Gerakan liturgi
Gerakan liturgi adalah pembaruan liturgi yang dipelopori oleh Gereja Katolik Roma. Pertama kali gerakan ini muncul dari Biara Benediktin di Prancis pada abad 19. Biara Solesmes tersebut dipengaruhi oleh semangat abad Pencerahan. Dari Solesmes ini Gerakan liturgi biara-biara secara umum menyebar ke biara-biara lain di beberapa negara di Benua Eropa.[1] Lalu Gerakan ini mendapat respon yang baik oleh para pembesar Gereja Katolik Roma, sehingga melalui Konsili Vatikan II, Gerakan ini menjadi lebih besar pengaruhnya untuk kehidupan, baik umat maupun dunia. Hal ini sesuai dengan visi eklesiologis dalam Konsili itu, yaitu Gereja sebagai persekutuan paguyuban-paguyuban murid-murid Yesus yang mewujudkan Kerajaan Allah di dunia.[2]
Banyak pembaruan yang dilakukan liturgi, yaitu mengubah nyanyian jemaat, mengubah liturgi dengan menyerap aspek-aspek lokal yang disebut dengan indegenisasi atau pemribumian liturgi agar mampu menyentuh umat dalam perenungan hidup yang nyata. Usaha-usaha ini dimulai pada tahun 1832 di Biara benediktin dengan memakai nyanyian Gregorian, tahun liturgi digarap pada tahun 1841, dan pendirian institusi liturgi yang menghasilkan Tata liturgi.[1]
Tokoh lain yang terkenal dalam pembaruan liturgi ini adalah Paus Pius X (1907-1914), dengan menerbitkan ensiklik Motu Propio tanggal 22 November 1905 dengan konsentrasi pada musik gereja. Selain itu usaha yang dilakukan adalah mengadakan konferensi-konferensi dengan keputusan dan kegiatan; penerjemahan istilah tata liturgi dari Bahasa Latin ke bahasa pribumi, menerjemahkan syair-syair nyanyian, formula liturgi perbaikan nyanyian Gregorian, karya seni gereja, pemahaman Alkitab, kotbah dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1947, Paus Pius XII (1939-1959) memberikan penekanan secara hati-hati pada ensiklik Mediator Dei.[1] Bahwa liturgi merupakan salah satu mediator dari Allah untuk manusia. melalui tinjauan atas beberapa tradisi upacara gereja, bahwa upacara-upacara (baptis, sakramen, Pekan Suci, dan perayaan-perayaan gerejawi lainnya) itu harus secara luas berdampak bagi sesama, bukan hanya komunal atau komunitas Kristen saja.
Gerakan liturgi ini menekankan ibadah atau liturgi secara luas yang dimulai dari tata ibadah di gereja.[3] Liturgi menjadi pusat kehidupan dan pusat iman umat. Liturgi yang dilakukan di dalam gedung gereja memiliki hakikat bahwa umat Kristen yang adalah umat Allah itu mengelilingi Firman Allah.[3] Firman Allah itu diberikan dalam bentuk pembacaan Alkitab, kotbah, dan bentuk sakramen.[1][3] Umat Allah menyambutnya dengan girang dan menerima tugas pelayanan yang harus dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pemberitaan Injil.[3]
Banyak sekali pihak yang mendukung dan merespon Gerakan liturgi ini melalui berbagai usaha. Berbagai denominasi gereja baik di negara-negara Barat maupun Timur termasuk Indonesia.[1]
referensi
sunting- ^ a b c d e (Indonesia)Rasid Rachman., Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010
- ^ (Indonesia)Kanisius., Ekaristi: Berbagi Lima Roti & Dua Ikan, Yogyakarta: Kanisius, 2008
- ^ a b c d Harun Hadiwijono., Teologi Reformatoris Abad Ke 20, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004 (Cet. 4)