Foto jurnalistik adalah sebuah bentuk dari jurnalisme (mengumpulkan, menyunting, dan memperlihatkan bahan berita untuk publikasi atau penyiaran) yang menggunakan gambar-gambar dalam rangka mengabarkan sebuah berita. Foto jurnalistik sekarang sering hanya merujuk gambar-gambar diam, meskipun dalam beberapa kasus istilah tersebut juga merujuk kepada video yang digunakan dalam jurnalisme penyiaran. Foto jurnalistik berbeda dengan cabang-cabang terdekat lainnya dari fotografi (contohnya fotografi dokumenter, fotografi dokumenter sosial, fotografi jalanan atau fotografi selebriti).

Foto jurnalistik biasa dibagi tiga yaitu foto berita spot (spot news), foto berita umum (general news) dan foto esai. Foto spot biasa foto berita yang dibuat tidak terduga seperti kejadian bencana alam, penembakan kepala negara, terorisme dan berita berita lain yang akan membuat foto ini dipasang di halaman muka surat kabar. Foto bertia umum merupakan foto berita yang merekam kejadian yang sudah bisa dipresiksi seperti pelantinkan presiden, upacara bendera kemerdekaan RI, pembukaan sidang MPR dan berita-berita lain yang terjadual dan dianggap punya nilai berita. Sedangkan yang terakhir adalah foto esei yaitu foto yang dibuat berupa rangkaian kejadian yang menceritakan suatu peristiwa. Ada pendapat bawah foto esei bukan monopoli para jurnalitik, foto ulang tahun, foto perkawinan, foto sunatan termasuk dokumentasi foto esei tetapi tidak mempunyai nilai jual pada surat kabar atau media.

Sejarah sunting

Sejarah foto jurnalistik bermula pada tahun 1890-an. Bermula dari Jimmy Hare yang merupakan seorang fotografer jurnalistik Inggris meliput perang Spanyol-Amerika sampai akhir Perang Dunia I dengan dua kamera yang ditenteng menyerupai tas jinjing berbungkus kulit. Foto-fotonya menjadi dasar-dasar kerja seorang fotografer jurnalistik.[1]

Tahun 1891 surat kabar harian New York Morning Journal merupakan pemrakarsa surat kabar yang melampirkan foto tercetak menggunakan halftone screen (perangkat yang mampu memindai titik-titik gambar ke dalam pelat cetakan).[1]

Tahun 1897 halftone photographs mampu dicetak dengan cepat secara masal. Fotografi media cetak semakin terkenal.[1]

Tahun 1930-1950 merupakan era fotojurnalistik di mana terbitan Port Illustrated, The Daily Minror, The New York Daily News, Vu dan LIFE menunjukkan keseriusan dalam bidang foto jurnalistik dengan menampilkan foto-foto yang menawan. Era ini disebut dengan “golden age”.[1]

Tahun 1947 Magnum Photos berdiri. Magnum merupakan agensi foto berita pertama yang menyediakan foto jurnalistik dari berbagai isu di belahan dunia. Menjadi penyedia foto perang paling update. Selain foto perang, Magnum juga mendokumentasikan detail-detail pertumbuhan suatu generasi, para pemuda dan perempuan dan human interest. Black Star juga merupakan agensi yang berkembang dengan pesat di era golden age[1].

Tahun 1959 National Geographic Magazine yang saat ini dikenal dengan National Geographic (NG) mulai memasang foto pada sampul depannya dam berperan dalam perkembangan kemajuan foto jurnalistik. National Geographic (NG) merupakan sebuah media yang menerapkan standar teknis tinggi dalam menghasilkan kualitas fotonya.[1]

Tahun 1976 istilah foto jurnalistik dipopulerkan oleh Prof. Clifton Edom di AS, melalui bukunya Photojournalism, Principles and Practices dan lewat kuliah yang diampunya di Universitas Missouri.[1]

