Franz Wilhelm Junghuhn

dokter asal Belanda

Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn (26 Oktober 1809 – 24 April 1864) adalah seorang naturalis, doktor, botanikus, geolog dan pengarang berkebangsaan Jerman (lalu Belanda).

Franz Wilhelm Junghuhn
Lukisan Junghuhn
LahirFriedrich Franz Wilhelm Junghuhn
26 Oktober 1809
Mansfeld, Westfalen
Meninggal24 April 1864
Lembang, Jawa Barat, Hindia Belanda
KebangsaanBelanda-Jerman
PekerjaanAhli botani dan geologi
Tahun aktif1835-1864
Dikenal atasStudi botani dan Geologi di Hindia Belanda
Karya terkenalLihat bagian Karya

Junghuhn berjasa sebagai peneliti pulau Jawa dari sudut pandang ilmu bumi, geologi, vulkanologi dan botanik dan juga daerah Batak di Sumatra. Ia juga tercatat sebagai anggota Koninklijk Instituut voor de Tall-, Land-, en Volkekunde (KITLV) di Keresidenan Priangan.[1]

Uraian menurut ilmu alam dia menuangkan pada karya utamanya, Pulau Jawa - Bentuknya, Permukaannya dan Susunan Dalam (3 jilid, 1852-54), yang dilengkapi oleh peta pertama dari pulau itu yang terperinci dan mengandalkan. Junghuhn juga menyusun sejumlah herbarium, singkatan ilmiahnya adalah Jungh. Dikenal pada upaya-upayanya untuk membina pemiliharaan pohon-pohon cinchona untuk menghasilkan obat kinine.

Masa Muda sunting

Saat dalam usia remajanya, Junghuhn memperlihatkan kegemaran pada alam, cita-citanya menjadi botanikus.

Tahun 1827-1831, ia berkuliah di Universitas Halle kemudian di Berlin. Baru satu tahun di Berlin, Junghuhn dihadapkan dengan tuntutan duel oleh seorang mahasiswa asal Swiss bernama Schwoerer. Penuntut tidak mengalami cedera apapun, padahal Junghuhn terluka pada pahanya. Makanya Junghuhn dihukum 10 tahun tahanan dalam benteng. Lawannya, yaitu Schwoerer bunuh diri - menurut dugaan, untuk menghindari dari tahanan. Tahanannya dimulai bulan Januari tahun 1832 di benteng Ehrenbreitstein di kota Koblenz. Pada bulan September 1833 Junghuhn melarikan diri ke Prancis dan masuk legiun asing. Ia ditempatkan di Aljazair dan 1834 diberhentikan lagi dari legiun. Ia pergi ke Paris, di mana ia diberi nasihat oleh Persoon, seorang botanikus dan mikolog, untuk menyelidiki flora tropis kepulauan India. Karena ia kurang mampu, ia tidak punya pilihan lain daripada masuk dinas kesehatan yang dikelola tentara penjajahan Belanda.

Tahun-Tahun Pertama di Jawa dan Sumatra (1835 - 48) sunting

Franz tiba di Batavia pada tahun 1835, ia bertugas dalam dinas kesehatan di Batavia dan Semarang. 1837/38 dua perjalanan dinas dengan Dr. E. A. Fritze, pada waktu itu selaku direktur dinas kesehatan di Hindia Belanda, untuk menjelajahi seluruh pulau Jawa. Mereka mendaki hampir segala gunung api di sana. Pada pertengahan 1840 Junghuhn dipindah ke Padang, di mana ia ditugaskan oleh gubernur Pieter Merkus pergi ke daerah Batak dan meyelidikinya, karena pada waktu itu bagian Sumatra itu masih kurang terkenal.[2] Hermann von Rosenberg, seorang penyelidik alam berkebangsaan Jerman disuruh mendampingi Junghuhn, meskipun von Rosenberg terpaksa membatalkannya karena suatu peristiwa dalam kegiatan berburu, yang mengakibatkan ia jatuh sakit. Makanya Junghuhn berangkat sendirian dan selama satu tahun setengah, selama ekspedisinya berlangsung hanya diiringi pendamping-pendamping pribumi saja. Ia hanya dapat menjelajahi bagian Selatan dari daerah Batak, sebabnya masyarakat Batak di bagian Utara menghalanginya dari masuk ke pedalaman. Perjalanan ke daerah Batak juga dipersulitkan oleh akibat perang Padri, yang baru berakhir pada tahun 1838 dan meninggalkan pada suku Batak suatu trauma terhadap orang dari luar. Perjalanan kaki Junghuhn melalui hutan belantara dan pegunungan di daerah Batak pada waktu itu sangat melelahkan dan penuh jerih payah. Tenaga fisik dan psikis Junghuhn dan para pendampingnya ditantang secara sangat berat. Dari 17 bulan, yang ia berada di daerah itu, dirinya terpaksa menjaga tempat tidur selama sepuluh bulan untuk merawat kakinya yang terkena sakit parah.[3]

