Hajiti atau hajichi adalah seni tato yang dipraktikkan di kalangan wanita Suku Ryukyu (di Kepulauan Ryukyu termasuk Amami).[1][2] Hajiti merupakan tato permanen yang akan tersisa sepanjang hidup seseorang wanita Ryukyu. Pembuatannya dilakukan dengan cara menusukkan sejenis bilah bambu tajam di atas permukaan belakang telapak tangan dengan campuran tinta dan awamori (sejenis minuman beralkohol).[1] Tato yang dihasilkan adalah pola-pola berwarna biru gelap. Pembuatan tato biasanya dilakukan oleh ibu kepada anak perempuannya.

Pola-pola tato di Yaeyama, Miyakojima dan Shuri.

Sejarah sunting

 
Pola tato wanita Ryukyu

Tato tangan merupakan lambang kedewasaan wanita Ryukyu di mana ia dipandang sudah mantap untuk berkeluarga.[2] Wanita bangsawan umumnya memiliki tato yang lebih rumit dibanding wanita kelas bawah. Kaum dukun wanita yang memiliki peran penting di Ryukyu juga menato tangan mereka dengan indah. Fungsi tato lainnya adalah dipercaya sebagai penangkal arwah jahat. Pria Ryukyu tradisional menganggap wanita beratato sebagai istri yang ideal.[2]

Kerajaan Ryukyu ditaklukkan Jepang tahun 1879. Selanjutnya tradisi menato tangan wanita dilarang oleh pemerintah Jepang pada Periode Meiji (tahun 1899).[2] Dalam peraturan tahun 1899 itu, tidak hanya tato yang dilarang, tetapi juga tradisi menghitamkan gigi wanita dan membuat konde tradisional kaum pria (chonmage).[2] Menurut Pemerintah Jepang, dihapuskannya tradisi ini sebagai bagian dari westernisasi dan asimilasi ke dalam budaya Jepang.[2]

Pemerintah Jepang memandang rendah tradisi tato sebagai "tidak beradab". Selain suku Ryukyu, suku Ainu juga memiliki tradisi menato dalam kebudayaannya, otomatis dilarang oleh pemerintah Jepang ketika Hokkaido dimasukkan sebagai bagian dari negara itu. Tato yang sebelumnya dikagumi dan dipuji-puji, kini menjadi sesuatu yang hina. Wanita bertato dilarang bersekolah dan beberapa yang kedapatan dimarahi atau dihapus tatonya dengan asam klorida.[2] Tato menceritakan diskriminasi yang dialami kaum wanita Okinawa.[2]

Orang-orang tua Okinawa yang mewarisi tato di tangannya kemungkinan besar telah wafat pada dekade 70-an hingga 80-an, berdasarkan foto-foto dan penelitian. Tapi ada juga yang hidup sampai tahun 1990-an.[2]

Pola-pola sunting

Pola tato berbeda-beda menurut daerah namun umumnya terdiri atas tiga elemen: kepala anak panah, lingkaran dan persegi.[1] Kepala anak panah berarti "tidak akan kembali", maksudnya seperti anak panah yang dilepaskan, tidak akan kembali, menandakan bahwa sang wanita akan pindah ke rumah keluarga yang lain.[1] Lingkaran berarti "menggulung benang", dan persegi berarti "menjahit kotak", bentuk keterampilan-keterampilan yang harus dikuasai oleh tiap wanita di zaman itu sebelum menikah.[1]

Pranala luar sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e Hajiti tattoo told woman’s status Diarsipkan 2022-12-04 di Wayback Machine., Okinawanderer. Akses: 27 Mei 2022.
  2. ^ a b c d e f g h i Exhibition traces history of Okinawa tattoo tradition that became a mark of shame Diarsipkan 2021-05-26 di Wayback Machine., Japan Times. Akses: 27 Mei 2022.