Goa Gajah
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (Januari 2016) |
Gua Gajah adalah gua buatan dari masa purbakala yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Gua ini terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali; berjarak kurang lebih 27 km dari Denpasar.
Etimologi
suntingNama Lwa Gajah, bersama Badahulu, pertama kali disebut dalam karya sastra Kakawin Nagarakretagama yang disusun oleh Mpu Prapanca (1365 M). Nama tersebut tercantum dalam pupuh 14/3 yang menguraikan wilayah-wilayah di sebelah timur Jawa, yang mengakui kekuasaan Majapahit.[1] Lwa atau Lwah/Loh berarti sungai, sehingga Lwa Gajah mengandung arti Sungai Gajah; kemungkinan sungai yang terletak di depan candi yang sekarang dikenal dengan nama Sungai Petanu.[2][3][4]
Sebutan Gua Gajah mungkin berasal dari pahatan wajah raksasa di atas mulut gua, yang dianggap menyerupai muka gajah. Sumber lain menyebutkan bahwa nama itu disebabkan oleh adanya arca Ganesha, dewa berkepala gajah, di salah satu ceruk dalam gua.[5]
Sejarah
suntingPenemuan Gua Gajah berawal dari laporan pejabat Hindia Belanda, LC. Heyting pada tahun 1923 yang menemukan arca Ganesha, Trilingga serta arca Hariti kepada pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut ditindak lanjuti oleh Dr. WF. Stutterheim untuk mengadakan penelitian lanjut pada tahun 1925. Pada tahun 1950 Dinas Purbakala RI melalui seksi-seksi bangunan purbakala di Bali yang dipimpin oleh J.L Krijgman melakukan penelitian dan penggalian pada tahun 1954 sampai tahun 1979 dan ditemukanlah tempat petirtaan kuno dengan 6 buah patung wanita (bidadari) dengan pancuran air di dada dan sampai sekarang keberadaannya bisa dipercaya bisa memberikan vibrasi penyucian aura bagi pengunjung.[6]
Pada tahun 1931 Mr. Conrat Spies menemukan pula peninggalan yang cukup penting di komplek Tukad Pangkung berupa stupa bercabang tiga yang terpahat pada dinding batu yang telah runtuh tergeletak di dasar Tukad Pangkung.
Sejak tahun 1950 setelah Badan Purbakala Republik Indonesia membuka kantor seksi bangunan cabang Bali yang berkedudukan di Gianyar di bawah pimpinan J.C. Krijgsman, penelitian terhadap peninggalan purbakala di Gua Gajah mendapat perhatian secara khusus. Hal ini dibuktikan pada tahun 1951/1952 dengan diadakan penggalian di pelataran depan mulut gua. Dari penggalian itu ditemukan fondasi kuno berbentuk persegi panjang, di mana dinding muka gua sebagai salah satu sisi panjangnya.
Pada tahun itu ditemukan pula retakan pada langit-langit gua sebagai akibat dari akar-akar pohon kamboja yang tumbuh di atas tebing sebelah kanan mulut gua. Sewaktu dilakukan pembersihan tanah dan akar dibagian barat gua ditemukan dua buah pecahan batu, pecahan pertama merupakan bagian atas kepala raksasa di atas lubang gua, pecahan kedua merupakan bagian berukir dari tembok sebelah timur. Disamping itu ditemukan pula sebuah pedang dari batu padas yang merupakan bagian dari arca raksasa di depan gua.
Bentuk dan arkeologi
suntingKompleks Gua Gajah terdiri atas 2 bagian utama, yaitu kompleks bagian utara merupakan warisan ajaran Siwa, dengan bukti adanya Trilingga dan patung Ganesha di dalam gua, merupakan tempat umat Hindu melakukan persembahyangan. Komplek sebelah selatan Gua Gajah yakni area Tukad Pangkung, berupa reruntuhan stupa Buddha berbentuk payung bersusun 13 dan stupa bercabang 3 yang dipahat di batu besar.
