Ghatib Beghanyut adalah ritual tolak bala yang dilaksanakan oleh masyarakat muslim di beberapa daerah di Provinsi Riau seperti di kabupaten Siak, Mempura (Kabupaten Siak Sri Indrapura), dan di Kecamatan Bukitbatu (Kabupaten Bengkalis). Istilah Ghatib dan Beghanyut sebenarnya merupakan pelafalan dari kata Ratib dan Berhanyut, dimana hal ini terjadi karena ketidakmampuan penutur dalam melafalkan huruf 'r'.[1] Kata ratib sendiri berarti dzikir, dan berhanyut berarti hanyut dengan menggunakan perahu. Penggunaan kata ratib sebagai sinonim dzikir yang tertib atau teratur sebenarnya sudah umum dikenal di masyarakat Indonesia, sebagai contoh adalah Ratib Al-Haddad atau Ratib Al-Attas yang disusun oleh ulama-ulama dari Hadramaut.[2]

Sejarah

sunting

Menurut H Said Muzani, seorang tokoh masyarakat Siak, awal mula munculnya ritual ini berasal dari berbagai musibah berkepanjangan yang menimpa Kesultanan Siak seperti issue orang hitam, wabah (sampar), malaria, dan musibah atau penyakit lainnya. Guna menyelesaikan berbagai persoalan ini, para tetua melakukan musyawarah dan kemudian memutuskan untuk melakukan ritual tolak bala dalam bentuk membacakan ratib (ghatib) beramai-ramai. Kegiatan ini sebenarnya merupakan kegiatan independen yang dilakukan oleh masyarakat Siak, tanpa peran langsung dari kesultanan. Ritual diawali pada malam hari sesudah salat maghrib dengan melihat air surut pada sore hari, dan rangkaian acara baru dimulai setelah dilaksanakannya salat isya dengan berjalan berkeliling kampung, yang diikuti oleh semua masyarakat dengan membawa obor sebagai alat penerangan. Setelah menyelesaikan perjalanan berkeliling kampung, masuklah ke acara inti yang berupa berzikir di atas kapal ketika air surut.[3]

Pelaksanaan

sunting

Ritual ghatib pada masa kini dilaksanakan saat bulan Safar setelah sholat isya, dan bertempat di Sungai Jantan (Siak). Tempat permulaan kegiatan ini adalah Pelabuhan LASDAP dan berakhir di Feri Penyeberangan Belantik, Desa Langkai, Siak. Kapal yang digunakan adalah kapal feri serta tiga puluh perahu mesin yang masing-masingnya bermuatan masing sepuluh orang. Sebelum ghatib beghanyut dilaksanakan, seluruh peserta akan berkeliling kampung mengenakan pakaian serba putih dan melaksanakan ziarah ke makam sultan Siak yang terletak di Kecamatan Siak. Pada perhelatan ghatib beghanyut, perangkat adat hingga orang kaya dilibatkan untuk mengikuti proses menolak bala.

Peserta yang diperkenankan mengikuti ghatib beghanyut adalah khusus untuk kaum laki-laki, yang kemudian akan dipimpin oleh seorang ulama dengan lantunan-lantunan dzikir. Ulama tersebut akan bertakbir dan diikuti oleh seluruh masyarakat, baik yang menaiki sampan atau hanya menyaksikan dari tepian sungai. Sambil berzikir di atas sampan yang terus berjalan mengarungi sungai, seluruh warga di tepian ikut pula berzikir. Setelah selesai berkeliling kampung melalui Sungai Jantan, kegiatan itu pun diakhiri dengan makan bersama lalu ditutup dengan doa.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ Publiknews (2018-10-28). "Riwayat "Ghatib Beghanyut" di Siak, Ritual Tolak Bala di Atas Perahu". Info siak - Gali Informasi Bangun Budaya. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-21. Diakses tanggal 2019-03-09. 
  2. ^ a b Dais Dharmawan Paluseri, Shakti Adhima Putra, Hendra Surya Hutama, Mochtar Hidayat, and Ririn Arisa Putri. Penetapan Warisan Takbenda Indonesia Tahun 2018. Edited by Lien Dwiari Ratnawati. 2018.
  3. ^ riaugreen. "Ghatib Beghanyut, Tradisi Ritual Tolak Bala Masyarakat Siak Semenjak Kesultanan Siak". riaugreen.com (dalam bahasa Indonesia). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-18. Diakses tanggal 2019-03-09.