Definisi sunting

Menurut Wilson Hicks (editor foto majalah Life dari 1937-1950),[2] foto jurnalistik merupakan kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang pendidikan dan sosial dari pembacanya. Sedangkan menurut Kenneth Kobre:[3] foto jurnalistik bukan hanya melengkapi berita sebuah edisi sebagai ilustrasi dalam berita, namun foto jurnalistik saat ini mewakili alat terbaik yang ada untuk melaporkan peristiwa umat manusia secara ringkas dan efektif. Mary Warner Marien:[3] juga menjelaskan bahwa efek fotografi bukan terletak pada efek visual namun pada nilai sosialnya. Dalam pengerian lain Oscar Motuloh:[3] pun menjelaskan bahwa, foto jurnalistik merupakan media komunikasi yang menggabungkan elemen verbal dan visual. Elemen verbal berupa kata-kata yang disebut caption yang melengkapi sebuah gambar, karena sebuah foto tanpa keterangan akan kehilangan maknanya. dan James Nachtwey:[3] pun menjelaskan bahwa, sebuah foto dapat merasuki pikiran dan menjangkau hati dengan kekuatan kesegaran. Hal ini mempengaruhi bagian jiwa di mana makna hanya sedikit bergantung pada kata-kata dan membuat satu dampak mendalam, lebih mendasar, lebih dekat mendekat dengan pengalaman mentah.

Foto jurnalistik merupakan bagian dari dunia jurnalisme yang menggunakan bahasa visual untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas dan tetap terikat kode etik jurnalistik. Dalam foto jurnalistik ada etika yang dijunjung tinggi, pesan dan berita yang ingin disampaikan, ada batasan yang tidak boleh dilanggar dan ada peristiwa yang harus ditampilkan dalam sebuah frame. Hal terpenting dalam fotografi jurnalistik adalah nilai-nilai kejujuran yang berlandaskan pada fakta objektif semateri. Keunggulan dari foto jurnalistik adalah mampu mengatasi keterbatasan manusia pada huruf dan kata. Sedangkan aspek penting dalam foto jurnalistik yaitu mengandung unsur-unsur fakta, informatif dan mampu bercerita. Perlu juga memperhatikan nilai estetika dan sentuhan seni yang menjadi nilai tambah.

Nilai Foto Jurnalistik sunting

  1. Segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum
  2. Segala sesuatu yang memiliki makna bagi masyarakat
  3. Fenomena yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan, atau segala sesuatu yang menyetuh perasaan kemanusiaa.
  4. Hal-hal luar biasa yang terjadi dalam masyarakat
  5. Segala sesuatu yang baru dalam masyarakat
  6. Konflik menjadi salah satu berita yang paling menarik dan banyak disimak oleh masyarakat
  7. Seseorang yang dianggap memiliki kedudukan, peran dan kemampuan dalam bidang tertentu
  8. Unik atau aneh, hasil karya manusia, kejadian atau kondisi alam yang tidak umum (lain daripada yang lain) dalam masyarakat.

Anatomi Foto Jurnalistik sunting

  1. Foto: Bentuk visual atau gambar dari sebuah objek yang dijadikan pendukung berita atau berita tersendiri.
  2. Nama Fotografer: nama orang yang melakukan pemotretan atau foto yang harus dicantumkan pada sisi kanan bawah dari foto, baik menempel dalam foto atau dari luar foto.
  3. Keterangan foto atau caption foto: foto yang diberi keterangan atau caption pada sisi bawah atau samping. Caption berisi: keterangan siap atau apa yang ada dalam foto, di mana tempatnya, kapan waktu pemotretan dan bagaimana keadaan isi foto tersebut: ditulis secara ringkas: mengarahkan pembaca untuk membaca berita atau artikel yang dalam media tersebut. Pada prinsipnya, memberi keterangan foto sama dengan membuat lead dengan memperhatikan unsur 5W

Karakteristik sunting

Delapan karakteristik dalam foto jurnalistik tersebut antara lain:[2]

  1. Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto (communication photography). Komunikasi yang dilakukan akan mengekspresikan pandangan wartawan foto terhadap suatu subjek, tetapi pesan yang disampaikan bukan merupakan ekspresi pribadi.
  2. Medium fotografi jurnalistik adalah media cetak koran atau majalah, dan media kabel atau satelit juga internet seperti kantor berita (wire service).
  3. Kegiatan foto jurnalistik adalah kegiatan melaporkan berita.
  4. Foto jurnalistik adalah panduan dari foto dan teks foto. Teks foto adalah
  5. Foto jurnalistik mengacu pada manusia. Manusia adalah subjek sekaligus pembaca fotojurnalistik.
  6. Foto jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak (mass audiences). Hal ini berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan harus segera diterima orang yang beraneka ragam.
  7. Foto jurnalistik juga merupakan hasil kerja editor foto.
  8. Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak penyampaian informasi kepada sesama, sesuai amendemen kebebasan bicara dan kebebasan pers (freedom of speech and freedom of press).

