak bisa disebut fotografer jurnalistik. Walaupun Eugene Smith dan Sebastio Salgado mengatur adegannya, tetapi realitas tidak berubah. Smith berusaha memperlihatkan kesedihan nelayan jepang yang kehilangan keluarga karena keracunan dan Salgado memperlihatkan kemiskinan orang yang difoto. Smith dan Salgado ada kemiripan lain dalam teknik memotret, keduanya suka menggunakan cahaya chiaroscuro seperti yang dilakukan pelukis Rembrandt van Ryn dan Carravagio. Saat ini sudah tidak terlalu banyak majalah yang memuat banyak foto esei
Kemajuan teknologi juga menyebabkan kurangnya tempat untuk ekspresi emosi dengan foto esei. Surat kabar dan majalah jarang membuat foto esei, tetapi mulai ada juga majalah on line yang menyeleksi portfolio berupa foto esei.
- Adam, A. W. (2010). Menguak Misteri Sejarah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Barrett, T. (2006). Criticizing Photographs, An Introduction to Understanding Images (4 ed.). Boston: Mc Graw Hill.
- Barthes, R. (1977). Image-Music-Text. (S. Heath, Trans.) New York: Hill and Wang.
- Chapnick, H. (1994). Truth Need No Ally: Inside Photojournalism. University of Missouri.
- Datoem, A. (2013). Foto-Etnografi dalam Proses Penciptaan. Jurnal Seni & Budaya Panggung, 23(2), 153-170. Retrieved from http://simlitmas.isbi.ac.id/e-jurnal/index.php/panggung/article/viewFile/94/94
- Detrani, J. R. (2011). Journalism: Theory and Practice. Apple Academic Press.
- Eisner, W. (1985). Comics & Sequential Art. Tamarac: Poorhouse Press.
- Haas, E. (1976). The Creation. Penguin Books.
- Rabate, J.-M. (1997). Writing Images after Roland Barthes. In c. shloss, & J.-M. Rabaté (Ed.), Narrative Liaisson Roland Barthes and The Danger of the Photo Essay (pp. 99–108). University of Pennsylvania Press.
- Sandler, M. W. (2002). Photography An Illustrated History. Oxford: Oxford University Press Inc.
- Zahar, I. (21 January, 1996). Nilai Sebuah Foto (The Value of Photograph). Kompas, p. 20. doi:10.13140/RG.2.1.4226.7925
- Zahar, I. (14 July, 1996). Peranan Majalah Foto dalam Pengembangan Foto. Kompas, p. 24. doi:10.13140/RG.2.1.2391.7843
- Zahar, I. (17 June, 1997). Pengembangan Foto Features. Pikiran Rakyat, p. 12. doi:10.13140/RG.2.1.3702.5046
- Zahar, I. (4 May, 1997). Pentingnya Tema Foto. Kompas, p. 24. doi:10.13140/RG.2.1.4751.0802https://www.academia.edu/21976138/Zahar_I._4_May_1997_._Pentingnya_Tema_Foto._Kompas_p._24
- Zahar, I. (22 April, 1997). Sumber Dana Proyek Pribadi Fotografer. Kompas, p. 11. doi:10.13140/RG.2.1.3309.2884
- Zahar, I. (30 December, 1997). Tema Foto Jurnalistik Penunjang Karier. Pikiran Rakyat, p. 12. doi:10.13140/RG.2.1.4357.8640
- Zahar, I. (3 May, 1998). Plagiat Plagiat di Bidang FOto. Kompas, p. 16. doi:10.13140/RG.2.1.1867.4966
- Zahar, I. (2010). Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Interpretasi Foto. Jakarta: Universitas Negri Jakarta.
- Zahar, I. (2015). Photo Exemplar Classification: The Integration of Photographic Technique. In O. H. Hassan, S. Z. Abidin, R. Legino, R. Anwar, & M. F. Kamaruzaman (Eds.), International Colloqium of Art and Design Education Research (i-CADER 2014) (1 ed., pp. 161–172). Singapore: Springer-Verlag. doi:10.1007/978-981-287-332-3_18 http://umkeprints.umk.edu.my/2721/1/Conference%201.pdf Diarsipkan 2016-10-27 di Wayback Machine.
- Zahar, I., & Masdiono, T. (2015). Visual Character and Context of Put On (1931-1965): The First Indonesian Comics. (J. A. Lent, Ed.) International Journal of Comic Art, 17(2), 572-585.
- Zahar, I. (2002). Kiat Jitu Menembus New York: catatan Fotografer, Creative Media: Jakarta.