Bagian utara
suntingKompleks bagian utara berpusat pada sebuah candi-gua yang dikenal sebagai Gua Gajah. Gua ini dipahatkan pada batu padas keras yang menjorok keluar sejauh 5,75 meter dari dinding batu tersebut, berukuran tinggi 6,75 meter dan lebar 8,6 meter. Permukaan gua menghadap ke arah selatan, berhiaskan motif daun-daunan, batu karang, raksasa, kera, dan babi. Di tengah-tengah relief tersebut terdapat lubang mulut gua dengan ukuran lebar 1 meter dan tinggi 2 meter. Di ambang mulut gua terdapat pahatan muka raksasa yang menyeramkan dengan mata bulat besar melirik ke arah kanan; rambut dan alisnya tampak kasar, hidung besar, bibir atas dengan sederetan gigi tepat berada di atas lubang gua. Pada dinding timur gua terdapat dua baris tulisan berbunyi kumon dan baris bawah sahy(w)angsa; yang menilik bentuk hurufnya diduga berasal dari abad ke-11.
Lorong dalam gua berbentuk seperti huruf T. Setelah masuk beberapa meter ke utara, terdapat lorong yang melintang pada arah barat-timur. Lorong yang membentang dari timur-barat itu berukuran panjang 13.5 meter, lebar 2.75 meter dan tinggi 2 meter. Pada dinding utara dari lorong yang melintang itu terdapat 7 buah ceruk, salah satu ceruk itu berhadapan dengan jalan masuk gua dan merupakan ceruk yang terbesar dengan ukuran tinggi 1,26 meter, kedalaman 1,35 meter, terletak 0,7 meter dari permukaan tanah. Di dalamnya terdapat fragmen arca raksasa dan fragmen arca Siwa. Pada kedua ujung lorong yang melintang itu juga terdapat ceruk. Ceruk di ujung timur berisi trilingga dan ceruk di ujung barat berisi arca Ganesha.
Di depan Gua Gajah terdapat beberapa arca kuno yang menggambarkan Hariti, Ganesha, dan raksasa. Tokoh Hariti (bahasa Avesta Harauhuti) dalam dongeng agama Buddha dikenal sebagai tokoh yang berkarakter jahat dan senang memangsa anak-anak; akan tetapi setelah belajar agama Buddha ia berubah menjadi penyayang anak-anak. Patung tersebut melukiskan Hariti bersama masing-masing tiga anak di sebelah kanan dan kirinya dan satu anak di pangkuannya. Dalam dongeng-dongeng Bali, Hariti lebih dikenal sebagai Men Brayut (atau Nini Brayut dalam tradisi Jawa).[7]
Satu kompleks pemandian atau petirtaan terdapat di muka Gua Gajah, agak ke sebelah bawah. Pemandian ini tersusun dari tiga kolam pemandian suci yang berjajar utara-selatan, dengan enam (seharusnya tujuh) arca berpancuran di tepinya. Masing-masing pasangan arca terdiri dari satu arca bidadara diapit oleh dua arca bidadari, tegak menghadap satu kolam besar. Arca di tepi kolam yang tengah telah hilang atau belum ditemukan, kemungkinan adalah arca Ganesha berpancuran yang didapati menghias pinggir mulut gua. Semula ditemukan dalam keadaan berantakan dan tertimbun oleh tanah, bahkan juga oleh bangunan baru, pemandian ini kemudian berhasil digali dan direkonstruksi kembali pada tahun 1954 atas jasa J.L. Krijgman,[7] ketika itu Kepala Kantor Purbakala di Bali.