Etika sunting

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan sebuah peristiwa melalui foto:[3]

  1. Berperilaku Sopan: sebuah pertanyaan yang etis tidak hanya disajikan pada gambar namun dapat diajukan saat jurnalis foto bekerja. Misalnya: apakah mengatakan permisi ketika mengambil foto seseorang dan bagaimana melakukan wawancara untuk melengkapi data.
  2. Menyesuaikan diri dengan kondisi objek: misalnya mengenai bagaimana harus tahu membawa diri ketika sedang memotret sebuah acara berkabung. Ketika situasi berkabung jurnalis foto dapat menggunakan lensa tele, berbusana gelap, dan melakukan gerakan seminimal mungkin supaya tidak menjadi pusat perhatian untuk menjaga perasaan objek.
  3. Melakukan pengaturan: Dalam liputan jurnalis foto sering kali melakukan pengaturan untuk memperjelas cerita tentang aktivitas subjek. Terkadang pengaturan dilakukan semateri demi kesempurnaan visual. Pengaturan atau mengarahkan subyek diperbolehkan pada foto feature, namun hanya sebatas pada hal-hal yang tidak memengaruhi cerita. Misalnya pada posisi subjek, seperti posisi objek ketika dipotret diminta merendah atau lebih tinggi, bergeser ke samping atau ke belakang agar mencapai hasil gambar yang maksimal.
  4. Manipulasi foto Jurnalistik: tidak semua foto yang dilihat pembaca di media adalah kebenaran. Foto bisa merupakan hasil manipulasi. Ada beberapa kasus manipulasi jurnalistik. Pembelokan cerita dalam foto yang tidak diketahui pembaca dapat berujung pada kesesatan interpretasi.
  5. Mengubah cerita: Mengubah cerita dalam foto “haram” dilakukan jurnalis dan sangat dilarang bagi seorang fotografer jurnalistik. Hal tersebut sama saja dengan merekayasa fakta. Namun tidak sedikit yang melakukannya yang mana tidak ada bukti berupa film sehingga sangat sulit memastikan bahwa sebuah foto “sahih”.
  6. Penggunaan Photoshop: Penguasaan photoshop merupakan syarat wajib bagi jurnalis foto. Reuters membuat batasan boleh dan tidak penggunaan Photoshop.

Berikut ini Penggunaan Photoshop dalam foto jurnalistik:[3]

a. Yang boleh dilakukan:

  1. Pemotongan (Crooping)
  2. Penyesuaian level ke batas maksimal
  3. Penajaman hingga 300%, 0.3.0
  4. Penggunaan lasso tool dengan cermat
  5. Penggunaan burn tool dengan halus
  6. Penyesuaian highlight dan shadow
  7. Eye droppes untuk mengecek atau set abu-abu

b. Tidak boleh dilakukan

  1. Penambahan atau penghapusan dalam gambar
  2. Cloning dan healing tool (kecuali dust)
  3. Airbrush, brush, paint
  4. Penajaman dengan selektif area
  5. Membuat terang atau menggelapkan berlebihan
  6. Mengubah color tone berlebihan
  7. Auto levels; Blurring; Eraser tool; Quick mask
  8. Penajaman in-camera
  9. Saturasi in-camera

Jenis sunting

  • Foto Tempat (Spot Photo)

Merupakan foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal atau tidak terduga, yang diambil fotografer dari lokasi kejadian tersebut.[2]

  • Foto Berita Umum (General News Photo)

Merupakan foto yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal, rutin dan biasa. Temanya bisa beragam, seperti politik, ekonomi dan humor.[2]

  • Foto Orang dalam Berita (People in the News Photo)

Merupakan foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita. Yang ditampilkan adalah sosok atau pribadi orang yang menjadi pokok berita tersebut. Tokoh dalam foto bisa merupakan tokoh penting atau populer, namun bisa juga tokoh yang tidak penting atau biasa saja, yang kemudian menjadi populer setelah foto tersebut dipublikasikan.[2]

  • Foto Kehidupan Sehari-hari (Daily Life Photo)

Merupakan foto yang menampilkan kehidupan sehari-hari manusia dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).[2]

  • Foto Potret (Portrait)

