Gadis Pantai

buku karya Pramoedya Ananta Toer tahun 1962

Gadis Pantai adalah novel karya Pramoedya Ananta Toer.[1] Dalam Bahasa Inggris, novel ini dikenal dengan nama The Girl from the Coast.[2] Novel ini memberikan gambaran mengenai situasi feodalisme di daerah Jawa.[1] Buku ini juga memiliki ciri khas dari Pramoedya Anananta Toer, yakni menceritakan kisah pernikahan dini dan kritik terhadap situasi sosial.[3] Cerita ini dibuat berdasarkan kisah pernikahan neneknya sendiri.[3]

Novel sastra Pramoedya Ananta Toer atau yang biasa dipanggil Pram menyebut tokoh dalam buku ini gadis pantai, seorang gadis desa yang harus rela dipersunting oleh Bendoro atau Priyayi. Dengan latar belakang zaman Hindia-Belanda, gadis ini masih berumur belia dan harus siap menjadi permaisuri dari Bendoro. Karena hutang pelik dari keluarganya, sebuah keterpaksaan yang tak bisa dihindari pada eranya.[4]

Sinopsis sunting

Pada dasarnya ada lima babak besar yang menggambarkan ide dasar cerita, yakni Gadis Pantai meninggalkan kampung,Gadis Pantai beradaptasi di rumah Bendoro, Gadis Pantai sebagai istri Bendoro, Gadis Pantai mengunjungi orangtuanya, dan Gadis Pantai diceraikan.[5]

Gadis pantai meninggalkan kampung sunting

Pada bagian awal novel ini diceritakan tokoh Gadis Pantai terpaksa meninggalkan kampung halamannya, sebuah kampung nelayan, karena harus pergi ke kota untuk tinggal di rumah Bendoro.[5] Bendoro adalah seorang bangsawan yang tinggal di kota Rembang.[5] Pada awal abad ke-20 biasa terjadi pernikahan yang pasangannya belum saling mengenal karena yang menjodohkan adalah orang tua masing-masing.[5] Namun, menikah dengan seorang bangsawan adalah hal yang luar biasa.[5] Orangtua dari Gadis Pantai merasa terangkat derajatnya dan hidupnya lebih sejahtera.[5]

Gadis Pantai beradaptasi di rumah Bendoro sunting

Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya Gadis Pantai diterima Bendoro dan tinggal di rumah bangsawan itu.[6] Ada perubahan status Gadis Pantai.[6] Semula ia hanya gadis kampung yang miskin, tetapi sekarang menjadi istri Bendoro dan sebutannya pun terasa aneh bagi telinga Gadis Pantai itu sendiri, Mas Nganten.[6] Bujang perempuan yang semula kurang menghormatinya, sekarang sangat patuh dan tunduk dengan segala perintah Gadis Pantai.[6] Selama tiga bulan pertama Gadis Pantai tidak boleh pergi ke luar.[6] Selama waktu itu, ia belajar sopan santun priyayi, mengaji, membatik, dan aturan-aturan lain yang ditetapkan dalam rumah Bendoro itu.[6] Pada mulanya ia masih ditemani ayah dan ibunya, tetapi kemudian mereka pulang ke kampung untuk bekerja seperti biasanya.[6] Selama tiga bulan itu, Gadis Pantai merasa seperti dalam kurungan. Ia sangat rindu ibu dan kampung halamannya.[6]

Gadis Pantai sebagai istri Bendoro sunting

Setelah selama tiga bulan Gadis Pantai belajar menyesuaikan diri dengan kehidupan priyayi, ia mulai betah tinggal di rumah Bendoro.[5] Ia lebih sering meninggalkan kamarnya, dan bercakap-cakap dengan kerabat Bendoro, para bujang, dan kadang-kadang dengan tetangga.[5] Lama-lama ia bisa mandiri, tidak harus bertanya-tanya kepada bujang apa yang harus dilakukannya.[5] Ia sudah berani di kamar tengah untuk bercakap-cakap dengan Bendoro, atau mengobati Bendoro jika sakitnya kambuh.[5] Selain itu, ia juga mulai rindu kepada Bendoro.[5] Jika semalam Bendoro tidak mengunjungi kamarnya, ia merasa sedih.[5] Ia mulai cemburu jika Bendoro berhari-hari pergi, dan ia mulai menyadari pula bahwa ia tidak berhak melarang Bendoro ke mana pun ia pergi.[5] Ada perasaan iri terhadap kehidupan suami-istri di kampung dimana istri dapat mengetahui tujuan suaminya pergi.[5] Istri di kampung dapat pula mengritik suaminya.[5]