Dalam segala tulisannya ia menunjukkan simpati besar kepada orang Batak. Ia menghargai tinggi keramahan mereka terhadap orang tamu, spontanitasnya, keramah-tamahannya dan juga keterbukaannya.[3] Ia mengagumi bahasa baku mereka, tetapi tidak dapat memahami kenapa mereka menggemari kanibalisme. Agaknya kanibalisme mereka cuma sebuah legenda, yang disebarluaskan oleh masyarakat Batak sendiri untuk menghalangi orang-orang dari luar masuk ke daerah mereka. Namun, sesuai permintaan kolonial kepada ekspedinya, Junghuhn memberikan saran terhadap pemerintah kolonial bahwa penduduk Tanah Batak dapat dijadikan warga negara yang patuh selama kepemimpinan Hindia-Belanda di Tanah Batak diserahkan kepada orang-orang lokal. Junghuhn juga menyarankan kepada pemerintah Hindia-Belanda untuk memperkenalkan ajaran agama di Tanah Batak dan dianggapnya menjadi kebijakan yang amat penting.[3]

Juni 1842 Junghuhn kembali di Batavia. Setahun setelahnya ia mengadakan peneltiian arkeologi di lereng pegunungan belahan utara Kota Bandung, tepatnya di Pasir Cipansalu dan Pasir Pamoyanan. Di sana ia menemukan reruntuhan peradaban Hindu. Temuan tersebut diumumkan di dalam Indisch Magazijn pada 1844.[1] Pemerintah kolonial Belanda menugaskan dia dengan pengukuran topografis Jawa Barat, kemudian juga Jawa Timur. Mei 1845 ia diangkat resmi sebagai anggota Natuurkundige Commissie di Batavia. Dari gubernur jenderal Rochussen ia bertugaskan mencari tempat di pulau Jawa, di mana dapat ditambang batubara.

Kembali ke Eropa (1848 - 55) sunting

1848 Junghuhn terpaksa pulang ke Eropa sebab kesehatannya kurang stabil. Ia pergi ke Leiden, di mana para botanikus yang sangat terkenal selama tahun 1851 - 1856 mengerjakan edisi Plantae Junghunianae, publikasi tumbuhan-tumbuhan yang ditemukan oleh Junghuhn di pulau Jawa dan Sumatra. Januari 1850 Junghuhn menikah di kota Leiden Johanna Louisa Frederica Koch. Pada bulan Agustus 1853 ia diberikan kewarganegaraan Belanda. Karena pekerjaan untuk menyelesaikan rumusan terakhir karya utamanya Java - seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart (Jawa: Bentuk, Tumbuh-tumbuhan, dan Struktur di Dalamnya) menemukan sejumlah kesulitan, publikasi itu baru diterbitkan pada tahun 1850 s/d 1854 di Amsterdam dalam versi Belanda dan pada tahun 1852 s/d 1854 di Leipzig dalam versi Jerman. Serentak 1854 peta yang merupakan sebagian dari karya itu dicetak, sedangkan peta besar pulau Jawa baru keluar setahun kemudian, 1855. Pada 1854 Junghuhn mengarang sebuah karya dengan pandangannya tentang agama primordial (Naturreligion) berlawanan dengan tradisi agama kristen. Buku itu berjudul Licht- und Schattenbilder aus dem Innern von Java.

Persinggahan Kedua di Jawa (1855 - 1864) sunting

 
"Terkejutnya Junghuhn oleh harimau" (gambar tahun 1868)
 