Merupakan foto yang menampilkan wajah seseorang secara close up dan “mejeng”. Ditampilkan karena terdapat kekhasan atau hal yang menarik pada wajah tersebut.[2]

  • Foto Olahraga (Sport Photo)

Merupakan foto yang diambil berdasarkan peristiwa olahraga. Ditujukan untuk menunjukkan gerakan dan ekspresi dari atlet dan hal lain yang menyangkut olahraga. Hal ini dikarenakan penonton tidak dapat melihat dengan jelas gerakan dan ekspresi dari atlet dengan jarak yang jauh.[2]

  • Foto Sains dan Teknologi (Science and Technology Photo)

Merupakan foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.[2]

  • Foto Seni dan Budaya (Art and Culture Photo)

Merupakan foto yang diambil dari peristiwa seni dan budaya.[2]

  • Foto Sosial dan Lingkungan (Social and Environment)

Merupakan foto yang menyangkut kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan hidupnya[2]

Syarat sunting

Di Indonesia, etika yang mengatur fotojurnalistik terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia, khususnya pada Pasal 2 dan 3. Pada pasal 2 menyebutkan bahwa:

“Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh Undang-Undang.”

Sedangkan pada pasal 3 menyebutkan mengenai cara pemberitaan dan menyatakan pendapat, yaitu sebagai berikut:

“Wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional”.[2]

Dinamika di Indonesia sunting

Di Indonesia, Fotografi diperkirakan masuk pada tahun 1841 oleh Juriaan Munich, seorang utusan kementerian kolonial lewat jalan laut di Batavia.[1] Setelah itu muncul seorang tokoh pribumi bernama Kassian Cephas yang dilansir sebagai fotografi pribumi pertama Indonesia dengan foto pertama yang diidentifikasi pada tahun 1875. Sejak abad ke-19, foto jurnalistik telah dikenal di tanah air melalui foto dokumenter sebagai akar dari foto jurnalistik. Pada masa penjajahan Belanda terdapat seorang juru foto bernama H.M. Neeb yang terkenal. Neeb berhasil menjadi fotografer dokumenter perang Aceh pada tahun 1904. Tanpa kehadiran Neeb, sejarah perang Aceh tidak bisa disaksikan dan kenang. Sejak itu foto jurnalistik semakin berkembang di Indonesia. Sejarah foto jurnalistik Indonesia bermuara dari kantor berita Domei, surat kabar Asia Raya dan agensi foto Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) Fotografer bertugas untuk merekam situasi politik saat itu untuk kantor berita milik Jepang. Saat inilah pergerakan foto jurnalistik bermula. Pada tanggal 2 Oktober 1946, didirikan Indonesia Press Photo Service (IPPHOS).

Foto-foto yang dihasilkan oleh fotografer disana mengalami penerimaan. Terbukti dengan adanya sebuah foto fenomenal karya Frans Mendur dengan judul Imaji Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebelum tahun 1980, seorang jurnalis fotografi sangat berat dalam mengerjakan tugasnya.[4] Wartawan foto harus membawa seperangkat peralatan fotografi serta film jenis lembaran untuk menghasilkan reportase foto. Seiring berjalannya waktu, muncul kamera dengan ukuran 135mm dengan jenis gulungan film yang sedikit meringankan tugas seorang pewarta foto. Walau demikian, pewarta foto masih sulit untuk mengirimkan foto yang telah diambilnya. Setelah mengambil gambar, pewarta foto harus melakukan proses pencucian film agar gambar yang diambilnya dapat terlihat. Apabila, sang pewarta foto mengirim gulungan film kepada media cetak, pihak perusahaan pun juga tetap harus mencuci dan memilah film yang akan masuk untuk diterbitkan. Selain itu, dalam proses pengirimannya sendiri, seorang jurnalis fotografi harus pandai-pandai untuk menitipkan foto kepada penumpang pesawat atau bisa melalui jasa cargo. Cara lain dilakukan dengan saluran jasa telepon yang memakan waktu 20 menit, meskipun biaya yang dikeluarkan cenderung lebih mahal. Hal ini akan sangat memakan waktu, padahal dalam penyampaian berita, kecepatan menjadi hal yang paling utama.