Arca-arca bidadari dan bidadara ini berdiri di atas lapik teratai atau padma. Padma adalah simbol alam semesta stana Hyang Widhi. Sedangkan di tengahnya terletak arca widyadara. Hal ini berdasarkan konsep Sapta Nadi yaitu tujuh sungai suci Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godawari, Serayu dan Narmada.[2]
Bagian selatan
suntingSedikit jauh dari kompleks bagian utara, terdapat kompleks bagian selatan yang terletak di suatu jurang atau lembah yang dikenal sebagai Tukad Pangkung. Area ini berbentuk lembah pura Patapan, dan di sini tersimpan arca Buddha.[6] Di lembah ini terdapat peninggalan kuno berupa suatu relief besar yang telah runtuh ke dasar lembah, yang kemungkinan dahulunya adalah bagian dari suatu candi-tebing.[8]
Relief besar yang terpahat di batu itu terdiri atas beberapa bagian. Yang pertama berbentuk suatu fragmen stupa bercabang tiga, dengan puncak-puncaknya yang berupa payung bersusun. Di sebelahnya terdapat fragmen stupa yang lain lagi, dengan satu puncak payung bersusun. Dan di atas kedua relief itu terlihat bagian bawah dari suatu arca Buddha. Sementara itu tidak berapa jauh, terdapat pula runtuhan fragmen relief berbentuk payung bersusun 13, yang mungkin dahulunya merupakan puncak stupa seperti relief yang lainnya. Melihat bentuknya, relief-relief ini diperkirakan usianya jauh lebih tua daripada Gua Gajah di bagian utara tadi; mungkin berasal dari awal abad ke-10.[7]
Fungsi
suntingDari data yang ada di lapangan dapat dikemukakan situs Gua Gajah merupakan tempat suci sebagai pusat kegiatan agama Hindu dan Buddha pada masa pemerintahan Dinasti Warmadewa dari abad X-XIV masehi (400 tahun). Status situs Gua Gajah sekarang merupakan living monument berfungsi sebagai tempat kegiatan keagamaan (Pura) dan masyarakat menyebutnya sebagai Pura Gua.
Berdasarkan atas temuan data arkeologi yang ada di situs Gua Gajah dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut: - Dari beberapa prasasti yang telah dikemukakan di Bali tidak satupun yang menyebutkan secara langsung nama Gua Gajah, namun Prasasti Songan Tambahan yang dikeluarkan oleh Raja Marakata berangka tahun 1022 masehi dan Prasasti Cempaga yang dikeluarkan oleh Raja Sri Mahaguru berangka tahun 1324 masehi keduanya menyebutkan nama Er Gajah. Kemudian Prasasti Dawan tahun 1053 masehi dan Prasasti Pandak Badung tahun 1071 masehi menyebutkan tempat suci Antakunjarapadda (Kunjara = gajah). Sedangkan dalam kitab Negarakertagama tahun 1365 masehi tercantum nama Badahulu dan Lwa Gajah yaitu dua tempat di Bali yang termasuk dalam daftar daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Majapahit.
Referensi
sunting- ^ Muljana, S. (2006). Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LKiS.
- ^ a b (Inggris) "Goa Gajah - Elephant Cave" (HTML). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-17. Diakses tanggal 11 Desember 2013.
- ^ (Indonesia) "Goa Gajah, Peninggalan Sejarah Abad ke-11" (php). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-13. Diakses tanggal 11 Desember 2013.
- ^ (Inggris) "Goa Gajah Temple, Bali Elephant Cave Temple" (html). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-04. Diakses tanggal 11 Desember 2013.
- ^ "Elephant Cave in Bali - Goa Gajah - Bali Magazine". bali-indonesia.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-16. Diakses tanggal 2018-06-13.
- ^ a b (Inggris) "Harmonisasi Hindu-Budha di Goa Gajah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-29. Diakses tanggal 11 Desember 2013.
- ^ a b c Bernet Kempers, A.J. (1956). Bali Purbakala. Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.
- ^ Prabhawa, KY. (2018). "Produksi dalam komodifikasi situs Pura Goa Gajah". Buletin Sudamala Vol. 04/1/2018. (salinan Diarsipkan 2022-03-16 di Wayback Machine.)