Makam Junghuhn pada tahun 1920-an

Pada bulan Juni Junghuhn ditugaskan sebagai inspektur penyelidikan alam di Pulau Jawa dan ia berangkat lagi ke Hindia Belanda. Junghuhn sekarang seorang naturalis bereputasi internasional, mendapatkan beberapa penghargaan dan jadi anggota sejumlah lembaga ilmiah. Tugas utamanya pemeliharaan tanaman cinchona untuk menghasilkan kinine. Pada bulan 1857 ia secara resmi ditugaskan dengan pengawasan perkebunan cinchona. Ia langsung berubah prosedur penanaman percobaan yang diterapkan J.K. Hasskarl, pendahulunya, dengan memindah perkebunan cinchona ke daerah pegunungan yang lebih tinggi dan menyuruh menanam semaian-semaian di dalam keteduhan hutan. Dari tahun 1858 sampai dengan tahun 1862 Johan Eliza de Vrij seorang farmakolog ternama menjadi penasihat proyek cinchona itu. De Vrij menyarankan memilih jenis cinchona lain yang lebih produktif. Tetapi pada waktu itu spesies cinchona ledgeriana belum tersedia, yang kelak memungkinkan peningkatan penghasilan kinine di pulau Jawa, sehingga pada akhir abad ke-19 kontribusi dari Nederlands Indie mencapai dua pertiga dari penghasilan kinine sedunia. Sayang sekali proyek perkebunan cinchona baru menjadi sukses beberapa tahun sesudah Junghuhn meninggal. Meskipun begitu jasanya, yang tak pernah akan memudar, adalah promosi tegas serta konsolidasinya proyek cinchona sehingga pengikut-pengikutnya dapat melanjutkannnya atas dasar prestasi Junghuhn. Sepatutnya ia dapat dianggap perintis perkebunan cinchona di Pulau Jawa

Pada akhir tahun 1861 ia terkena infeksi amoeba dan sejak waktu itu tidak dapat sembuh lagi. Ia wafat pada tanggal 24 April 1864 dalam usia 54 tahun di rumahnya di Lembang. Makamnya terdapat di kaki Gunung Tangkuban Perahu di Kecamatan Lembang, Kabu. Bandung Barat, Jawa Barat dalam sebuah taman yang ditumbuhi Cinchona succirubra maupun C. ledgeriana.

Peringatan Sosok dan Jasa Junghuhn sunting

  • Pada 1909 berdiri sebuah komisi bernama De Junghuhn-Comissie yang memiliki program penerbitan buku bunga rampai tentang peringatan 100 tahun kelahiran Junghuhn. Organisasi tersebut beranggotakan ilmuwan Belanda dan Jerman. Judul bunga rampainya ialah Gedenkboek Franz Junghuhn: 1809-1909 dan disusun dalam dua bahasa, yaitu Belanda dan Jerman.[1]
  • Pada 1934 berlangsung peringatan 125 tahun kelahiran di Lembang dengan acara jalan-jalan mengelilingi varietas pohon kina yang ditanam di sekitar monumen area makam.[1]
  • Pada 1980 diselenggarakan sebuah pameran mini di Wereldmuseum Rotterdam yang menampilkan gambar, foto, dan tulisan karya Junghuhn. Dalam pameran ini terpajang sebelas gambar bentang alam Junghuhn dalam bentuk litografi oleh C. W. Mieleing.[1]

Karya sunting

  • Die Battaländer auf Sumatra (Tanah Batak di Sumatra) (1847)
  • Topographische und naturwissenschaftliche Reisen durch Java (Penjelajahan topografis dan ilmiah di Jawa) (1845)
  • Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und Innere Bauart (Jawa - Bentuknya, Permukaannya dan Susunan Dalamnya) (3 jilid, 1852 - 54)(ed. Bah. Belanda, Amsterdam 1850 - 54)
  • Rückreise von Java nach Europa, Leipzig 1852 (ed. Bah. Belanda, Zalt-Bommel 1851)
  • Reizen door Java, voornamelijk door het oostelijk gedeelte van dit eiland, Amsterdam 1852
  • Licht- und Schattenbilder aus dem Innern von Java, 1854 (ed. Bah. Belanda, Leiden, Amsterdam 1854)
  • Java-Album, Leipzig 1856


Tulisan tentang Junghuhn sunting

  • Beekman, E. M - F. W. Junghuhn (1809-1864): Elevating Tropical Nature. In: Troubled Pleasures. Dutch colonial Literature from the East Indies 1600-1950. Oxford [e.a.], 1996. S. 147–201
  • Nieuwenhuys, Rob et Jaquet, Frits - Java’s onuitputtelijke natuur, Alphen aan den Rijn 1980
  • Gedenkboek Franz Junghuhn. 1809-1909, Hg. Junghuhn-Commission, ’s-Gravenhage 1910
  • Schmidt, Max C.P. - Biographische Beiträge zur 100. Wiederkehr seines Geburtstages, Leipzig 1909

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e Iskandar, Amin R.,. Bernalar : kumpulan pengantar diskusi budaya bernalar Moedomo Learning Initiative (MLI) 2012-2014. Iskandar, Gustaff H.,. Bandung. ISBN 978-602-17940-1-2. OCLC 1084513137. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-25. Diakses tanggal 2020-06-05. 
  2. ^ Kozok 2010, hlm. 24.
  3. ^ a b c Kozok 2010, hlm. 25-28.

Daftar pustaka sunting

  • Kozok, Uli (2010). Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba Berdasarkan Laporan L.I Nommensesn dan Penginjil RMG Lain. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-776-2.