Sekitar abad 21 keadaan berubah, di mana jurnalis dimanjakan dengan kamera digital (digital camera). Pengambilan gambar cenderung lebih mudah, pewarta foto pun tak perlu membawa perangkat yang berat-berat. Hanya dengan satu kamera, dapat mengambil gambar maupun video. Data digital yang telah ada tak perlu melakukan proses pencucian dan cetak terlebih dulu. Proses mengirimnya pun semakin mudah dan murah dengan adanya internet. Foto akan tiba hanya dalam hitungan menit.

Pewarta foto mengamati dan mengambil gambar sesuai dengan kejadian atau peristiwa pada saat itu, sehingga mereka harus fokus dan selalu siap untuk menangkap objeknya. Demikian, gambar akan menceritakan peristiwa yang sebenarnya terjadi serta dapat memantik respon emosional dari khalayak. Khalayak pun menjadi lebih tertarik dengan informasi-informasi yang dilengkapi dengan foto. Pasalnya, berita narasi memerlukan waktu yang lebih lama melalui proses membaca dan penalaran, sedangkan berita foto langsung mengundang respon dari khalayak.[5] Meski demikian, keduanya akan saling melengkapi dalam proses penyajian berita sehingga penyampaian informasi akan semakin jelas. Hal ini yang menjadikan media cetak mensejajarkan antara wartawan tulis dan wartawan foto.

Kemajuan teknologi tidak sepenuhnya memberikan kemudahan yang bersifat positif. Rekan-rekan pewarta foto dapat mengubah gambar sesuai dengan keinginannya agar dapat terlihat bagus, indah, dan sebagainya hanya dengan menggunakan program Photoshop. Pewarta foto dapat mengurangi atau memberi tambahan objek pada foto. Hal ini tentu tidak dibenarkan, dianggap penipuan serta melanggar etika berita. Selain itu, hasil dari pengubahan foto akan menimbulkan pendapat yang berbeda antara benak masyarakat dan kejadian yang sebenarnya.

Perkembangan pewarta foto di Indonesia sendiri banyak menghasilkan generasi yang memperoleh penghargaan-penghargaan di dalam negeri hinggap mencapai kancah dunia. Meski banyak yang belajar dari otodidak, mereka terus tekun belajar dari buku dan jurnalis fotografi senior. Berikut beberapa nama pewarta foto yang namanya sudah melalang buana.

