Pragmatisme di Amerika Serikat
Pragmatisme di Amerika Serikat adalah aliran filsafat yang digagas oleh filsuf Charles Sanders Peirce. Pragmatisme berkelindan dengan sosialisme, humanisme, positivisme, rasionalisme, materialisme, dan berbagai aliran filsafat lainnya. Filsafat pragmatisme yang ada di Amerika Serikat, berbeda halnya dengan empirisme atau idealisme yang berkembang di benua Eropa, khususnya di negara-negara seperti Inggris, Jerman, dan Prancis. Pragmatisme selanjutnya menjadi lebih berkembang berkat pikiran-pikiran John Dewey, William James, dan Richard Rorty. Mereka inilah yang sering disebut dalam literatur jika mempercakapkan pramagtisme. Perkataan mereka menjadi rujukan, bahkan perdebatan dan penggerak – dalam arti tidak hanya sekadar wacana filsafat, tetapi menjadi dasar pembentukan peradaban Barat.
Konsep
suntingSecara sederhana, makna pragmatisme adalah mengutamakan hasil tanpa memedulikan proses yang harus dilalui. Pragmatisme tidak begitu sulit didefinisikan karena kata ini sudah sering dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari. "Hidup itu jangan pragmatis!", kalimat itu sering diucapkan seseorang ketika ada orang lain yang lebih mementingkan hasil daripada proses. Ide di kalangan filsuf pragmatis tidak bermakna tanpa ada manfaat yang dihasilkan dari ide tersebut. Inilah standar kebenaran kaum pragmatis di Amerika pada abad ke-19 lalu. Standar kebenaran yang mementingkan hasil ini tentunya membuat segala sesuatu menjadi relatif.[1] Tidak ada kebenaran yang mutlak atau absolut, meski dalam ranah agama sekalipun.[2] Aliran inilah yang pada akhirnya menginspirasi kelahiran aliran-aliran filsafat lainnya, yaitu relativisme dan pluralisme, yang perdebatannya tidak berhenti hingga saat ini, tak terkecuali di Indonesia sendiri.[3]
Puncak pragmatisme di Amerika ada pada William James (1842–1910). Pragmatisme mempunyai sebutan tersendiri dalam logika James. Dia menyebut pikirannya ini dengan “empirisme radikal”. Dikatakan radikal karena kebenaran yang sifatnya empiris itu tidak hanya sekadar ide, tetapi haruslah dialami. Sebagai contoh adalah konsep pacaran. Pacaran itu empiris karena terukur, memiliki standar, memiliki variabel, serta ada objeknya. Empiris dalam pacaran ini tidaklah cukup bagi James, karena harus dialami sendiri oleh objek. Rasa indah, saling sayang, atau rindu jika tidak bertemu, hanyalah tanda-tanda faktual pacaran. Hal itu tidak berlaku dalam konsep James selama tidak dirasakan sendiri oleh dua insan yang sedang memadu kasih.[4]
Contoh lainnya adalah terkait dengan rasa makanan atau minuman. Seseorang tidak akan bisa menjelaskan secara detail rasa jus alpukat, misalnya tanpa mengecapnya. Ada fakta jus alpukat, itu sifatnya empiris, karena ada objeknya. Namun tidaklah cukup di situ, mengalami dengan meminumnya jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan daripada hanya sekedar mendengar cerita orang lain atau membaca referensi di buku. Inilah kebenaran hakiki versi James.[5]
Fahruddin Faiz (dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga) menjelaskan bahwa pragmatisme secara umum dibagi menjadi agresif, emotif, kebebasan, humanis, kreatif, dan instrumentalis. Agresif di sini adalah sikap hidup mandiri yang tidak bergantung kepada apa pun dan siapa pun. Adapun metafisika di sini secara tidak langsung tertolak karena tidak faktual serta tidak independen. Jika seseorang bergantung kepada hal-hal gaib, misalnya Tuhan, hidupnya tidak akan mandiri karena konsep kepasrahan (kebergantungan) tadi.[6]
Ciri lainnya adalah emotif – dalam arti mengejar kepuasan. Sebuah ide dalam konsep pragmatisme akan memuaskan jika ide itu dialami atau mendapatkan hasil. Ciri selanjutnya adalah kebebasan yang membuat sesuatu itu berguna atau mendapatkan hasil. Sebagai contoh, kasus politik Orde Baru, ketidakbebasan era tersebut mengakibatkan sesuatu yang dicita-citakan negara (kreativitas warga) tidak mendapatkan tempat. Dengan kata lain, aktualisasi diri warga negara terhambat dan membuat hasilnya menjadi “nihil” – capaian dari aktualisasi tidaklah maksimal. Buku-buku yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Tour dilarang saat itu. Hal ini menyebabkan keinginan masyarakat untuk membaca karya-karyanya itu menjadi terhambat akibat ketidakbebasan tadi.[7]
Selanjutnya, kaum pragmatis sangat menekankan humanis dan kreatif keduanya karena terdapat proses timbal balik antara alam dan manusia terkait eksploitasi lingkungan yang jamak terjadi saat ini.[8] Berkat kreativitas, kaum pragmatis tentu saja mendewakan kreativitas. Jika manusia stagnan, bisa dipastikan cita-cita atau keinginan manusia tidak akan dapat diraih.[9] Ciri yang terakhir adalah instrumentalis. Terkait hal inilah, filsafat pragmatis juga disebut dengan filsafat instrumentalis. Ada kaitannya dengan humanis di dalamnya, tetapi dalam hal ini tergantung cara manusia memanfaatkan alat (instrumen) yang ada di alam sedemikian rupa.[10]
Lihat pula
suntingRujukan
sunting- ^ Adib (2014), hlm. 137
- ^ Davies (2012), hlm. 24–25
- ^ Darwin (2015), hlm. 118
- ^ Darwin (2015), hlm. 118–119
- ^ Darwin (2015), hlm. 119
- ^ Darwin (2015), hlm. 119–120
- ^ Darwin (2015), hlm. 120
- ^ Pals (2011), hlm. 302
- ^ Sujarwa (2001), hlm. 133–134
- ^ Darwin (2015), hlm. 120–121
Daftar pustaka
suntingBuku
- Adib, Mohammad (2014). Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-8479-93-6.
- Darwin (2015). Filsafat dan Cinta yang Menggebu. Yogyakarta: The Phinisi Press. ISBN 978-602-7250-62-8.
- Davies, Paul (2012). Membaca Pikiran Tuhan: Dasar-Dasar Ilmiah dalam Dunia yang Rasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9483-87-4.
- Pals, Daniel L. (2011). Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif. Yogyakarta: Ircisod. ISBN 978-602-9789-08-9.
- Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9075-69-7.