Gadis pantai mengunjungi orangtuanya sunting

Gadis Pantai pulang kampung dengan naik dokar dan diantar Mardinah.[5] Dalam perjalanan menuju kampung, Gadis Pantai merasa lepas, dunianya bertambah luas, tidak seperti di rumah Bendoro.[5] Ia bisa tertawa terbahak-bahak, mengejek orang kota, dan tidak mengindahkan peringatan Mardinah.[5] Dunia menjadi terbalik, Mardinah sering mengejek Gadis Pantai ketika tinggal di rumah Bendoro, dalam perjalanan ke kampung menjadi ejekan Gadis Pantai dan Pak Kusir.[5]

menceraikan gadis pantai sunting

Gadis Pantai terkejut mendengar keterangan ayahnya bahwa ia telah diceraikan.[5] Ia ingin membawa anaknya pulang ke kampung bersamanya, tetapi dilarang oleh Bendoro.[5] Hati Gadis Pantai sangat sedih dan malu.[5] Ia mengambil keputusan untuk tidak pulang ke kampung, tetapi akan pergi ke Blora, ke tempat bujang perempuan yang terusir.[5]

Analisis sunting

Aspek androgini sunting

Androgini adalah kebersatuan jenis kelamin.[6] Konsep ini lahir dari teori Melanie Klein bahwa seorang anak belum mampu membedakan jenis kelamin, dan pada mulanya jenis kelamin hanya satu.[6] Pada buku ini, Bendoro adalah seorang bangsawan, sedangkan Gadis Pantai berasal dari orang kebanyakan.[6] Pada sisi lain Bendoro menganggap bahwa pernikahan itu bukan pernikahan yang sebenarnya, Gadis Pantai hanya dianggap sebagai istri percobaan.[6] Istri sebenarnya adalah istri yang berasal keluarga yang sederajat.[6] Selain itu, Gadis Pantai sendiri tidak mau dinikahkan, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk menolaknya.[6] Dari sisi Gadis Pantai, pernikahan itu hanya ingin menuruti kemauan orang tuanya yang gila kedudukan dan harta.[6] Akibatnya, pernikahan yang tidak androginis ini menimbulkan berbagai konflik yang merugikan orang yang kalah.[6] Bagaimanapun pernikahan merupakan usaha manusia untuk mempersatukan jenis kelamin (parental androgyny).[6] Hal ini tercermin pada sikap dan usaha Gadis Pantai untuk menghilangkan konflik-konflik pernikahannya.[6] Meskipun pada mulanya ada keraguan, Gadis Pantai dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan kaum priyayi.[6] Ia mulai menaruh harapan pada suaminya si Bendoro.[6] Puncak ketidakharmonisan Gadis Pantai dengan Bendoro adalah diceraikannya Gadis Pantai oleh Bendoro ketika bayinya berusia tiga setengah bulan.[6]


Rujukan sunting

  1. ^ a b Ong A, Peletz MG. 1995. Bewitching Women, Pious Men: Gender and Body Politics in Southeast Asia. London: University of California.
  2. ^ Gouda F. 2008. Dutch Culture Overseas: Colonial Practice in the Netherlands Indies, 1900-1942. Singapore: Equinox.
  3. ^ a b Smith BJ, Woodward M. 2013. Gender and Power in Indonesian Islam: Leaders, Feminists, Sufis and Pesantren Selves. New York: Routledge.
  4. ^ Beart, Indonesia (09 April 2020). "Novel Sastra Legendaris Pramoedya Ananta Toer 'Gadis Pantai'". Beart Indonesia. Beart.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-16. Diakses tanggal 09 April 2020. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w Toer PA. 2005. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara.
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u Supriyadi. 2005. NOVEL GADIS PANTAI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER: ANALISIS BERDASARKAN KONSEP ANDROGINI. Humaniora 17 (2): 195-203.

Lihat pula sunting