  1. Kartono Ryadi atau erat sapaannya dengan KR lahir di Pekalongan, 30 Juni 1945 digadang-gadang sebagai pendobrak jurnalistik fotografi Indonesia.[6] Mengawali karier sebagai foto jurnalistik otodidak di majalah Express, lalu Harian Kompas pada tahun 1970. Produk foto yang dihasilkan sangat erat kaitannya dengan rasa pada momen yang sensasional, olahraga, dan sisi kemanusiaan (human interest). Hasil foto bukan hanya dilihat dari momennya saja, tetapi juga kaidah keindahan fotografinya seperti sisi pengambilan (angle), aturan cahaya (lighting), dan cetakan (printing). Banyak penghargaan pun dicapai oleh KR, diantaranya World Press Photo 1974 (mengambil gambar Pangeran Benhard dengan orangutan) dan pada tahun 1986 (mengambil gambar ikan pesut melahirkan di Ancol). Bagi KR, foto yang menurutnya paling monumental adalah mengambil gambar kemenangan Susi Susanti yang mendapatkan medali emas untuk bulu tangkis tunggal putri di Olimpiade Barcelona 1992. Foto tersebut juga mendapat pujian dari rekan-rekannya yang kerap dijuluki “air mata emas”.
  2. Atok Sugiarto lahir di Magelang 18 Juni 1962 mengawali karier pada tahun 90an sebagai kontributor naskah fotografi Majalah Fotomedia Jakarta lalu pada tahun 2000-2005 menjadi penulis fotografi di Koran Suara Pembaharuan Minggu. Kini perannya bukan hanya mengambil gambar, tetapi juga membagikan ilmunya terkait dengan fotografi jurnalistik. Ia mendapatkan lebih dari 50 penghargaan, beberapa diantaranya adalah Sport Photo Holland 1987, Best of Sport Journalism Japan 1990, Best Journalism China 1990, Penghargaan khusus sebagai Wartawan foto terbaik dari PWI dan masih banyak lagi.
  3. Oscar Motuloh lahir pada tanggal 19 Agustus 1959 mengawali karier sebagai reporter di Kantor Berita Antara pada tahun 1988, yang kemudian tahu 1990 masuk dalam divisi pemberitaan foto Kantor Berita Antara sebagai pewarta foto.[7] Kariernya terus menanjak hingga sempat menjadi Direktur Eksekutif Galeri Foto Jurnalistik Antara. Ia juga turut aktif sebagai salah satu pendiri organisasi resmi dan berbadan hukum yakni Pewarta Foto Indonesia (PWI). Berbagai penghargaan pun tak luput diterimanya, salah satunya Penghargaan Kebudayaan 2015 sebagai Pelopor Fotografi Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Oscar juga termasuk dalam 30 Fotografer paling Berpengaruh di Asia versi Invisible Photographer Asia.
  4. Adek Berry dengan nama lengkap Lestri Berry Wijaya lahir di Curup, Bengkulu pada tanggal 14 September 1971 sempat mengambil Pendidikan kedokteran gigi, namun dirasa kurang cocok dengan dirinya, sehingga pindah mengambil pertanian.[8] Ketekunannya mengenai jurnalis dan fotografi sudah terlihat dari SMP. Sebelum resmi dinyatakan lulus dari perguruan tinggi, Ia mencari pekerjaan dan berhasil mendapatkan posisi sebagai reporter di Majalah Tiras. Setahun kemudian, Berry mendapatkan posisi yang diinginkannya menjadi pewarta foto di Majalah Tajuk. Saat Majalah Tajuk gulung tikar, Adek Berry mendapat tawaran untuk bekerja di Kantor Berita Prancis (Agences-France Presse atau AFP) sebagai jurnalis foto.[9] Ia menekuni jurnalis foto khususnya dalam bidang bencana alam dan konflik. Bencana alam di Indonesia selalu diabadikannya seperti tsunami Aceh dan gempa di Yogyakarta, serta berbagai kecelakaan pesawat. Adek Berry juga sudah biasa meliput konflik dalam maupun luar negeri, diantaranya kerusuhan 1998, kerusuhan Ambon 1999, dan meliput perang Afghanistan. Pengalaman Adek Berry membawanya mendapat berbagai macam penghargaan seperti NPPA (The National Press Photographers Association) dan Life Magazine (Amerika Serikat) serta TIME LightBox untuk bidang jurnalistik foto kategori bencana dan konflik.

Bacaan tambahan sunting

[10]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h Wijaya, Taufan (2014-06-13). Foto Jurnalistik. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9786020304885. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-24. Diakses tanggal 2018-10-08. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Alwi, A. 2004. Fotojurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa. Jakarta: PT Bumi Aksara.
  3. ^ a b c d e f Hidayatullah. A. 2016. Jurnalisme Cetak Konsep dan Praktik. Yogyakarta: Litera Yogyakarta.
  4. ^ Sugiarto, Atok (2014-04-06). Jurnalisme Pejalan Kaki: Kiat Membuat Foto untuk Laporan. Elex Media Komputindo. ISBN 9786020236803. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-24. Diakses tanggal 2018-10-08. 
  5. ^ Sugiarto, Atok (2005). Paparazzi: memahami fotografi kewartawanan. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9789792217391. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-24. Diakses tanggal 2018-10-08. 
  6. ^ Sugiarto, Atok (2011). Fotobiografi Kartono Ryadi: pendobrak fotografi jurnalistik Indonesia modern. Penerbit Buku Kompas. ISBN 9789797095970. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-24. Diakses tanggal 2018-10-08. 
  7. ^ "Oscar Motuloh Raih Penghargaan Kebudayaan 2015 - Warta Kota". Warta Kota. 2015-09-23. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-25. Diakses tanggal 2018-10-08. 
  8. ^ Tobing, Sorta (2018-02-09). "Adek Berry, Perempuan pengabadi peristiwa". https://beritagar.id/ (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-08. Diakses tanggal 2018-10-08.  Hapus pranala luar di parameter |newspaper= (bantuan)
  9. ^ Liputan6.com. "Kisah Adek Berry, Jurnalis Foto yang Liput Konflik di Afghanistan". liputan6.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-27. Diakses tanggal 2018-10-08. 
  10. ^ Zahar, I. (2002). Kiat Jitu Menembus New York: catatan Fotografer, Creative Media: Jakarta.https://www.academia.edu/21975549/Kiat_Jitu_Menembus_New_York_Catatan_Fotografer Diarsipkan 2022-04-06 di Wayback Machine.

Pranala luar sunting